"Mbak ...." Suara Najwa lirih, air mata meluruh dengan deras.
Meesha yang melihatnya hanya mampu terdiam, mencoba menetralkan detak jantungnya yang berpacu seperti mobil balap. Menghela napas panjang, sesak itu kian menghimpit. Membuatnya tak kuasa menahan air mata jika tak ingat bahwa dia tak boleh membuat abi dan umi bersedih.
Tanpa sepengetahuan mereka, Arzan menyusul di belakang mobil menggunakan mobil baru. Dia keluar dari mobil mengenakan setelan serba putih untuk akadnya. Serasi dengan pengantinnya. Dia melangkah mantap, gagah, dan auranya begitu mendominasi. Begitu memasuki ruang akad nikah, di mana dilakukan di musala kecil rumah abi. Umi beranjak untuk ke kamar Meesha. Melihat keadaan putrinya yang sempat terguncang akan kabar yang menerpa.
Kabar itu memang mengkhawatirkan semua orang, apalagi persis di hari pernikahan, beberapa jam sebelum akad nikah. Namun, semuanya berakhir dengan baik. Hanya perlu menunggu penjelasan dari Arzan yang bisa persis datang sepuluh menit sebelum akad dilangsungkan.
Umi membuka pintu dan mengernyit saat melihat Najwa menangis dalam diam dengan deraian air mata yang tak henti mengalir. Sedangkan Meesha terdiam di kasurnya dengan mata menerawang kosong ke depan. Ada apa dengan putri-putriku? tanya batin umi.
"Assalamualaikum," salam umi yang tak terbalas. Mengembuskan napas sedikit kesal, umi beranjak dan menolong Najwa terlebih dahulu. Najwa patuh dipapah ke kasur dan duduk di samping Meesha. Dia segera saja memeluk Meesha dan menyembunyikan air mata di balik bahu Meesha. Meesha balas memeluk dan mengusapnya lembut. Dia harus kuat. Iya, Ana harus kuat. Tekadnya dalam hati.
"Assalamualaikum," ulang Ummi.
"Wa'alaikumsalam," lirih Najwa di sela isak tangisnya. Sementara Meesha menjawabnya tak kalah lirih meski dia terlihat tegar dan tak meneteskan air mata, dia tahu hatinya akan rapuh jika sudah benar-benar dihadapkan pada kenyataan.
"Putri-putri Umi kenapa?"
"Mas Arzan, Umi," jawab Najwa dengan air mata kembali menangis meski dia sudah melepaskan pelukan Meesha.
"Mas Arzan ada di musala," ucap umi membuat Meesha dan Najwa seketika menoleh, menatap umi dengan lekat.
Najwa sudah mulai bisa menguasai diri saat mendengarnya, sedangkan Meesha mulai gelisah akan hal lain. Bagaimana kondisi Mas Arzan? Apa dia baik-baik saja? Apa pernikahan ini akan tetap berlangsung dengan kondisi Mas Arzan yang terluka? Ya Allah, batin Meesha penuh prasangka.
"Dengarkan ya ...," pinta umi.
Seketika terdengar suara lantang.
قبلت نكاحها وتزويجها على المهر المذكور ورضيت بهى والله ولي التوفيق
Qabiltu nikahaha wa tazwijaha alal mahril madzkur wa radhiitu bihi, wallahu waliyu taufiq
Saya terima nikah dan kawinnya dengan mahar yang telah disebutkan, dan aku rela dengan hal itu. Dan semoga Allah selalu memberikan anugerah.
Itu adalah suara Arzan mengucapkan kabul-nya. Hati dan tubuh Meesha bergetar, resmi sudah dia menyandang status istri seorang Arzan. Dia tidak meminta Arzan untuk mengucapkannya dalam lafaz Arab, tetapi sungguh, dia bahagia mendengarnya."Ayo," ajak umi menuntun Meesha. Najwa mengekor di belakangnya meski isak itu masih ada. "Nanti, mintalah penjelasan darinya. Baik keluarga kita maupun Arzan, belum mendapatkan penjelasan apa pun. Sabar, Sayang."
Meesha berjalan pelan, mendengarkan lantunan surah An-Nisa yang ditilawatil qur'an oleh Arzan. Suaranya menenangkan sekaligus membuatnya bergetar. Getaran itu bahkan belum hilang sampai dia duduk di sisi Arzan. Sementara Arzan masih melanjutkan Tilawatil Qur'an-nya atas surah An-Nisa hingga selesai dengan mata terpejam. Ya, Arzan seorang hafiz, dia masih setia melantunkan ayat-ayat suci di mana pun ada kesempatan. Setelah surah An-Nisa, Arzan melanjutkan dengan surah Ar-Rahman.
Begitu selesai, senyum semua orang mengembang. Meesha tak kuasa menahan laju air matanya. Arzan menoleh ke samping, mengulurkan tangan untuk dicium takzim oleh Meesha. Selepasnya, Arzan mencium keningnya seraya mengucapkan doa dengan lirih. Mereka kemudian menandatangi dokumen pernikahan dan berfoto sebentar sebelum acara dibubarkan dan dilanjutkan ke syukuran kecil-kecilan nanti setelah Zuhur.
Abi dan para orang tua mengobrol di ruang keluarga sementara Arzan dan Meesha diminta untuk beristirahat. Mereka melesat ke kamar Meesha.
Begitu sampai di depan pintu, Arzan membukanya dan mengucap salam yang dibalas Meesha dari belakangnya. Arzan mempersilakan Meesha masuk duluan.
"Maaf, Dik di mana kamar mandinya. Saya mau ambil wudhu, setelah itu gantian Ana," ucap Arzan memecah keheningan setelah melihat kamar Meesha sekilas. Meesha diam di tengah ruangan dengan kepala tertunduk, dia memberitahukan pojok ruangan yang terdapat pintu kamar mandi. Arzan melesat ke sana dan segera mengambil wudhu. Sementara Meesha bergegas membongkar koper Arzan yang entah kapan sudah ada di kamar itu. Dia ambil baju koko suaminya dan menyiapkan sajadah baru di sebelah sajadahnya.
Setelah semua beres, Meesha beranjak ke cermin kamar. Meraih toner penghapus make up dan melepasnya perlahan. Arzan yang keluar dari kamar mandi menatapnya sayang, senyum tersungging indah di bibirnya.
"Perlu bantuan?"
"Tidak, terima kasih, Mas. Ini sudah selesai, Ana ganti baju dulu. Itu baju Mas sudah saya siapkan sekaligus untuk salat."
Arzan mengangguk dan mempersilakan Meesha untuk bersiap. Saat Meesha keluar dari kamar mandi, dia melihat Arzan tengah terpekur dalam zikirnya. Dia duduk di belakang Arzan sebagai makmum seraya menunggu Arzan selesai dengan zikirnya.
"Alhamdulillah." Arzan menoleh ke belakang, "sudah?"
"Sudah, Mas."
Arzan berdiri dan memulai kehidupan rumah tangganya dengan salat dua rakaat, selepas itu, dia masih ucapkan doa untuk istrinya lagi.
"Mas turun ya. Ada yang harus Mas jelaskan ke orang tua kita. Mereka masih menunggu jawaban dari Mas."
Meesha mengangguk. Sebelum benar-benar meninggalkan Meesha, Arzan meraih paper bag di kopernya dan menyerahkan ke Meesha. "Oleh-oleh buat kamu, istri Mas yang cantik."
Meesha menunduk malu menerima tas yang diulurkan. Dia merasakan sebuah tangan mengelus kepalanya. Selepas Arzan pergi, Meesha membuka paper bag tersebut dan mengeluarkan isinya. Isinya adalah sebuah gamis yang cantik berwarna biru muda, tak lupa di sana ada pula niqab-nya. Secarik kertas pun ada di sana.
Saya minta maaf karena kesibukan saya mengurus kerjaan. Saya juga minta maaf karena telah membuatmu khawatir. Saya harap, kamu mau memaafkan suamimu ini?
ARZ
Meesha yang membacanya hanya tersenyum dan mengucapkan syukur sebanyak-banyaknya. Tak lupa dia mendoakan yang terbaik untuk suaminya.
***
Arzan duduk di sofa dengan ujungnya ada Najwa. Dia mulai menjawab satu per satu pertanyaan keluarganya. Tak lama, Meesha menyusul dan duduk di samping Arzan dengan canggung. Ini pertama kali Meesha duduk di sebelah laki-laki selain mahramnya. Ada yang beda pula dengan penampilan Meesha, kini Meesha menggunakan niqab atau cadar.
"Kamu cantik," ucap Arzan menoleh sekilas pada Meesha dan mulai fokus kembali kepada bunda.
THE END
1014 word
06 Desember 2019
KAMU SEDANG MEMBACA
Memeluk Janji [Complete]
EspiritualArsyila Romeesa Farzana. Putri pemilik pondok pesantren ternama di Magelang. Meesa, begitu orang-orang memaggilnya. Ia menjalani kehidupannya secara teratur, tak pernah ia melanggar larangan yang ada. Monoton, kata teman-temannya. Hingga suatu hari...