Extra Chapter - Penjelasan Arzan, Kelegaan Meesha

1.5K 78 8
                                    

***

Arzan baru saja mendaratkan pantat di sofa seberang Najwa kala semua mata tertuju padanya.

Dia sadar, kabar yang tersiar beberapa jam lalu amat menghebohkan kedua belah pihak keluarga. Namun, sungguh itu di luar dugaan Arzan. Beruntungnya, Allah masih melindunginya hingga bisa tiba dan menyusul keluarganya dengan selamat dan tepat waktu untuk menyempurnakan agamanya.

"Jadi, bisa kamu jelaskan, Zan?" todong bunda.

"Aku harus jelasin dari mana, Bun?" Belum sempat bunda menjawab, Meesha menampakkan diri dan duduk di samping Arzan dengan penampilan barunya, gerak geriknya sedikit canggung. Arzan seketika menoleh dan sedikit menggeser duduk untuk berbisik di telinga Meesha, "kamu cantik."

Meesha merona mendengar pujian Arzan. Untungnya, semburat itu tersamarkan dengan adanya niqab yang menutupi pipi, hanya menampakkan mata saja.

"Arzan ...," panggil ayah.

"Ya, Ayah?"

"Jawab," perintah ayah dengan nada biasa saja.

Arzan mengangguk dan mulai menyamankan posisi duduk untuk menatap satu per satu keluarganya. Terakhir tatapan matanya tertuju pada Meesha dan tersenyum tipis. "Sebelumnya, aku baru tiba di rest area Bawen satu jam sebelum tersiar kabar aku kecelakaan. Di sana aku istirahat sebentar, sekitar setengah jam karena belum istirahat sama sekali dari Jakarta." Arzan menghela napas merasakan Meesha menatapnya penuh dengan tubuh yang setengah condong ke arahnya, membuat kikuk.

Keluarga yang melihatnya pun diam saja, tapi dalam hati tersenyum melihat interaksi kedua pengantin baru itu. Arzan mencoba tenang dan mulai melanjutkan penjelasannya.

"Maaf untuk itu. Setelahnya, aku berangkat lagi, lima belas menit, aku bertemu Pak Rahmat. Mobilnya mogok dan tidak mau menyala. Akhirnya aku putuskan untuk menolongnya dengan meminjamkan mobilku sementara mobilnya aku bawa, kebetulan mobil kami sama merk dan serinya. Hanya berbeda plat mobil. Tapi beliau tidak mau, beliau malah meminta untuk barter mobil saja dengan beliau menambah ongkos karena mobilnya yang mogok. Aku menolak, aku bilang akan perbaiki. Kami mencapai kesepakatan, beliau tidak perlu menambah biaya barter. Kami membuat surat pernyataan di atas kertas putih, kebetulan Abang ada buku agenda. Ya sudah, satu jam Abang berkutat dengan mobilnya hingga bisa menyala dan bergegas kemari."

"Terus bagaimana bisa Abang sampai tiba tepat waktu?" tanya Laila.

"Abang tidak tahu, dalam perjalanan Abang tidak mendapat kendala apa pun, termasuk lampu lalin. Jadi Abang jalan terus."

Arzan menoleh dan melihat mata Meesha yang bersaput bening. Ingin Arzan mengulurkan tangan dan menyentuh pipi itu untuk kemudian dia elus lembut demi menghapus selaput bening yang hendak membasahi pipi itu. Namun dia urungkan dan hanya menatap dengan sorot penuh ketenangan, "Aku baik-baik saja," ucapnya meyakinkan Meesha.

"Abang tidak ditelepon polisi soal kecelakaan ini?"

"Tentu saja ditelepon tapi kan Abang minta kelonggaran hingga sore ini untuk tidak diganggu dulu karena ada acara ini."

"Lalu mobilnya bagaimana, Bang?"

"Mobilnya ada di rumah. Abang nggak yakin bisa bawa mobil itu sampai sini, takut mogok. Untuk masalah barter itu, Abang dan Pak Rahmat sudah membuat perjanjian di kertas kalau kami melakukan barter jadi semisal ada apa-apa ya sudah menjadi tanggung jawab kami masing-masing." Arzan menatap Meesha dalam dan melanjutkan, "maaf belum meminta pendapatmu untuk masalah ini."

Meesha hanya terdiam dan mengangguk samar. Dia paham, dia belum menjadi istri sah Arzan sehingga Arzan masih bisa mengambil keputusan tanpa pendapatnya. Lain jika dia sudah sah menjadi pasangan Arzan, tentu dia akan mencercanya dengan berbagai pertanyaan.

"Bagaimana kalau kamu tidak bisa ke sini, Arzan? Itu berisiko kamu gagal nikah," tegas bunda.

"Arzan lebih yakin sama Allah, Bun. Kalau memang Arzan memang jodoh Meesha, ya kami akan tetap menikah."

Semua orang hanya mampu terdiam. Itulah Arzan yang selalu mengutamakan orang lain daripada dirinya, meski itu harus mengorbankan kebahagiaannya.

"Kalau gitu, aku mau nanya sama Mbak Meesha. Kenapa milih surah An-Nisa untuk dibacakan Mas Arzan? Biasanya kan kebanyakan surah Ar-Rahman, walaupun Mas Arzan juga bacakan surah itu sih," tanya Najwa.

Arzan hanya tersenyum mendengar pertanyaan itu, dalam hatinya dia sudah sangat tahu kenapa Meesha memintanya. Sedangkan yang diberi pertanyaan hanya menunduk dan enggan menjawab pertanyaan tersebut. Hal ini membuat Arzan gemas dan semakin melebarkan senyumnya.

"Biar Mas yang jawab ya, Dek?" tanya Arzan meminta persetujuan.

Najwa hanya mengangguk mengiyakan.

"Surah An-Nisa adalah surah yang paling banyak membahas tentang wanita. Salah satu surah terpanjang juga di dalam Al-Qur'an. Kenapa Meesha meminta Mas membacakannya tak lebih sebagai pengingat untuk Mas maupun Meesha. Di sana sudah terangkum jelas semuanya," jawab Arzan menatap Meesha lekat. Meesha hanya mengangguk membenarkan.

"Dari surah tersebut, Mas tahu apa-apa saja yang mendatangkan manfaat dan mudharat untuk wanita sehingga Mas bisa membimbing Meesha untuk tidak masuk dalam hal-hal yang tidak bermanfaat dan memberatkan langkahnya meraih jannah ... dan surah itu juga membuat Mas jadi lebih mengerti lagi bagaimana memperlakukan seorang wanita. Terlebih semua rida Meesha ada di tangan Mas sebagai suaminya. Mas juga harus paham dengan kemauan wanita agar bisa bertindak adil dan tidak sewenang-wenang.

"Dengan surah itu, Meesha memberitahukan segalanya soal wanita kepada Mas."

Najwa hanya mampu menatap Meesha dengan pandangan tak terbaca.

"Lalu bagaimana dengan maharnya? Itu cukup fantastis menurut Najwa."

"Sebagai seorang perempuan memang Meesha tidak memberatkan Mas dengan permintaan mahar yaitu seperangkat alat salat lengkap. Tapi Mas sadar, Mas bisa memberikan lebih dari itu jadi Mas berikan semampu Mas, insyaallah tidak memberatkan dan itulah kemampuan Mas dalam menjamin masa depan Meesha untuk hidup bersama Mas."

"Bukankah itu berlebihan, Bang? Seluruh aset kekayaan Abang loh yang dialihnamakan menjadi punya Meesha."

Meesha tertunduk, dia sadar hal ini hanya akan membuat citranya buruk tapi ini bukan permintaannya. Sungguh dia tidak meminta hal ini pada Arzan.

"Tidak, Laila. Seberharga apa pun aset Abang, tetap lebih berharga istri yang salihah. Dan Abang sudah sangat bersyukur dengan adanya Meesha di samping Abang. Soal aset, Abang masih bisa kerja untuk membeli aset baru dengan nama Abang sendiri," jelas Arzan menggenggam tangan Meesha dan tersenyum. "Harta suami juga milik istri, sebisa mungkin Abang memenuhi semua kebutuhan Meesha tanpa harus dia bekerja. Biar dia menjadi ibu rumah tangga seutuhnya yang menyenangkan untuk suami dan anak-anaknya kelak. Tapi kalau Meesha merasa bosan dan ingin bekerja, Abang tidak melarang."

"Abang yakin?"

"Tidak ada yang perlu diragukan. Semisal Abang dipanggil Yang MahaKuasa duluan maka istri dan anak Abang akan tetap mendapat nafkah dan jaminan hidup. Abang tidak ingin ada pertumpahan darah antar saudara hanya karena masalah harta." Arzan menatap Laila, suami Laila, dan orang tuanya. " Abang sudah dari dulu meminta pada Ayah dan Bunda jika Abang tidak akan menerima sepeser pun harta dari Ayah maupun Bunda. Semua itu Abang hibahkan untuk adik-adik Abang. Tapi, Abang juga meminta untuk tidak mengusik harta Abang saat ini hingga nanti Abang dijemput ilahi, harta yang hanya khusus untuk istri dan anak-anak Abang."

"Abang ...." Laila berdiri dan menghambur ke pelukan Arzan begitu saja. Meesha mau tak mau memberikan ruang untuk mereka berdua berpelukan. Tangannya refleks mengelus punggung Laila yang bergetar karena menangis.

"Maafkan Mbak, Laila," ucap Meesha lirih tapi mampu membuat semua orang menatapnya penuh tanda tanya. Termasuk Arzan.

...

1174 words

02 Februari 2020

Memeluk Janji [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang