열여섯

188 27 30
                                        


" 𝑱𝒂𝒎𝒊𝒏𝒂𝒏 𝒅𝒂𝒓𝒊 𝒔𝒆𝒃𝒖𝒂𝒉 𝒌𝒆𝒃𝒂𝒉𝒂𝒈𝒊𝒂𝒂𝒏 𝒂𝒅𝒂𝒍𝒂𝒉 𝒌𝒆𝒃𝒂𝒉𝒂𝒈𝒊𝒂𝒂𝒏 𝒊𝒕𝒖 𝒔𝒆𝒏𝒅𝒊𝒓𝒊 "

Jaminan...kah ?
Mungkin itulah gambaran untuk apa yang tidak Hanbin sadari dalam hidupnya beberapa tahun belakangan ini .

Pria dengan penampilan berantakan itu terduduk diatas ranjang rumah sakit dalam keadaan mata yang diperban .
Rambut acak-acakan dan baju yang masih berlumuran darah melekat ditubuh kekarnya.
Dia mengepalkan tangannya kuat disamping tubuh yang penuh luka itu . Ia bahkan tidak membiarkan perawat mengganti pakaiannya dengan pakaian rumah sakit .

Ingatan demi ingatan hadir dalam pikirannya . Terasa begitu cepat kejadian yang ia alami . Dari waktu bersetubuh dengan istrinya , perdebatan dengan kekasihnya dan kini berahir di rumah sakit .
Bahkan kini kegelapan mengelilinginya . Gelap tanpa cahaya , dan Hanbin membenci ini .
Bayangan darah dan teriakan itu kembali menggema dalam pikirannya . Hanbin tidak peduli seberapa banyak genangan darah yang B.I buat ketika dia butuh , dia tidak peduli bagaimana orang meminta ampun padanya dalam keadaan sekarat . Dia benar-benar tidak peduli , asal darah dan teriakan itu bukan dari orang yang ia cintai .
Tetapi kini Hanbin melihatnya . Hanbin mendengarnya . Hal itu membuatnya ingin gila karena keadaan yang tidak ingin ia alami nyatanya berlangsung didepan matanya sendiri .

Dibawah cahaya lampu rumah sakit , Hanbin berteriak keras melampiaskan segala emosi yang ada dalam dirinya saat ini .

Menyedihkan

Suara pintu kamar rawat tempatnya berada , terdengar begitu pelan tanda ada orang yang masuk kedalam ruangan tersebut .
Hanbin memasang wajah datar dan angkuhnya .
" Kurang jelas ucapanku tadi ? Aku bilang jangan ada yang masuk . Apa kau tuli suster ?! "

Namun tak ada jawaban malah yang indra pendengarannya dengar adalah langkah kaki seseorang yang semakin mendekat kearahnya, langkah kaki yang sangat pelan dan lambat . Gesekan kaki kursi dan lantai membuat Hanbin sedikit terkejut tetapi sebisa mungkin dia menahan respon tubuhnya hingga suara lemah , serak dan putus asa itu mengalun ditelinga Hanbin bagai lagu kesengsaraan tiada akhir
" Pembunuh "

Tekanan dari kalimat yang Hanbin tahu adalah suara istrinya itu memberi sebuah kejutan aneh pada jantungnya . Dia terbiasa dengan sebutan itu beberapa waktu silam , tetapi mendengarnya langsung dari wanita uang selama ini lemah lembut rasanya sedikit mengganggu hatinya . Meski begitu ia memberi tanggapan ringan dengan sebuah senyum mengiringi ucapan itu
" Aku tahu . Lalu kenapa ? "

Hyunbi menutup mulutnya menahan isak tangis yang kini begitu menyakitkan lebih dari penderitaannya selama ini . Tetapi kali ini saja , Hyunbi tidak ingin suaminya itu mendengar bagaimana lemah dan hancurnya diri Hyunbi saat ini .
" Kau membuat anak kita pergi . Bayi kecil mungil nan polos harusnya berada didunia saat ini . Menghirup udara yang sama dengan ibu dan ayahnya . Tetapi dengan tega sang ayah membiarkan dia pergi "

Ketegaran hati Hyunbi untuk mengatakan perasaannya kini pada Hanbin nyatanya hanya dianggap angin lalu oleh pria yang sayangnya sangat Hyunbi cintai itu
" Kau yang memilih untuk mempertahankannya , bukan aku . Jikapun memang dia anakku , itu artinya dia tidak layak . Dia telah pergi karena lemah , bukankah itu lebih baik ? Kau tahu hidup didekatku adalah penderitaan untukmu dan anak itu jika dia tetap hidup . Mengakhiri lebih dini itu pilihan tepat . "

Ucapan kejam Hanbin membuat tangis Hyunbi pecah . Dia tidak bisa menahannya lagi . Menyadari seberapa tidak inginnya Hanbin memiliki anak darinya , memberikan Hyunbi sebuah pilihan untuk menyerah akan rumah tangga mereka
" Kejam . Hiks ku pikir dengan adanya anak diantara kita kau akan berubah padaku Tuan tetapi aku melupakan kenyataan bahwa aku hanyalah seonggok sampah didepanmu "

SHADOWTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang