"Mbak Meesha ...," panggil seseorang dengan suara lemah.
Meesha menoleh ke samping, mendapati adiknya itu dengan kondisi memprihatinkan. Matanya memerah, cekungan itu begitu terlihat di sana, tak ketinggalan terdapat lingkaran hitam pula di matanya. Pipinya tirus, bibirnya pecah-pecah kering. Tubuhnya kusam dan lebih kurus dari yang terakhir dia lihat.
Nadi Meesha bertalu-talu, jeri merangsek alam sadarnya.
"Najwa, kamu baik-baik saja?"
Abai akan pertanyaan itu, Najwa mengalihkan tatapannya ke arah Arzan yang duduk tegak di sofa single. "Mas Arzan," lirih Najwa. Terdapat binar di wajahnya kala menatap Arzan, tapi, binar itu segera melindap saat menatap semua orang yang ada di ruangan itu.
"Boleh saya bicara dengan Najwa? Di serambi depan, Abi, banyak santri yang lalu lalang untuk tadarus."
"Silakan," ucap Abi mempersilakan.
Arzan berdiri, melirik sekilas pada Najwa lantas memberikan isyarat untuk mengikutinya. Dengan kepala tertunduk, Najwa mengikuti langkah Arzan. Mereka duduk di kursi teras dengan sekat meja di tengah-tengah mereka. Keheningan menyelimuti mereka untuk beberapa saat hingga Arzan membuka mulutnya memecah kesunyian.
"Bagaimana kabar, Dik Najwa?"
"Baik, Mas."
"Sepertinya, baik itu kebalikannya ya melihat kondisi tubuhmu saat ini."
Najwa tak menanggapinya, senyum kecut terukir di bibir. Sorotnya tak mampu lepas dari sosok tegas di sandingnya itu.
"Tundukkan pandanganmu saat menatap lawan jenis, Najwa. Bukan mahram. Zina mata."
"Maaf," lirih Najwa seraya menundukkan pandangan. Sementara Arzan masih asyik menyusur suasana pesantren dengan sorotnya.
"Sebenarnya, aku tak tahu harus membicarakan apa denganmu. Aku merasa tak memiliki permasalahan apa pun denganmu, tapi bunda bilang, kalau kau ingin mengajukan diri untuk menggantikan Meesha yang seketika langsung kutolak mentah-mentah, menimbulkan kesakitan sendiri untuk hatimu. Benar?" Raut wajah Arzan netral. Pandangannya lurus menatap depan, tak memandang Najwa sama sekali setelah lirikannya di dalam tadi.
"Aku ...."
"Kamu tahu, cinta tak bisa dipaksakan." Menghela napas panjang, mengembuskannya perlahan. "Aku lebih suka dengan wanita yang memendam rasanya di bawah naungan sang ilahi." Arzan menatap mega kelabu dengan bintang-gemintang yang berserakan di sana. Tak ketinggalan pula, sang dewi malam bertengger anggun di singgasananya. "Ia lebih mementingkan cintanya terhadap Tuhan ketimbang asmara dunianya."
Najwa terdiam. Entah kenapa, ada sebuah cubitan dalam hatinya yang menyentak kesadaran. Kejernihan pikiran.
"Apa yang akan kamu lakukan jika saudaramu tak tahu menahu dan harus menanggung rasa ketidaksukaan saudaranya?" Arzan berdiri, sesekali mengangguk membalas sapaan para santri yang lewat. Ia tak bisa leluasa berbicara, tapi, ia pun tahu, berbicara berdua dalam ruang tertutup hanya akan menimbulkan mala baru.
"Tidak ada yang salah di sini, jika mau menyalahkan, salahkan saja aku."
"Aku minta maaf, Mas." Tangan Najwa gemetar saat mengutarakannya, tubuhnya menggigil, kegugupan melandanya teramat sangat. Pikirannya telah terbuka.
"Aku tak merasa ada masalah denganmu. Namun, izinkan aku untuk meminta maaf, karena semua ini bermuara dariku."
"Mas nggak salah, aku yang salah. Aku tak bisa membendung rasa ini. Aku melanggar pakemku sebagai seorang wanita."
"Aku tak membahas pakem seorang wanita." Teduh sekali kedengarannya di telinga Najwa.
"Aku tahu, entah kenapa, pemahaman itu merangsek paksa pikiranku."
"Selesaikan masalahmu dengan Meesha. Kalian bersaudara, jangan sampai saling menjauh hanya karena aku."
Arzan membalikkan tubuhnya, ditatapnya lekat Najwa yang masih bergeming di tempatnya. Kepalanya tertunduk. "Aku tidak memaksa, tapi, Meesha datang ke sini dengan niat baik. Dia hanya ingin memperbaiki silaturahmi yang sedikit ruwet." Samar, Arzan menangkap anggukan dari Najwa. "Aku panggilkan Meesha, sekalian aku mau pamit. Sudah malam, aku takut tiba di rumah larut."
"Hati-hati, Mas. Maaf dan terima kasih."
"Ya." Arzan melangkah kembali ke dalam. Meninggalkan Najwa yang meremas-remas tangannya gelisah. Tak berapa lama, terdengar dua langkah kaki mendekat. Satu milik Arzan, dia yakin itu. Najwa menahan napasnya saat dia tahu, siapa pemilik langkah di belakang Arzan.
"Aku pulang dulu, kamu selesaikan semuanya. Esok kita bicara di kantor. Ada beberapa hal yang harus kubicarakan." Tanpa membalikkan badan, Arzan berhenti dua langkah dari Najwa. Di belakangnya, Meesha ikut menghentikan langkah. Menatap punggung tegap milik Arzan.
"Iya, terima kasih."
"Menginaplah. Akan larut jika kamu memaksakan diri untuk pulang."
"Baik."
Kaki Arzan menderap menjauh. Najwa yang mendengar perhatian Arzan terhadap kakaknya hanya mampu menahan napas sesak dalam setiap jengkal rongga dadanya. Tubuhnya kaku, tegang sempurna saat dia hanya berdua dengan Meesha. Sedangkan Meesha yang melihat punggung adiknya, menghela napas berat. Mencoba meneguhkan tekad.
"Assalamualaikum," salam Meesha seraya mengambil duduk di kursi yang kosong. Menatap bunga-bunga milik uminya di pelataran.
"Wa'alaikumsalam," lirih hampir menyerupai bisikan.
Kecanggungan menyergap. Keheningan seketika menyelimuti. Panorama apik di atas sana tak mampu mengalihkan perhatian Najwa maupun Meesha. Walau bulan berpendar elok dengan bendaranya yang berkemilauan di sandingnya.
"Najwa," panggil Meesha lirih.
Najwa diam. Dia bingung harus bicara apa. Sungguh, rasa bencinya terhadap Meesha menguap begitu saja sejak pembicaraannya dengan Arzan. Dia paham, mengapa Arzan tak memilihnya. Dia tahu, dia masih belum pantas.
"Mbak minta maaf," ujar Meesha dengan kepala dia tolehkan ke adiknya. Mengamati bagaimana reaksi Najwa. Najwa diam, tapi, tangannya bergerak aktif meremas tangan lainnya. Meesha meraih tangan itu, digenggamnya erat lantas dia elus punggung tangannya.
Tak ayal, apa yang diperbuat Meesha itu memberikan ketenangan untuk Najwa. Rasa jeri yang sebelumnya menguasainya, kini perlahan memudar digantikan rasa haru. Najwa mencoba membalas genggaman Meesha.
"Aku ..." Serak, Najwa mencoba berucap. Dia tak ingin terus-menerus dalam situasi canggung jika berhadapan dengan kakaknya. Matanya mulai memanas saat mengingat sikapnya sebelum ini. Tanpa terasa, sebulir air mata jatuh membasahi pipi. Sigap, Meesha menghapusnya.
"Kamu kenapa?"
Selalu lembut. Inikah sosok yang sebenarnya ingin kukalahkan?
"Kenapa?"
"Kenapa apa?"
"Kenapa Mbak nggak membenci Najwa? Kenapa masih baik sama Na."
"Kamu adik, Mbak. Mbak nggak bisa benci kamu."
"Tapi, Mas Arzan ...," ucapan Najwa terpotong oleh gelengan Meesha.
"Mas Arzan punya hati, dia bisa memilih apa yang terbaik untuk dirinya. Dia berhak memilih wanita mana yang bersanding dengannya. Kita tak boleh mengharapkan apa yang belum tentu menjadi milik kita. Cinta, boleh saja kita bicara cinta, tapi, apakah dengan cinta kamu melupakan siapa hakikat pemilik cinta sebenarnya?"
Najwa menggeleng lemah.
"Mbak mencoba tak terlalu memikirkan Mas Arzan, karena memang dia bukan jodoh Mbak ataupun kamu. Jika memang Mas Arzan jodoh salah satu di antara kita, terimalah dengan atma lapang dan hati yang ikhlas."
"Mbak, bagaimana dengan cinta yang bersemayam dalam hatiku? Aku merasa bersalah."
"Boleh Mbak cerita sedikit?"
Najwa mengangguk, dia menadahkan kepala, menatap manik mata Meesha lekat. Di sana, tergurat kesedihan. Beban mendalam dan kerinduan. Keningnya mengernyit bingung.
Mungkinkah Mbak masih mencintai Aa'?
To be continue
1.037 words
Rabu, 22 Agustus 2018
5.48 AM
KAMU SEDANG MEMBACA
Memeluk Janji [Complete]
EspiritualArsyila Romeesa Farzana. Putri pemilik pondok pesantren ternama di Magelang. Meesa, begitu orang-orang memaggilnya. Ia menjalani kehidupannya secara teratur, tak pernah ia melanggar larangan yang ada. Monoton, kata teman-temannya. Hingga suatu hari...