⚛⚛⚛
Arzan begitu fokus pada wanita dihadapannya, hingga dia tak sadar akan situasi di sekitar. Menatap lekat wanita itu, dia mencoba menyelami pikiran wanita itu dengan sorotnya.
"Aku minta maaf," ucapnya lembut.
"Untuk?" Singkat, padat, dan jelas menjadi sahutan Arzan.
"Untuk masa lalu kita." Wanita itu dengan beraninya menatap balik Arzan. Arzan segera memalingkan wajah hingga netranya memaku pada sosok perempuan yang tengah berjalan keluar area kafe. 'Najwa ... apa yang dibicarakannya di sini.'
"Arzan," panggil wanita itu menyadarkan Arzan dari pikirannya. "Kamu mikirin apa?"
Arzan tersentak mendengar namanya dipanggil. Dia mengalihkan kembali fokusnya. "Sudahlah, Mei. Masa lalu tak perlu kamu ungkit lagi. Itu hanya akan menjadikanmu sakit sendiri. Aku sudah memaafkanmu."
Wanita yang dipanggil Mei itu menunduk menyembunyikan saput bening yang menyelimuti netranya. Dia tak tahu harus bicara apa lagi. Jujur, dia masih memiliki rasa pada Arzan. Namun, mendengar ucapan Arzan, seketika nyalinya ciut. Mindanya melayang ke kejadian terakhir yang membuat hubungannya dengan Arzan mendingin.
Dulu, enam tahun lalu. Sewaktu acara kelulusan mereka, setelah acara wisuda gelar master mereka. Arzan memberanikan diri mengajak Mei makan malam. Di sebuah restoran ternama di Jepang, tepatnya di Kota Kyoto. Disaksikan bunga-bunga sakura yang berguguran tertiup angin. Arzan mengutarakan segalanya.
"Mei," panggil Arzan dengan suara serak bergetar menahan gugup yang menderanya. Mei tersenyum cantik menatap Arzan. Melihat gelagat Arzan yang tak biasa, dia mengernyitkan dahi bingung. "Kamu baik-baik saja? Kenapa berkeringat?" tanyanya saat melihat peluh mulai membasahi pelipis Arzan. Keringat dingin.
Arzan yang mendapat perhatian tak mampu menahan gejolak dalam dadanya lagi. Memantapkan hati, dia mencoba kembali. Meneguk saliva yang terkumpul dalam rongga mulut, Arzan berdeham. Sorotnya dia arahkan ke langit-langit restoran yang menampilkan gaya khas Jepang.
"Pertama kali bersua denganmu. Sungguh itu hal paling tak berkesan untukku, tapi, sampai sekarang aku masih ingat. Bagaimana malunya diriku dengan pakaian putih terkena tepung dan bau amis akibat telur karena dikerjai teman-teman yang kebetulan hari itu adalah ulang tahunku. Dan secara tak sengaja, kita bertemu di taman.
"Aku yang menghindari teman-teman karena persediaan barang untuk mengerjaiku masih banyak. Hampir saja aku menabrakmu yang tengah asyik membaca sembari berjalan. Aku tak menyalahkanmu, sungguh!" Arzan berhenti berucap. Melirik pada Mei yang masih diam memandanginya. Dia setia mendengarkan apa yang Arzan ingin bicarakan.
"Jika mengingatnya, aku hanya mampu tersenyum menyadari tingkahku dan teman-teman yang konyol itu."
"Itu tidak konyol. Sekali-kali kita memang butuh waktu untuk melakukan sesuatu selain kebiasaan kita, bertingkah layaknya anak-anak misalnya," sela Mei.
"Baiklah, aku anggap begitu. Dari pertemuan itu, aku biasa saja padamu. Dua bulan sesudahnya, aku diberi amanah untuk menjadi asisten dosen. Dan kebetulan, aku harus menggantikan Mr. Jae Dong untuk mengajar di kelasmu. Saat itulah, aku mulai memperhatikanmu. Hingga sebuah rasa baru yang tak kukenali merasuk perlahan mulai menginvasi hatiku.
"Diam, aku tak ingin merusak apa yang menjadi citaku maupun citamu. Rasa itu aku abaikan. Kini, aku telah selesai dengan studiku, studi master. Kamu juga sebentar lagi selesai dengan studi S1-mu. Kamu tahu, aku pun telah bekerja di sebuah perusahaan ternama sejak penelitianku waktu itu. Jauh sebelum skripsi. Aku tak ingin membuang waktu terlalu lama lagi. Aku takut terlambat jika terlalu mengulur waktu." Arzan menegakkan kepala menatap lurus netra cokelat kelam milik Mei.
KAMU SEDANG MEMBACA
Memeluk Janji [Complete]
SpiritualArsyila Romeesa Farzana. Putri pemilik pondok pesantren ternama di Magelang. Meesa, begitu orang-orang memaggilnya. Ia menjalani kehidupannya secara teratur, tak pernah ia melanggar larangan yang ada. Monoton, kata teman-temannya. Hingga suatu hari...