Meesha masih terpekur dalam pikirannya saat Arzan mulai mengambil cangkir dan meminumnya seteguk dua teguk. Menatap Meesha yang masih asyik dengan benaknya, Arzan mencoba mengalihkan pandangan ke depan. Sebuah panorama apik tersaji di hadapannya. Seketika senyumnya merekah, sesuatu yang sulit sekali dia temukan. Kedamaian, ketentraman itu begitu terasa di sekitarnya. Asri menjadi satu dari sekian daftar yang menjadi pengikutnya.
Meesha meredakan kemelut dalam hatinya, dia menoleh saat senyum menawan itu terpahat elok di sana. Tertegun menatapnya, Meesha terpesona akan dahsyatnya pesona itu. Benar, hati tak pernah salah. Hanya situasi dan kondisi yang membuatnya rumit.
"Mas Arzan," lirih Meesha mengalihkan pandangan ke depan. Menatap sumunar mentari yang kini melindap perlahan, menyisakan keremangan dari lampu terasnya yang belum dinyalakan. Anak-anak berlarian kembali pulang dari masjid sehabis mengaji. Di depan sana, mobil Arzan terparkir di pinggir jalan. Tak hanya itu, sesekali, banyak anak-anak bahkan remaja menyapanya maupun Arzan. Membuat suasana hatinya mulai tenang. Ditambah, kini dia pun merapalkan dzikir dalam kalbu. Ingin mendapatkan ketenangan itu segera.
"Apa?" sahut Arzan.
"Apa yang akan Mas lakukan jika adik Mas membenci Mas sedemikian rupa?"
Mendengar pertanyaan itu, tawa Arzan menggelegar. Tak menyangka pertanyaan itu akan muncul begitu saja. Setelah dia berhasil menyeka air mata yang tercipta dari tawanya di sudut mata, Arzan kembali mengutarakan apa yang dipikirkannya.
"Aku punya dua orang adik. Mereka sudah lebih dulu berkeluarga dariku, tapi, kami tak pernah berselisih paham. Jika aku ada di posisimu, aku akan tetap berada di sisi adikku, dalam hal ini Najwa. Memberikan support.
"Mencoba perlahan untuk mengembalikannya seperti semula. Walaupun itu sulit, jika tak ada upaya, ya tak ada hasilnya. Dokter, psikolog, maupun psikiater tak mampu menolong. Karena pada dasarnya dari diri sendirilah dia bisa sembuh. Bisa mengobatinya. Dekatkan lagi Najwa dengan penciptanya."
"Terdengar mudah," sinis Meesha.
"Aku baru tahu kalau kamu juga bisa sinis," ujar Arzan dibuat-buat seraya tersenyum geli.
"Teorinya memang mudah, tapi, prakteknya susah. Butuh perjuangan dan pengorbanan. Seperti kamu yang melepaskan sesuatu, semuanya butuh hal itu. Namun, ketulusan, keikhlasan, dan kesabaran bisa menjadi kesuksesan."
"Apa yang harus aku lakukan?" tanya Meesha gamang. Dalam hatinya membenarkan apa yang diucapkan Arzan, di sisi lain, dia pun memikirkan orang tuanya yang telah berusaha melindunginya.
"Umi dan abi tidak melindungimu. Mereka berusaha membuat Najwa melupakanmu sebagai pemicu dia seperti ini. Namun, itu tindakan salah."
"Salah?" gumam Meesha dengan pikiran yang semakin semrawut.
"Aku tahu, setiap orang tua ingin yang terbaik untuk anaknya. Begitu pun orang tuamu, tapi, cara mereka salah. Dengan mengasingkanmu, itu membuat Najwa memiliki sedikit mental 'tempe'. Menghindar dari masalah yang sebenarnya aku tahu, Najwa cukup berani untuk melawanmu. Jadi, di sini, yang coba untuk dilindungi orang tuamu adalah dirimu. Bukan Najwa."
Shock. Bagaimana tidak, apa yang diungkapkan Arzan benar-benar membuat Meesha tersentak hebat. Pikirannya makin menemukan titik terang. Dia semakin paham, dia termangu kini.
"Sayangnya orang tua memang tak ada batasnya. Bukan begitu? Inilah yang membuatmu semakin rapuh."
"Aku harus apa?"
"Astaga, Meesha," geram Arzan tak habis pikir. Dia mengoceh sepanjang dan selama ini di senja hari hanya mendapat respons begini.
"Aku tidak tahu," lirih Meesha menangkupkan telapak tangan di wajah. Menyembunyikan rona merahnya, mata yang mulai bersaput getah bening, sesuatu yang mendesak segera dikeluarkan, dan sesuatu di dalamnya yang menyempitkan rongga dada.
KAMU SEDANG MEMBACA
Memeluk Janji [Complete]
SpiritualArsyila Romeesa Farzana. Putri pemilik pondok pesantren ternama di Magelang. Meesa, begitu orang-orang memaggilnya. Ia menjalani kehidupannya secara teratur, tak pernah ia melanggar larangan yang ada. Monoton, kata teman-temannya. Hingga suatu hari...