Chapter 18: Move on?

4.6K 219 17
                                    

"Semuanya berawal dari?" tanya Nita penasaran.

"Pagi Arzan datang sebagai general manager yang baru."

"Gue setia dengerin."

"Aku berangkat menggunakan sepeda, waktu itu, aku lupa untuk mengecek kondisi rem-nya, hingga aku menabrak mobilnya ...."

Meesha menceritakan seluruh kejadian yang terjadi padanya. Tak ada yang ditutup-tutupi. Tanpa mereka berdua sadari, ada seorang pria di bilik sebelah yang hanya tersekat oleh mirat bening buram setia mendengarkan obrolan mereka. Tangan pria itu terkepal erat.

"Meesha, walaupun kita beda agama, lo tahu dari dulu gue nggak pernah permasalahin agama sama lo. Yang harus lo tahu, Tuhan kita sama, hanya agama kita yang berbeda." Nita menghela napasnya panjang. Dia pun melanjutkan, "Aa' udah nggak ada, udah meninggal dunia lama. Lima tahun. Sekarang, yang harus lo lakuin adalah move on. Janji? God, janji itu. Bagaimana bisa lo selalu memegang teguh janji itu jika salah satu pemegang janjinya saja sudah tiada? Mau sampai kapan lo memegang teguh janji itu? Nggak bisa lo pegang terus selama lo hidup. Lo masih muda, jika lo memilih untuk tidak move on, seenggaknya, lo melepas janji itu." Nita mengambil napas sejenak. Dia menatap Meesha dengan sorot dalam.

"Gue tahu, gue nggak ngerti apa pun soal janji ini di agama Islam, tapi, dalam agama gue. Janji pun penting. Masih bisa dibayar dengan hal lain jika kita tak mampu menunaikannya. Lo putri ustaz, lo tahu banyaklah mengenai ini."

Meesha mengangguk. Dia mengingat kembali, apa yang harus dia lakukan. Ilmunya masih kurang untuk hal ini. Dia akan mencoba mempelajari lebih dalam mengenai saran Nita. Genggaman tangannya mengerat membalas Nita. Sorotnya sendu dan haru, seakan mampu berucap terima kasih.

"Apa pun, lo nggak perlu berterima kasih ke gue. Kita sahabat, dalam suatu hubungan sahabat, nggak ada terima kasih."

"Nita, terima kasih sudah berada di sisiku saat aku di ambang batas kewarasanku. Aku benar-benar tidak mampu berpikir lagi." Meesha tersenyum lembut. Sorotnya mulai bersaput, jika tidak melihat siluet seseorang, Meesha mungkin akan lebih banyak bercerita. Keterdiaman Meesha membuat Nita bertanya dalam hati. Ada apa?

"Kenapa?"

"Kita di sini nggak berdua saja, Nita. Ada orang lain."

"Abaikan orang itu. Nggak baik nguping juga. Biar sendiri dia tanggung dosanya. Sekarang, lo cerita ke gue. Lo tinggal di mana?"

Meesha menyebutkan alamat rumahnya. Dia pun menceritakan bagaimana dia mendapatkan rumah itu. Bukan hanya itu, Meesha juga tak lupa menceritakan kejadian sesungguhnya pada Nita tentang Najwa.

"Gue turut prihatin soal Najwa, tapi, menurut gue. Langkah Arzan udah bener. Nggak mungkin dia kasih harapan ke Najwa. Rasa sakitnya akan berbeda. Belum tentu pula jika Arzan memberikan kesempatan, cinta itu akan berpihak padanya."

Meesha mengangguk. Masih ada sesuatu yang mengganjal di hatinya. Nita yang melihatnya paham. Dia pun berinisiatif mengelus punggung tangan Meesha lembut. Mencoba memberikan ketenangan dan kepercayaan.

"Entahlah," putus Meesha tak jadi bercerita. Padahal, tadi ia sudah membuka mulutnya untuk bercerita.

"Oke. Biar gue tebak." Nita melepas tangan Meesha yang ada di genggamannya. Tangan kanannya meraih dagu dan mengusap-usapnya layaknya detektif yang tengah berpikir keras menimbang-nimbang sesuatu. Sedangkan tangan kirinya dia lengkungkan di pinggang. Sikapnya ini membuat Meesha sedikit terhibur. Seulas senyum geli terukir.

"Nggak usah ketawa deh, Sha. Aku lagi mikir serius nih."

"Mikirin apa?"

"Mikirin sesuatu yang mengganjal di hati lo. Akhir-akhir ini, sejak Arzan ada. Kebanyakan hela napas berat dan panjang mulu, kayak orang ditimpa ribuan ton batu hingga sesak dan nggak bisa lepas. Beban hidup lo rasanya kok berat banget gitu keliatannya."

Meesha kembali tersenyum geli. Dia cukup terhibur dengan Nita kali ini. Saat melihat Nita mulai menyerah dengan pikirannya, tangannya terkulai di samping tubuhnya lemas.

"Apa sih, Sha? Gue nyerahin diri. Nggak bisa nebak."

Meesha mengangguk. Matanya menatap langit-langit, mindanya mengawang. Bermunculan pikiran-pikiran yang selama ini mengganggunya.

"Sejak ada Arzan, kehidupanku sedikit berubah. Jujur, aku melakukan banyak kesalahan di sini."

"Oke. Anggaplah ini hari minggu, saat gue lagi ke gereja dan melakukan pengakuan dosa ke Bapa. Lo bisa anggap gue 'Bapa' dalam versi berbeda."

Meesha tersenyum, dia tahu, dia dan Nita berbeda agama. Namun, semua itu tak membuat hubungan mereka merenggang. Mereka mencoba saling memahami tak pernah menyudutkan satu sama lain hanya karena problematika yang muncul akibat suatu kelompok tertentu. Karena dalam pemikiran mereka, setiap individu itu berbeda. Tidak bisa memukul sama rata semua individu itu serupa hanya karena konflik agama.

"Aku sering menatap laki-laki lebih dari satu menit. Suatu kesalahan untukku, zina mata. Bukan mahram."

"Zina mata? Gue nggak ngerti, tapi mencoba paham."

"Melihat atau memandang sesuatu yang menyebabkan maksiat itu namanya zina mata," terang Meesha.

"Oh. Lanjut, deh."

"Aku jadi banyak melamun akhir-akhir ini. Banyak pikiran dan nggak fokus."

"Itulah kenapa gue ada di sini. Lo bisa cerita apa pun ke gue. Bukan untuk mengumbar aib, No! Tapi demi hati lo. Jeri dalam dada itu pasti ada dan meletup selalu. Gue tahu, lo itu agamanya taat. Mana bisa menahan dosa terlalu lama. Lo pasti segera menebusnya.

"Dalam konteks janji lo, saran gue cuma satu. Melepaskan. Waktunya move on, Aa' udah meninggal, mau nepatin janji gimana?" Nita mengembuskan napas bangga dengan pikirannya yang baru menyentak kesadaran.

"Aku akan mencoba mencari lebih tahu banyak soal ini, Nita."

"Tebus juga dosa-dosa yang terlanjur terjadi karena kesalahan-kesalahan yang mungkin tidak kita sadari."

Meesha mengangguk. Dalam mindanya sudah memutuskan mantap.

"So, apa keputusan lo?"

"Move on, sudah saatnya kan? Seperti yang kamu bilang. Hidup terus berjalan."

"Nah, ini baru sahabat gue." Nita bertepuk tangan riang. Merasa sahabatnya telah kembali. "Semangat!" seru Nita menyemangati.

Meesha tersenyum lebih semringah dari sebelumnya.

Nita melirik jam di dinding ruangan, dia mulai bangkit, mengajak Meesha beranjak. Sudah pukul sepuluh, saatnya mereka bergegas bekerja jika tidak ingin terkena peringatan. Walaupun tadi Nita sudah meminta izin terlebih dahulu untuk telat karena mengurus masalah pribadi. Dia pun selangkah lebih maju untuk meminta Zen, rekan kerja Meesha untuk mengizinkannya pula. Dia sudah berniat bulat untuk tahu hari ini. Semula, dia berniat akan memaksa Meesha jika Meesha tak ingin bercerita.

"Yuk balik. Kerja," ajak Nita seraya menunjuk jam di dinding. Meesha mengangguk. Merapikan cangkir-cangkirnya lantas keluar ruangan bersama Nita.

Di sisi lain, pria itu memejamkan mata erat. Jemarinya lentik memijat pelipisnya, seolah ada yang berdenyut tak nyaman di kepala hingga membuatnya harus melancarkan dengan pijatan.

"Aku tahu semua ini akan terjadi. Ini salahku," lirih pria itu dengan sorot sendu. Pria itu bangkit lantas ikut meninggalkan ruangan.

***

1.034 words
Sabtu, 11 Agustus 2018
11.34 PM

Memeluk Janji [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang