"Hai, Riri. Aku Rosa. Rosaline Cristabel Vennon. Senang duduk denganmu, semoga kita bisa jadi teman dekat." ujar Rosa begitu Riri duduk disebelahnya yang hanya dibalas senyum kecil Riri.
{Am I Embarassing Chapter 3}
"Bagaimana hari pertama Riri disekolah baru?" tanya Luna begitu melihat putrinya memasuki kediaman mereka diikuti oleh kakak kakaknya.
Mendengar pertanyaan sang Mama, Riri menebarkan senyum lebarnya. "Tadi itu Riri dapat teman baru, namanya Rosa. Dia cantik loh ma. Baik juga mau bantu Riri belajar walau Riri nggak paham paham."
Luna menjadi tertarik untuk bertanya saat Riri bilang teman barunya itu bersedia membantunya mencerna pelajaran tadi.
"Oh ya? Dia teman yang baik. Kapan kapan ajak main kemari, oke? Lalu bagaimana rasanya satu kelas dengan kakak kakakmu?" tanya Luna penasaran.
"Menyenangkan. Tapi tadi kak Gi dan kak Ge bilang pada teman cowok yang minta nomor handphone Riri kalau dia gak boleh minta minta nomer Riri. Terus ngancem ngancem gitu, Ma. Pakai bilang lo lo," ujar Riri tetap ceria.
Sedangkan Gerald yang mendengarnya menghela napasnya dalam dalam. Susah memang punya adik sepolos Riri, batinnya.
Luna langsung menoleh kearah Gerald begitu mendengar perkataan putrinya itu. "Benar itu kakak? Kakak nggak ngebolehin Riri kasih nomor dia ke teman satu kelasnya?"
"Iya Ma, tadi Ge nggak bolehin Riri kasih nomornya. Soalnya teman Ge tadi itu udah punya pacar dan Ge nggak mau Riri terlibat masalah apapun. Walau Ge selalu sama Riri, tidak menutup kemungkinan Riri bakal jadi santapan empuk mereka Ma."
"Santapan empuk? Riri memang punya daging kakak. Tapi daging manusia tidak untuk dimakan bukan?" ujar Riri yang rupanya menyimak segala yang dikatakan Gerald pada sang Mama.
"Eummhh, maksud kakak itu. Nanti kalau Riri sedang tidak bersama kakak, mereka bisa saja menyakiti Riri karena iri. Mereka ingin dekat dengan kakak dan Riri bisa melakukannya." terang Gerald yang berusaha menggunakan bahasa sesederhana mungkin.
"Kenapa? Apa Riri tidak boleh dekat dekat dengan kak Ge? Riri kan adik kakak. Kalau begitu, berarti Riri tidak boleh dekat dengan kak Gi dan kak Bastian?"
"Maka dari itu. Tadi kakak bilang biar mereka nggak dekat dekat dengan kamu. Supaya kamu tidak terlibat masalah." terang Gerald yang dibalas oh panjang dari Riri.
Sedangkan Luna yang masih bisa mendengarnya pun tersenyum geli. Riri memang tidak sepintar saudaranya. Tapi, justru karena itulah semua lelaki di keluarganya sangat protective pada Riri juga pada dia sendiri.
Sejujurnya, setelah Riri dan kedua saudaranya lahir. Luna sangat ingin kembali mempunyai anak perempuan karena dia sangat membutuhkan teman. Namun rupanya, Tuhan memberikan kesempatan itu hanya sekali. Dan itu Riri.
Jadi wajar saja kalau seluruh keluarganya sangat menjaga Riri. Apalagi dengan kepolosannya itu seringkali membuat para pria-nya kalang kabut.
Apalagi dalam keluarga besar Francesso, putrinya itu merupakan satu satunya cucu perempuan. Memang bisa dilihat dari silsilah keluarga Francesso, kebanyakan lelaki. Pada setiap generasi, pasti hanya ada satu atau dua orang perempuan. Dan itu membuat para lelaki ber-gen superior itu sangat amat protective pada wanita keluarga Francesso.
Entah ini kesialan atau malah keberuntungan, Riri lah yang kali ini menyandang status sebagai satu satunya wanita dikeluarga ini. Hal itulah yang membuat sifat possessive dan overprotective para pria Francesso sampai di titik puncak.
Jika banyak orang menganggap memiliki banyak keturunan pria adalah sebuah keberuntungan, tapi tidak bagi Francesso bersaudara. Wanita sangat berarti bagi mereka. Dan itu mutlak. Kebanyakan Francesso bersikap dingin pada wanita untuk menghindarkan saudara perempuannya dari masalah.
Untungnya, Riri tidak merasa keberatan dengan sifat protective dari saudara, sepupunya dan bahkan paman pamannya. Mungkin bagi wanita Francesso, pertemuan keluarga setiap tiga bulan sekali merupakan neraka. Karena saat itulah mereka benar benar berada dalam pengawasan pria Francesso selama berhari hari, atau bahkan berminggu minggu lamanya.
{Am I Embarassing? Chapter 3}
"Papa!!" seru Riri begitu melihat Barra memasuki rumah.
Barra yang awalnya kecewa karena istrinya, Aluna tidak menyambutnya di pintu seperti biasa menjadi senang mendengar teriakan putri satu satunya itu. Pasalnya, ini memang permintaannya supaya Riri saja yang turun menyambutnya.
Tapi pemandangan kali ini berbeda. Riri berteriak memanggilnya dari lantai dua. Dan gadis itu terburu buru turun untuk memeluk sang Papa.
Namun hal itu malah membuat jantung Barra hampir copot. Riri hampir berlari menuruni tangga?! "Riri!! Jangan lari larian di tangga!"
Luna yang mendengar teriakan Barra langsung lari menuju ruang tengah dan mendapati putrinya tengah berlari menuruni tangga.
"Riri! Jangan lari, Ya Tuhan?!" teriak Luna yang masih tidak dihiraukan Riri.
Riri itu sangat ceroboh. Dan dia sering sekali jatuh. Jika hanya berjalan biasa mungkin Luna masih bisa menertawakan saat Riri jatuh. Tapi ini tangga!! Dan putrinya berlarian di tangga!! Bagaimana jika Riri ja--
"Ahhhh, Papaaaa!!" "Riri?!?!" teriak Riri dan Luna berbarengan. Saat hampir tiba diujung tangga, Riri tersandung kakinya sendiri dan gadis itu hampir jatuh. Kalau saja Barra tidak berlari secepat kilat menuju Riri, Luna yakin anaknya kini babak belur karena jatuh.
Entah bagaimana caranya Barra sampai ditempat Riri dan menangkapnya. Tapi yang jelas, itu membuat Luna mengelus dadanya lega. Setidaknya putrinya belum terluka.
Barra membawa Riru dalam gendongannya. Dan mendudukkan diri di sofa dengan Riri yang ada dipangkuannya. Gadis itu masih diam dan terpaku. Mungkin dia masih shock, batin Luna berargumen.
"Mama, tolong bawakan air untuk Papa dan Riri."
Mendengar perkataan sang suami membuat Luna beranjak ke dapur. Dan beberapa saat kemudian, Luna telah duduk disebelah Barra yang tengah menenangkan Riri. Gadis itu tengah menangis karena takut.
"Salah kamu sendiri, kan. Papa sudah pernah bilang jangan lari larian di tangga. Lagipula, kamu jalan biasa aja sering jatuh. Apalagi pakai lari lari begitu?!" omel Barra yang dibalas tangis Riri yang semakin keras.
Luna yang mendengarnya menggelengkan kepalanya. Anaknya nangis kok malah dimarahin, batinnya mengutuk sikap overprotective Barra.
Luna mengelus elus kepala Riri. Berusaha menenangkan putrinya itu. "Jangan nangis lagi dong sayang. Kan kamu juga nggak kenapa kenapa. Nggak jadi jatuh juga kan?"
Riri menoleh kearah Luna. Menampakkan wajahnya yang luar biasa kacau. Wajahnya sangat merah. Matanya sembab. Hidungnya juga merah, dan berkali kali mengusap usapkan ingusnya ke kemeja Barra. Luna tersenyum geli melihatnya.
"Riri...hiks..takut, Ma. Hikss. Masa tadi...hiks..Papa bentak bentak....hiks..Riri. Kan Riri cuma seneng lihat...hiks..Papa pulang, Ma. Riri gak mau..hiks..dekat dekat Papa..hiks..Riri mau sama..hiks..Mama aja," ijar Riri lalu pindah dari pangkuan Papanya ke pangkuan sang Mama yang disambut dengan elusan hangat Luna.
Untung saja. Walaupun Luna wanita, tapi badan Riri yang kecil masih mampu ditanggungnya. Jadi Luna tidak merasa keberatan kalau Riri duduk dipangkuannya.
Barra yang mendengar itu berdecih. "Biarin aja. Kamunya kan juga nakal. Papa gak suka punya anak perempuan yang nakal. Papa nanti bilang ke kak Ge dan kak Gi. Biar kamu berangkat sekolahnya jalan kaki. Papa gak mau kasih kamu uang jajan."
Mendengar perkataan Barra membuat tangis Riri makin pecah. Dengan kesadaran penuh, Luna melemparkan tas kerja suaminya kewajah Barra. Dia kesal karena suaminya selalu mengganggu Riri.
"Kamu tidur diluar, Mas!!" seru Luna gemas.
{Am I Embarassing? Chapter 3}
KAMU SEDANG MEMBACA
Am I Embarassing?
Teen Fiction"Kamu ngapain? Kok tiba-tiba peluk aku?" tanya Riri bingung. "Memangnya tidak boleh peluk pacar aku?" tanya pria dewasa itu santai. Namun Riri malah bingung mendengarnya. "Pacar itu apa?" tanyanya polos. "Kamu tidak tahu pacar?" tanya pria itu tidak...