"Meesha ingin Simbok di sini, membantu Meesha," pinta Meesha seraya mengempaskan pantat di kursi meja makan. Sedangkan Mbok Sum dengan telatennya menata seluruh makanan yang dia masak.
"Maksudnya? Simbok bekerja di sini?"
"Iya, Mbok, tapi, Meesha mohon maaf sekali. Meesha tak sanggup memberikan gaji tinggi untuk Simbok."
"Simbok mau, Mbak."
"Alhamdulillah, terima kasih, Mbok."
Jika ada Mbok Sum di sini, aku bisa lebih terkontrol. Ada yang tahu jika terjadi apa-apa denganku, seperti tadi pagi. Pikir Meesha.
***
Pukul satu siang, Meesha mencoba berangkat ke kantor. Dia tahu, dia benar-benar terlambat. Mungkin dia akan mendapat surat peringatan. Namun, semua sudah terlanjur. Dia harus menyelesaikannya satu per satu urusannya. Begitu kakinya menapak lantai lobi, dia disambut oleh jeritan temannya, Nita.
"Meesha ... God, lo baik-baik aja 'kan?" tanya Nita menghampiri Meesha yang terpaku di ambang rolling door.
"Aku nggak apa-apa," sahut Meesha tak enak dengan karyawan lain yang terganggu oleh teriakan sahabatnya.
"Lo sekarang tinggal di mana? Kok nggak ngasih tahu gue? Dari semalam gue coba hubungin lo, tapi nggak ada balasan dari lo."
"Aku ... nanti saja ceritanya, aku harus ke ruangan sekarang," ucap Meesha mengalihkan pembicaraan.
"Lo tenang aja. Gue udah izinin lo. Gue bilang kalau lo lagi sakit."
Meesha tertegun di tempatnya. Walaupun itu hanya pikiran seorang sahabat yang tahu sahabatnya tengah kesusahan, tapi, sepertinya ikatan itu begitu kuat hingga Nita mampu merasakan sesuatu tak beres ada padanya.
"Lo nggak beneran lagi sakit, 'kan? Kok muka lo pucet? Kalau sakit mending nggak usah berangkat. Lagian juga ini udah siang, udah setengah dua. Nanggung amat lo berangkatnya," gerutu Nita.
"Aku pergi dulu, ya," pamit Meesha melepaskan rangkulan Nita di tubuhnya. Dia segera beranjak ke lift di bagian kanan gedung. Dia menggunakan lift biasa untuk karyawan. Tidak ingin merasa diistimewakan. Kenyataannya, dia memang sedikit diistimewakan sejak berubah posisi menjadi sekretaris Arzan.
Menekan nomor lantai tempatnya bekerja, Meesha segera memasuki lift. Selang beberapa menit, dia telah sampai di lantai yang ditujunya. Menghela berat, Meesha mencoba mengurangi sesak yang ada di dadanya.
"Assalamu'alaikum Pak Zen, Pak Arzan ada? Saya tahu beliau pulang hari ini," sapa Meesha begitu kakinya telah sampai di hadapan meja seberang ruangannya, meja rekan kerjanya.
"Astaghfirullah, wa'alaikumsalam, ya Tuhan, Mbak Meesha, kamu mengagetkanku," ucapnya kaget.
"Maaf, Pak," sesal Meesha.
"Tak apa, tapi, Pak Arzan sedang ada tamu."
"Tamu?" ulang Meesha bingung.
"Ya, eh tunggu, bukankah kamu izin sakit?" tanya Zen.
"Sudah lebih baik, Pak. Saya memutuskan untuk masuk kantor karena ada sesuatu yang harus saya urus."
"Baiklah, tunggulah dahulu. Pak Arzan sedang ada tamu," putus Zen.
Meesha mengangguk lantas berpamitan membalikkan badan hendak menunggu di ruangannya. Belum sempat dia meletakkan pantat di kursinya, pintu ruangan Arzan telah terbuka. Menampilkan sesosok perempuan yang dulu pernah dilihat Meesha di cafe.
KAMU SEDANG MEMBACA
Memeluk Janji [Complete]
EspiritualArsyila Romeesa Farzana. Putri pemilik pondok pesantren ternama di Magelang. Meesa, begitu orang-orang memaggilnya. Ia menjalani kehidupannya secara teratur, tak pernah ia melanggar larangan yang ada. Monoton, kata teman-temannya. Hingga suatu hari...