" ... karena aku yakin, kamu memang yang terbaik untuk dia."
"Maaf, saya tidak paham."
"Meesha, boleh kupanggil begitu?"
Meesha menoleh, menatap Meisya dengan sorot kebingungan tetapi tetap mengangguk mengiyakan.
"Dulu, Arzan menyukaiku. Namun kutolak, aku lebih memilih mantanku. Kini, aku menyesal, tapi penyesalan itu tiada gunanya. Mengapa?"
Meesha diam. Tak tahu harus berkomentar apa. Dia pun bungkam menunggu Meisya untuk melanjutkan ceritanya.
"Aku lebih memikirkan orang tuaku, abai akan rasaku. Namun, aku tidak menyesal akan pilihan itu, dulu. Pun sampai sekarang, tetapi yang kusesalkan adalah mengapa akhirnya harus begini."
"Jalan kehidupan orang tidak ada yang tahu, Mbak."
"Ya, kamu benar Meesha. Aku berusaha menerima semua itu." Senyum terkembang manis. "Bagaimana kabarmu? Terakhir bertemu kapan, ya? Aku lupa."
"Alhamdulillah, baik." Meesha menjawab, tetapi otaknya tak berhenti memproses di mana dia pernah bertemu dengan Meisya.
"Panggil saja Mei. Arzan dan yang lainnya juga memanggilku begitu."
"Baiklah."
Obrolan itu terus berkembang, Meisya menceritakan segala hal tentang dirinya dan Arzan. Hingga obrolan keduanya diakhiri dengan tawa. Meisya beranjak meninggalkan Meesha yang masih duduk diam. Pikirannya mengawang, melanglang buana memikirkan apa yang seharusnya dia perbuat sekarang. Hatinya menguat, di saat itu pula, dia lemah. Lemah menghadapi serangan yang bertubi-tubi datangnya.
Satu notifikasi masuk ke ponsel Meesha. Hatinya berdebar kala netranya memaku nama ayah Arzan. Tangannya bergetar, bukan karena apa, dia merasa ada sesuatu yang terjadi dan itu buruk. Diusapnya layar ponsel, seketika terpampang isi surat elektronik tersebut.
Assalamualaikum warahmatullahi wa barakatuh, Meesha.
Ayah ingin mengabarkan jika Bunda masuk rumah sakit, sudah beberapa hari ini Bunda ngigau manggil nama kamu. Arzan belum bisa pulang, dia terjebak pekerjaan di sana. Ayah harap, kamu mau menjenguk bunda sebentar saja.Wassalamu'alaikum warahmatullahi wa barakatuh.
"Wa'alaikumsalam," lirih Meesha menjawab. Dihelanya napas agak panjang, dia coba meredam pikiran-pikiran yang berseliweran di benaknya. Begitu tubuhnya mulai kuat menerima beberapa hal yang menimpa dirinya secara tiba-tiba ini. Meesha beranjak. Mencari taksi yang biasa mangkal di depan kafe dan melesat menuju rumah sakit tempat bunda dirawat. Hatinya tak berhenti berzikir meminta ketenangan atas gemuruh jiwanya. Entah kenapa, obrolannya dengan Meisya masih membayang. Demi Tuhan, Meesha tidak menyangka jika selama ini, apa yang dipikirkannya bisa meleset jauh.
"Arzan ...."
***
"Meesha ...," panggil bunda menyentak lamunan Meesha akan Arzan yang kembali menggugah alam sadarnya.
"Iya, Bunda," sahut Meesha seraya menatap lekat netra tua itu.
"Arzan ... entahlah. Bunda rasanya kangen sekali dengannya. Apakah Bunda sudah tiba saatnya menghadap-Nya?"
"Bunda jangan bicara seperti itu. Meesha yakin, Bunda akan panjang umur."
"Kamu tahu, Arzan itu menyukaimu dari kecil."
"A ... apa, Bun?" gagap Meesha.
"Dulu, sewaktu kecil, Arzan sempat Bunda ajak menjenguk umi yang sedang lahiran. Waktu itu, Arzan masih kecil. Dia langsung loncat-loncat girang pas lihat kamu. Katanya, dia sayang sama dedek. Sama kamu."
Meesha diam, kembali dia mendapatkan satu fakta baru mengenai dia dan Arzan. Bukti apa lagi ini.
"Waktu kamu ulang tahun yang pertama, saat itulah pertama kali kaki kamu melangkah. Menyongsong Arzan yang datang membawa cokelat di tangan. Lucu sekali jika ingat itu. Umi sepertinya masih menyimpan fotonya. Bunda sudah tidak ada." Senyum melengkung manis di bibir itu. Membuat tubuh Meesha bergetar halus. Tak ayal, Meesha pun mencoba tersenyum walau kaku.
"Bunda ingat sekali, ingin menjodohkan kalian berdua sewaktu kecil. Tetapi dilarang ayah."
"Atas dasar apa Bunda, Bunda ingin menjodohkan kami?"
"Feeling Bunda kuat kalau kalian akan berjodoh. Seandainya tidak berjodoh, Bunda masih menyayangimu selayaknya putri Bunda sendiri."
"Terima kasih, Bunda." Hanya itu yang bisa Meesha ucapkan. Dia terharu, tetapi hatinya masih belum bisa tenang.
Meesha terus saja berzikir dalam hati seraya menanggapi obrolan dari bunda. Hingga tiba saatnya dia pamit pulang.
"Bunda mohon Meesha, jangan memutus silaturahmi di antara kita. Bunda yakin, kalian berdua masih bisa berjodoh."
"Bunda ...,"-Meesha diam, menundukkan kepala-"Meesha coba Istikharah lagi, Bunda. Banyak hal yang Meesha terima hari ini."
"Silakan, Nak. Berpikirlah tenang, ikhlas, dan semeleh."
Meesha mengangguk dan segera pamit. Dia pulang ingin mengadu. Tuhan, apa yang harus kulakukan? Begitu banyak orang yang berharap padaku. Berikan hamba petunjuk. Meesha menunduk, tangannya saling bertautan. Netranya memaku jalanan yang ramai, tetapi benaknya tak henti memroses segala hal. Arzan dan Meisya, dua orang yang saling menyukai, tetapi harus berpisah karena takdir berkata lain. Meisya lebih memilih pilihan abahnya untuk menikah dengan pilihannya. Yang akhirnya membawanya pada sebuah status yang tidak jelas, memiliki suami, tetapi bagai seorang diri, single.
Kenyataan bahwa sejak kecil Meesha sudah mengenal Arzan, membuatnya bergetar. Hatinya terketuk, sebuah rasa yang entah apa artinya membuatnya gelisah. Apa yang harus dia lakukan kini? Dilema bak buah simalakama.
"Neng, sudah sampai pondok," sela supir taksi menyentak Meesha dari keterpakuan pikirannya. Sudah berapa kali sehari aku melamun? Astaghfirullah ....
"Terima kasih, Pak." Meesha segera turun setelah menyelesaikan pembayaran. Tergesa-gesa memasuki kamar, Meesha meluruh di belakang pintu. Tubuhnya lemas.
"Allahuakbar, Allahuakbar ...." Bibirnya tak henti merapal zikir. Tubuhnya butuh ketenangan. Tanpa sadar, air mata telah menggenang. Satu kedipan saja, mampu meruntuhkannya. Belum selesai dia berzikir, pintu kamarnya terketuk sebanyak tiga kali. Menghela napas panjang, dikeluarkannya perlahan. Mencoba menetralkan tenggorokannya yang kering sebelum membuka pintu kamar.
"Najwa ...," kaget Meesha melihat Najwa di depan kamarnya. "Ada apa?"
Najwa tersenyum cerah, membuat Meesha bingung ada apa gerangan dengan adiknya.
"Najwa dikasih ini sama abi. Tapi Najwa nggak suka." Najwa menganggsurkan sebuah amplop cokelat berukuran sedang. Tak lupa, senyum itu masih terukir indah di bibirnya.
"Ini apa?" tanya Meesha menerima amplop tersebut.
"Buka aja, Mbak. Najwa mau pergi dulu, tadarus."
Belum sempat Meesha mencegah, Najwa sudah melangkahkan kakinya pergi. Menggelengkan kepala pelan dengan tingkah Najwa, Meesha kembali masuk ke kamar dan menimang apakah dia akan membuka amplop tersebut sekarang atau nanti. Kalau boleh jujur, Meesha penasaran dengan amplop pemberian Najwa. Namun, ada hal lain yang membuatnya enggan membuka amplop itu. Dia takut jika isinya adalah proposal ta'aruf, di mana dia masih belum bisa membuka hatinya. Atau hati itu sudah terbuka, sudah terpaut, tetapi keraguan begitu melekat erat dalam selubung batinnya sehingga dia tak sadar akan hatinya yang telah dimiliki orang.
Memantapkan hati, tidak ingin su'udzon. Meesha membuka amplop perlahan, dirogohnya isi. Mengeluarkan beberapa kertas di dalamnya. Meesha menganga melihat apa isinya.
"Masyaallah ...."
***
To be continued.
999 kata
Kamis, 21 Februari 2019
01.12 WIB
KAMU SEDANG MEMBACA
Memeluk Janji [Complete]
SpiritualArsyila Romeesa Farzana. Putri pemilik pondok pesantren ternama di Magelang. Meesa, begitu orang-orang memaggilnya. Ia menjalani kehidupannya secara teratur, tak pernah ia melanggar larangan yang ada. Monoton, kata teman-temannya. Hingga suatu hari...