Chapter 4 - Perjodohan

6.4K 292 12
                                    

🌠🌠🌠Perjodohan🌠🌠🌠

Pelukan itu makin erat saat tangisan Laila makin intens terdengar. Tangannya mengelus punggung Laila sayang. Bunda yang melihatnya merasa bersalah, dia tak bermaksud membuat putrinya sedih karena mengingat janinnya. Dengan segera dia mengambil putrinya dari pelukan abangnya. Dipeluknya erat sembari mengucapkan maaf atas kesalahannya yang membuka luka Laila.

Isak tangis Laila makin menjadi saat mendengar permintaan maaf bundanya. Dipeluknya bunda begitu erat. Ditenggelamkan wajah di ceruk leher Bunda yang tertutup hijab. "Bunda ... hiks ... nggak salah ... hiks ... Laila yang ... hiks ... salah," ucap Laila terbata-bata di sela isak tangis.

"Sudah, Dek. Jangan diingat lagi. Ingat! Suami kamu lebih menderita dari kamu." Masih dengan tangan mengelus punggung Laila, Arzan melanjutkan, "di saat kamu terpuruk seperti ini, apa yang bisa dilakuin Arkan selain berdoa untukmu? Ingin Arkan memelukmu di saat kamu menangis, jadi tempat bersandarmu kala kamu terpuruk. Tapi dia bisa apa kalau kalian dipisahkan jarak yang jauh. Bukan beberapa jam tapi dua hari perjalanan."

Laila menatap Arzan dengan mata berkaca-kacanya. "Apa benar apa yang, Abang bilang?" tanya Laila ragu.

"Abang laki-laki. Arkan pun laki-laki. Kami memang punya tanggung jawab yang berbeda, tetapi perlu kamu garis bawahi. Kami laki-laki. Kami punya pemikiran yang sebagian besar sama."

Mengangguk paham, Laila memeluk abangnya mengucapkan terima kasih. Lalu beranjak ke dalam dengan tangan sesekali menyeka air mata. Dia ingin menghubungi Arkan. Dia sadar bahwa dia terlalu terkungkung dengan pikiran-pikiran negatifnya.

Melihat kepergian Laila, bunda menatap Arzan kembali dengan mata memicing.

"Arzan ... Bunda belum selesai bicara." Cegah Bunda saat melihat Arzan akan beranjak menyusul ke dalam.

"Apalagi, Bunda?" tanya Arzan lelah.

"Bunda serius dengan ucapan Bunda, Arzan."

"Arzan belum ketemu sama yang pas." Singkat, padat, dan jelas. Namun, tak menghentikan niatan bunda untuk membicarakan perihal jodoh putranya.

"Seperti apa yang kamu mau?" tanya ayah penasaran.

"Nggak muluk-muluk kok, Yah."

"Bunda nggak percaya kalau perempuan yang kamu mau itu nggak muluk-muluk," sahut Bunda pedas.

Arzan menghela napas berat. Dia tatap kedua mata bunda. "Arzan cuma minta yang seiman, bisa ngurus rumah serta anak-anak." Arzan menjawab mantap. Tak ada keraguan di matanya. Bunda yang melihatnya pun sadar, anaknya bukan seperti lelaki kebanyakan. Putranya cukup tahu ajaran agama yang dipeluknya. Sehingga selama lebih dari delapan tahun di Jepang, dia masih mampu menjaga diri dari pergaulan bebas di sana.

"Bagaimana dengan fisik?" tanya ayah.

"Arzan tak pernah mempermasalahkan fisik, Yah. Tapi jujur, Arzan selalu berdoa di sepertiga malam terakhir untuk mendapatkan jodoh terbaik pilihan Allah." Dihela napasnya panjang, kemudian dia memalingkan tatapannya dari tatapan tajam sang ayah. "Buat Arzan, fisik cantik itu bonus."

Ayah mengangguk paham. Terselip rasa bangga akan pemikiran putranya. Ayah menggenggam tangan bunda, bunda menatap wajah suaminya lekat. Seakan mengerti makna tersirat dari tatapan suaminya. Bunda mengangguk.

"Besok lusa, ayah dan bunda akan ke rumah seorang wanita. Ayah, Bunda berharap. Kalian bisa berjodoh."

Mengernyit kebingungan, Arzan menatap kedua orang tuanya. "Jodoh?"

"Ayah punya sahabat. Sudah lama kami tidak bertemu. Kamu juga mengenalnya, kalau kamu tidak lupa.  Beberapa waktu lalu kami tak sengaja bertemu di jalan karena ada yang mencoba membegalnya. Ayah menolong kemudian kami janjian untuk bertemu. Jadi, lusa, janji temu itu." Kerutan di dahi Arzan makin dalam. Lalu apa hubungannya denganku. Jangan bilang.... Batin Arzan menduga.

"Ayah ada rencana menjodohkanmu dengan putrinya." Mendengar ucapan ayahnya, Arzan menganga tak percaya. Apa aku mimpi? Segitu tak lakunya dirikukah hingga ayah dan bunda berniat menjodohkanku? Arzan buru-buru mengatupkan mulutnya ketika hendak protes. Dia urungkan saja saat melihat binar bahagia di raut bundanya.

"Bunda tidak akan memaksa. Semua keputusan ada padamu, Nak."

Mengangguk lesu. Arzan berdiri. Berpamitan hendak membersihkan diri. DIa melangkah ke kamarnya dengan pikiran gamang. Apakah jalan ini yang terbaik meraih rida-Mu ya, Allah?

⚜⚜⚜

Sementara di lain tempat. Meesha juga sedang dilema akibat perkataan kedua orang tuanya. Ucapan abinya masih tergiang-ngiang terus di telinganya. Meesha terduduk di atas sajadahnya dengan wajah berurai air mata. DIa mengingat kembali kejadian sepulang kerja tadi.

Abi memanggil Meesha dan Najwa untuk membicarakan sesuatu hal penting. Saat dirinya duduk berdampingan dengan Najwa, abi memulai pembicaraan dengan menanyakan kabar pekerjaannya.

"Bagaimana pekerjaanmu, Nduk?" tanya Abi menatap Meesha.

Merasa ditatap sedemikian rupa, Meesha tak enak hati. Pasti ada sesuatu hal penting yang akan dibicarakan abi hingga menanyakan pekerjaanku terlebih dulu. Batin Meesha mencium gelagat serius abinya.

"Baik, Abi. Mulai besok." Meesha tak sanggup melanjutkan perkataannya. Apa yang akan dipikirkan abinya jika tahu dia menjadi seorang sekretaris.

"Besok kenapa?" tanya abi tegas dengan kerutan di dahinya.

"Meesha minta maaf, Abi." Meesha tertunduk tak mampu menatap abinya. Perasaannya sedih, menyesal bercampur aduk. Kenapa dia tak resign saja dari pada menerima pekerjaan sebagai sekretaris.

"Jelaskan apa salahmu," pinta abi tak terbantahkan.

"Sabar, Abi," ucap umi yang muncul dari dalam membawa nampan berisi teh hangat dan pisang goreng. Setelah meletakkan bawaannya di meja. Umi duduk di samping Meesha. Dengan lembut, dibelainya hijab Meesha. "Ceritakan, Nduk."

Umi memang berujar dengan nada lembut, tetapi Meesha yang mendengarnya tidak demikian. Dia merasa seperti sedang menunggu vonis dari hakim. Tangannya gemetar halus. Jantungnya bertalu kencang. Dengan segenap keberanian, Meesha berucap, "Meesha diangkat menjadi sekretaris untuk general manager baru di perusahaan, Abi." Lirih tetapi masih mampu didengar semua orang yang ada di ruangan itu.

"Sekretaris?" tanya umi memastikan pendengarannya. Dari awal, umi sudah menyatakan keberatannya jika Meesha bekerja di perusahaan. Berbeda dengan Najwa yang memang tak diizinkan bekerja. Sehingga Najwa lebih banyak di area pondok, entah membantu mengajar santri atau belajar menjadi istri yang baik.

Walaupun demikian, baik Najwa maupun Meesha tak perlu diragukan lagi untuk urusan ibu rumah tangga. Mereka berdua sama baiknya. Kembali ke pembicaraan mereka sebelumnya, umi menatap abi dengan tatapan tak terbaca. Abi yang melihat tatapan umi hanya mampu menghela napas pelan. Mungkin ini salahku karena sudah mengizinkannya bekerja. Batin abi.

"Iya, Umi. Meesha sudah menolak, tapi bos baru Meesha tidak menerima penolakan."

"Lalu?" tanya Najwa penasaran.

Matanya menyorot Najwa lembut. Meesha paham, adiknya ingin mengenal dunia luar, sama seperti dirinya. Namun sayang, abi maupun umi tak mengizinkan. "Mbak tetep diangkat jadi sekretaris, tapi tugas Mbak hanya mengatur jadwal bos Mbak."

"Bukankah harus berdua di ruangan yang sama?" tanya Najwa lagi.

"Nggak kok, Dek. Ruang sekretaris ada di depan ruangan general manager. Dan mejanya terbuka, tetapi memang agak jauh dari kubikel maagerial." Senyum kecil terbit di bibirnya melihat antusiasme Najwa. "Dan Mbak bukan satu-satunya sekretaris. Ada seorang laki-laki sebagai sekretaris satu untuk bos Mbak. Mbak hanya mengurus di kantor."

Mendengar penjelasan Meesha. Abi mengangguk paham. Kemudian dia berdeham menarik perhatian putrinya.

"Hm ...."

⚜⚜⚜

1.067 words
Wednesday, 31 January 2018
00.12 am
🌟🌟🌟

Memeluk Janji [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang