Chapter 7 - Jawaban Meesha

5.6K 264 14
                                    


Bibir itu kembali terkatup, tangannya saling meremas di atas pangkuan. Meesha melihat sebuah cincin masih bertengger cantik di jari manisnya. Dia lupa melepasnya. Bukan lupa, tapi tak sanggup melepas. Hatinya masih berat. Mata indah itu sekali lagi dibalut sinar rapuh. Tidak ada yang mampu membaca pikirannya karena Meesha menundukkan kepala dalam-dalam.

Entah kenapa, tebersit iba di hati Arzan. Dengan suara tegas, Arzan berkata, "Saya menolaknya jika orang yang dijodohkan dengan saya menjalaninya dengan terpaksa."

Meesha yang mendengarnya tersentak. Kepalanya berpaling pada abi yang sama keget dengannya. Tatapan abi dan Meesha bertemu, tebersit kekuatan di mata itu. Mengembuskan napas pelan, Meesha mencoba menatap bunda Arzan. "Bismillahirahmanirrohim, saya menerima perjodohan ini. Saya ikhlas," ucap Meesha mantap. Seluruh keluarga tersenyum lega.

Berbeda dengan seluruh orang yang hadir di sana. Senyum miris justru terukir di bibir Arzan. Arzan tahu, Meesha hanya mencari penguatan untuk keputusannya.

Sebenarnya hatinya masih rapuh. Belum mampu menerima laki-laki baru. Dia sekilas melihat cincin yang ditatap begitu dalam oleh Meesha sehingga bisa menyimpulkan, sudah ada laki-laki yang lebih dulu mengetuk hati Meesha.

Mengambil air putih di sampingnya, Arzan menatap Najwa. Tidak ada perasaan apa pun di hatinya saat melihat Najwa. Dengan embusan napas sedikit kasar, Arzan menegakkan punggung. "Semuanya," ucap Arzan menarik perhatian. Seluruh pasang mata menatapnya. "Arzan mohon pamit," ucapnya menekan suara yang entah kenapa merasakan emosi yang hampir meledak di kepala saat melirik Meesha.

"Arzan, kamu belum makan, Nak. Makan dulu," ucap bunda.

"Terima kasih, Bunda. Arzan ada janji dengan seseorang. Semuanya Arzan pamit, Wassalamu'alaikum." Arzan berdiri dan menyalami seluruh orang tua yang ada di sana. Diabaikannya tatapan Najwa yang menatap bingung, sedangkan Meesha masih saja menundukkan kepala.

Langkahnya penuh entakan, menandakan Arzan sedang diliputi amarah. Dia mengambil mobil di parkiran dan mengegas mobil keluar area restoran.

❤❤❤

Acara makan malam itu berubah canggung. Keluarga Arzan merasa tak enak dengan sikap Arzan sedangkan keluarga Meesha merasa tak enak dengan sikap Meesha. Kendati demikian, acara itu tetap berjalan sampai selesai.

Di dalam mobil, pikiran Arzan terus saja memutar kejadian tadi. Entah kenapa, ada rasa marah saat melihat Meesha seperti itu.

Arzan melemparkan pandang ke kanan dan melihat sebuah gym. Dia lantas berbelok dan menghentikan mobil di area depan gym. Entah pikiran dari mana yang membuatnya menghentikan mobilnya di sini. Dia keluar dan memasuki area fitness. Begitu masuk, ia disambut seorang pria dengan otot bisep.

"Selamat datang. Ada yang bisa kami bantu?" tanya laki-laki itu.

"Saya ingin mengecilkan perut saya," jawab Arzan.

"Baik, member atau nonmember?"

"Member."

"Mari ikut dengan saya, saya Joe. Pemilik tempat fitness ini." Joe mengulurkan tangannya yang disambut dengan Arzan dengan genggaman yang cukup erat.

"Arzan."

Joe mengajak untuk duduk sembari mengobrol. Mereka berdua jalan menuju sebuah meja di tengah ruangan. Di sana sudah ada beberapa lembar kertas di atas meja. Joe mempersilakan Arzan untuk duduk, sedangkan dirinya mengambil sebuah map berwarna merah di lemari belakang sofa. Joe mengangsurkan map itu pada Arzan, dibacanya dengan saksama map itu. Map itu berisi syarat dan ketentuan mendaftar member di sana. Di lembar berikutnya ada sebuah formulir data diri member.

Meraih pena di saku kemejanya, Arzan mengisi formulir itu dan menandatanganinya. Begitu selesai dia serahkan kembali pada Joe.

"Apakah benar Anda tak ingin memakai instruktur?"

"Benar. Saya pernah ikut gym sebelumnya."

"Baik kalau begitu. Mari saya tunjukkan tempat-tempat apa saja yang ada di sini."

Arzan mengangguk dan beranjak mengikuti Joe. Semoga aku bisa melampiaskan amarahku dengan fitness. Batin Arzan.

❤❤❤

Mobil keluarga Meesha memasuki area pondok pesantren. Meesha merasakan tak enak sejak kepulangannya dari makan malam. Entah apa yang terjadi dengan hatinya hingga merasakan perasaan itu. Meesha bergegas memasuki rumah, tak ingin mendengar pertanyaan abi atau umi, dia ingin menenangkan diri terlebih dahulu.

"Ana ... ada apa?" tanya umi begitu pintu terbuka menampakkan Meesha dengan sebuah foto dalam genggaman. Umi menghela napas lelah.

"Pigura foto Aa' jatuh, Umi. Terkena gorden yang tertiup angin."

"Umi boleh masuk?"

"Boleh, Umi."

Umi menutup pintu, melangkahkan kaki ke arah ranjang. Sementara Meesha memgambil kantung kertas di laci meja belajarnya dan memasukkan pecahan-pecahan kaca ke dalamnya. Umi masih setia menunggu putrinya menyelesaikan pekerjaannya. Begitu Meesha meletakkan kantung kertas berisi pecahan kaca di dekat tempat sampah, umi memanggil.

"Ya, Umi," jawab Meesha.

Umi menepuk-nepuk tempat di sebelahnya. Meminta Meesha untuk duduk di sana. Dengan patuh, Meesha duduk di sebelah umi.

"Kamu belum melupakan Aa'?"

"Umi," panggil Meesha dengan suara tercekat. Dia tak menyangka jika umi akan membahas masalah ini.

"Tadi Najwa bilang sama Abi dan Umi. Jika dia ingin menggantikan posisimu sebagai orang yang dijodohkan dengan Arzan, tapi melihat gelagat Arzan, Umi ragu dia mau menerima Najwa. Atensinya penuh padamu."

Ada rasa tercubit saat umi membicarakan Najwa. Dia tidak mengerti, kenapa Najwa ingin memggantikan dirinya. Belum selesai dia menerka-nerka, umi melanjutkan, "Najwa kasihan denganmu yang masih berat melepaskan Aa'. Dia juga sedikit tertarik dengan Arzan."

Perasaaan Meesha tertohok saat umi menyampaikan masalah Najwa. Adikku kasihan padaku? Apa sebegitu mengenaskannya diriku? Batin Meesha.

"Umi ingin kamu mempertimbangkan ulang jawaban kamu. Najwa juga sudah bicara langsung dengan keluarga Arzan barusan lewat telepon."

"Bagaimana dengan tanggapan keluarga Arzan?"

"Mereka menunggu Arzan. Yang menjalani ini kalian. Bukan orang tua seperti kami. Jika kalian tidak berjodoh, ya sudah. Kami tidak memaksa."

"Umi," panggil Meesha lemah.

Tangan tua itu mengelus kepala Meesha sayang. "Ada keinginan untuk melihatmu segera bertemu jodoh, bukan terus berkubang dalam rasa seperti ini. Pikirkanlah, Nak. Hidupmu masih panjang."

Umi melangkah keluar. Meninggalkan Meesha duduk mematung memikirkan seluruh kejadian ini. Perasaan sedih menyelimuti hati. Ditatapnya potret itu sekali lagi. Diembuskan napas berat. Dia ulurkan tangan menyentuh laci nakas. Diambilnya sebuah kotak, dibuka dan dimasukkannya potret itu ke sana. Diusapnya penuh kasih kotak itu. Menggelengkan kepala pelan, dia meletakkan kembali kotaknya ke dalam laci.

Baru saja Meesha ingin beranjak mengambil air wudhu, ponsel yang berada dalam sakunya bergetar. Diambil ponsel itu, ditatapnya siapa peneleponnya. Mengernyitkan dahi melihat siapa yang menelepon, Meesha segera menyentuh tombol terima.

❤❤❤
To be continued

973 words
Monday, 26 February 2018
08.30 am
🌟

Memeluk Janji [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang