AIE 22

3.5K 221 3
                                    

SELAMAT SIANGG.

HAI SEMUA.

INI AKU KALO MASIH INGATT. BALIK LAGI DENGAN CERITA INI SEMOGA SUKA.

BTW INI NGETIK PAS NUNGGU ANTRIAN BANK JADI KALAU ADA KURANG ATAU BAHKAN TYPO MAAFKAN YAA...

JANGAN LUPA VOTE DAN COMMENT YA SISS. LOPYUU.

Tapi belum sempat ia mencapai kursi itu, kepalanya semakin parah dan pandangannya tiba tiba saja menggelap.

"NYONYA!" Para pramugari/a itu refleks berteriak dan melangkah dengan segera mendekati Luna yang kini tergeletak di lantai pesawat itu.

Teriakan mereka semua pun membuat Barra yang baru saja usai membersihkan dirinya refleks berlari keluar dan mendapati istrinya sudah terkapar di lantai.

"Luna!"

{Am I Embarrassing? Chapter 22}

"Bagaimana keadaannya?" Tanya Barra khawatir kepada dokter yang menangani Luna.

Keberangkatan mereka kembali ke Jakarta terpaksa di undur karena Barra ingin Rea mendapatkan penanganan dan juga pelayanan medis yang maksimal. Ia tidak mau sampai Luna kenapa napa dan telat di tangani hanya karena memaksakan terbang kembali ke Jakarta.

"Sepertinya penyebab dari pingsannya Nyonya Aluna dikarenakan beliau merasa tertekan dan banyak pikiran, Tuan. Selain itu kurangnya asupan yang masuk membuat tubuhnya melemah dan tumbang akhirnya. Setelah cairan infus ini habis, Nyonya Aluna dapat kembali pulang." Ucapan dokter itu memang terdengar masuk akal mengingat ancaman Barra dan keadaan pria itu yang sempat marah marah kepada istrinya itu.

Tapi bagi Barra, sekalipun Aluna dapat pulang ketika infus yang menempel di tangannya dapat di lepas ketika cairan itu sudah sepenuhnya masuk ke dalam tubuh istrinya itu tidak menjadi alasan untuk Aluna bisa pulang dengan mudah.

Ia harus memastikan keadaannya benar benar stabil. Barra tidak mau mengambil resiko karena tepatnya penanganan.

"Biarkan dia dirawat beberapa hari terlebih dahulu. Lebih baik kalian memindahkan istriku ke ruang VVIP dan berikan pelayanan serta pengobatan terbaik untuknya. Aku tidak mau ada sedikit saja kesalahan." Ucap Barra pada akhirnya membuka suara dengan memberikan perintah kepada paramedis.

Dokter itu memandang bingung Barra. Pun dengan beberapa suster yang turut serta mendampinginya. "Baik, Suster Laura. Tolong siapkan kamar VVIP untuk Nyonya Aluna."

Dan akhirnya si dokter pun memberikan perintah kepada suster yang mendampinginya untuk segera menyiapkan kamar rawat untuk pasiennya. Yang walaupun si dokter itu sendiri kebingungan dan hanya bisa menuruti saja karena dilihat dari tingkah pria yang merupakan suami pasiennya itu, pria itu bukanlah orang biasa.

Terlihat jelas dari pakaiannya dan juga gaya bicaranya yang angkuh, apalagi saat mengatakan perintahnya kepada dirinya selaku dokter senior di rumah sakit ini tanpa sopan santun, membuat si dokter dapat memahami kalau pria yang berdiri di depannya itu merupakan orang berada.

Menurutinya walau terdengar terlalu dilebih lebihkan adalah satu satunya cara, karena banyak orang kaya yang semena mena menurutnya. Dan lagi, si dokter tidak mau direpotkan dengan buntut yang akan diterimanya kalau tidak menuruti kemauan keluarga pasien.

Barra mengangguk puas dengan tindakan yang dilakukan dokter itu. Meskipun ada sedikit rasa tidak rela karena Aluna harus ditangani oleh dokter pria dikarenakan tenaga ahli yang bertugas hanya tersisa pria itu. Tapi melihat sikap si dokter yang terkesan tidak banyak tanya membuatnya puas dengan pelayanannya.

Setelahnya beberapa perawat masuk ke dalam ruang gawat darurat itu dan mulai mendorong brankar yang ditiduri oleh Aluna. Zachary melihatnya dalam diam dan mulai melangkahkan kakinya begitu berangkat itu berjalan keluar dari ruang gawat darurat itu.

Disela-sela membuntuti brankar Aluna dengan beberapa ajudannya yang turut membuntutinya, Zachary mengeluarkan handphonenya dan mengabari kepada anak-anaknya yang berada di Jakarta bahwa rencana kepulangan mereka tertunda karena insiden ini.

Tentu saja menghubungi Bastian merupakan tujuannya. Selain karena ia adalah putra sulungnya, lelaki itu satu-satunya orang yang bisa diandalkan untuk saat ini selain Gerald tentunya yang tengah fokus mengurusi perusahaan Mamanya.

"Francesso's speaking." Ujar Bastian begitu ia menerima telepon dari nomor yang ia ketahui sebagai nomor Papanya, tapi sudah kebiasaannya untuk mengucapkan hal itu begitu ia mengangkat telepon dari seseorang.

"Papa, Mama dan Riri belum bisa kembali ke Jakarta karena ada keadaan yang mendesak. Kau ambil alih perusahaan pusat lebih dahulu dan biarkan tugasmu ditangani oleh Gerald. Perintahkan Gio turun tangan di Seraphine's." Ucapan panjang dari Barra itu membuat Bastian mengangguk paham, dengan rasa penasaran yang muncul karena jadwal kepulangan yang dibatalkan dengan tiba tiba.

"Ada yang salah dengan salah satu dari mereka?" Tanya Bastian mencoba menebak nebak alasan batalnya kepulangan mereka hanya berpegang pada intuisinya.

Barra tanpa sadar mengangguk dan mengakui kalau intuisi anaknya ini sudah lumayan terasah dan membuatnya bisa menebak keadaan walau masih meraba raba.

"Papa bertindak terlalu keras dan membuat Mamamu kepikiran karenanya. Itu membuat Mama drop dan sempat pingsan begitu pesawat bersiap untuk take off tadi. Sekarang Papa sedang ada di salah satu Rumah Sakit setelah menerbangkan Mamamu ke pusat Pulau Bali." Ujar Barra panjang lebar yang membuat Bastian mengeluarkan oh panjang karenanya.

"You jerk! Siloam atau pindah? Perlu bantuan atau apa?" Tawarnya kepada sang Papa yang baru saja dicibirnya.

Barra mengabaikan cibiran anaknya yang sudah tahu keburukannya berkaitan dengan temperamennya dan memilih menjawab. "Bukan Siloam. Kali ini Papa butuh akses bandara langsung. Ada rumah sakit di Denpasar namanya BIMC."

"Ahh, okay. Aku bilang ke yang lain dulu. Papa hati hati dengan Riri dan Mama disana." Ujar Bastian sebelum ia mengakhiri sambungan telepon mereka.

Barra hanya diam dan menatap istrinya yang masih terlelap dengan pulas di tengah ruangan besar ini. Langkahnya membawanya yang semula berdiri di dekat jendela kaca lebar ruangan ini untuk mendekati ranjang Aluna.

Matanya menyendu melihat wanitanya terbaring di atas ranjang rumah sakit dengan wajah pucatnya. Namun lagi lagi wajah pucat Aluna itu membuat Barra menjadi overthinking dan menggenggam erat tangan Aluna yang bebas dari selang infus.

Mengecup tangan itu sesekali sembari memikirkan banyak hal di otaknya.

Lain dengan Bastian yang langsung memerintahkan dua pasang adik kembarnya untuk segera berkumpul di ruang makan. Tidak lain adalah untuk memberitahukan kondisi Mamanya dan juga karena ini memang sudah mendekati jam makan.

"Apa kita perlu menyusul ke sana?" Tanya Gio pada akhirnya memecahkan keheningan setelah penjelasan Bastian selesai.

Semua saudaranya refleks melihat ke arah Bastian untuk mendapatkan konfirmasi dari kakak tertua mereka.

Bastian menggeleng singkat, lalu mulai membuka mulutnya. "Papa memerintahkan aku mengambil alih perusahaan pusat untuk sementara. Lalu Gerald akan melakukan tugas tugasku di perusahaan cabang dan Gio akan menggantikan Gerald untuk sementara waktu di Seraphine's." Ujar Bastian membuat Gio yang sama sekali tidak suka berurusan dengan perusahaan mendengus kesal karenanya.

Sedangkan Alfa dan Verro yang tidak mendengar adanya nama mereka disebutkan pun tersenyum sumringah. "Kalau begitu kami yang akan menyusul Mama, Papa dan Kakak. Kami akan memberikan kabar terkini kepada kalian." Ujar Verro bersemangat lalu segera melenggang pergi dari ruang makan. Disusul Alfa di belakangnya.

{Am I Embarrassing? Chapter 22}

Am I Embarassing?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang