Chapter 12-Demi Kebaikan Bersama

4.8K 225 10
                                    

***

"Maaf, Mas, nanti saja saya beritahu, saya tutup dulu teleponnya. Assalamualaikum," ujar Meesha cepat-cepat. Tak ingin siapa pun yang berada di balik papan kayu penghubung kamarnya dan rumah itu tahu. Tak peduli apakah orang di seberang menjawab salamnya atau tidak.

Sedangkan di tempat lain, Arzan menghela napas berat. Diamati ponselnya yang telah mati itu lekat. Dalam hati dia menggumamkan salam balasan.

"Arzan, dari siapa? Kenapa kamu ngeliatin ponsel terus?" tanya bunda.

"Ana, Bun." Singkat, Arzan menjawabnya. Bunda mengernyitkan kening bingung, 'Ana siapa?' Seketika pikiran bunda melayang ke dua sosok yang mengganggu pikirannya selama ini. 'Tapi mungkinkah?' Menggelengkan kepala mencoba mengusir pikirannya, bunda beranjak menuju lemari milik putranya. "Kamu jadi berangkat? Apa nggak sebaiknya kamu di Indonesia saja? Bunda baru berapa minggu sama kamu, masa harus pisah lagi," ucap bunda kentara sekali sedihnya. Tangannya dengan lihai menata seluruh baju-baju anaknya.

"Arzan ke sini kan cuma buat gantiin sementara dan memenuhi keinginan ayah. Ayah dan bunda kan tahu kalau di Jepang, Arzan punya bisnis sendiri dengan teman-teman. Nggak enak sama yang lainnya. Niatnya juga mau lama, tapi kalau sudah ada yang tepat untuk menggantikan posisi itu, Arzan akan kembali. Visa Arzan masih dua tahun lagi, Bun di sana. Kalau memang visa Abang nggak bisa diperbaharui lagi, Arzan akan kembali pulang, saat ini, Abang masih belum punya rumah untuk menetap," kilah Arzan tak mau menatap sang bunda. Dia tak pandai berbohong.

"Tapi, kan, kamu nggak ikut dalam manajemen. Cuma punya saham. Ya, nggak masalah kamu nggak di sana. Toh selama ini kamu memantau dari jauh," kekeh bunda.

"Bukan Arzan nggak mau nurutin kemauan Bunda, tapi, Arzan harus menyelesaikan sesuatu juga di sana. Arzan juga punya kerjaan, Bun di sana."

"Terserah kamulah. Bunda pokoknya mau kamu menetap di Indonesia. Kamu ini warga negara Indonesia, bukan warga negara asing di negara sendiri, Arzan!"

"Iya, Bun."

"Bunda nggak mau kamu terlalu asyik dengan pekerjaan hingga lupa ada hal lain yang harus kamu raih."

Arzan menatap bunda dengan kerutan di dahinya. Menatap putranya yang kebingungan, bunda menghampiri Arzan dan mengelus kepala Arzan sayang. "Jodoh." Satu kata yang mampu membuat Arzan termenung seperti patung. Pikirannya buntu. Menatap reaksi putranya, bunda beranjak meninggalkan Arzan dalam pikirannya.

Arzan tak tahu, harus bagaimana. Jujur, dalam hatinya dia ingin segera menikah. Menyempurnakan separuh agamanya. Namun, dia harus bagaimana?

***

"Mbak Meesha," sapa si pengetuk pintu.

Meesha mengembuskan napas lega begitu dia membalikkan badan dan menemukan Widya, salah satu santri berdiri di ambang pintu. "Ada apa, Widya?"

"Dicari pak kyai dan bu nyai," jawabnya seraya menunjuk ruang tengah.

Meesha mengangguk mengerti. Dia pun bergegas menemui orang tuanya sebelum berangkat bekerja. Melangkah dengan pikiran berkecamuk, Meesha mencoba berpikir positif. Begitu tiba di ruangan abi, Meesha segera mengetuk pintu dan mengucapkan salam.

"Wa'alaikumsalam, masuk," jawab semua orang yang ada di sana.

Meesha melangkah masuk, melihat umi dan Najwa tengah duduk berdua di sofa, sementara abi di sofa tunggal.

Memeluk Janji [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang