He was the Teacher's Informan

35 18 3
                                    

SEBAGIAN anak kelas IX-B sedang berkumpul dengan geng motornya di bawah pohon beringin, tertawa terbahak-bahak dan sesekali mengepulkan asap. Jalanan itu jarang sekali dilalui orang, sehingga mereka seolah-olah memiliki istana raja pribadi. Padahal, dalam salah satu rumah di sana, di balik jendela monokrom. Seorang anak lelaki dengan tampangnya yang dingin, sedang memotret mereka dengan ponselnya. Dia mendengus pelan, lalu mengirimkan itu pada gurunya.

Sesungguhnya, Ghifar tak pernah ingin melakukan itu. Menjadi mata-mata sekolah.


Ghifar memulai kelas tiganya di SMP yang baru dengan seperempat hati, mengingat ia sudah berjuang mendapat kelompok di SMP sebelumnya dan memegang beberapa posisi penting dalam OSIS. Tapi, kenapa, sih, selalu ada sebuah drama yang memaksa anak sekolahan pindah dan memulai dari awal?

"Menurutmu, mau ikut OSIS lagi di sini?" Pak Danar meletakkan setumpuk buku paket di atas etalase, sebelum Ghifar ambil ke dalam plastik.

"Saya aja baru sehari," Ghifar menghela napas pelan, "betul-betul baru."

"Jujur, nih, Far," Pak Danar bertelekan tangan di atas etalase, "bukan bermaksud menjatuhkan sekolah sendiri. Tapi, anak-anak di sini memang agak susah untuk diberikan amanah. Mencari anak-anak jujur yang terpercaya itu kayak mencari jarum di antara jerami."

"Bapak pikir saya terpercaya?"

"Saya tahu posisimu di SMP yang kemarin. Saya magang di sana, guru tetap di sini."

Ghifar pergi ke luar koperasi dan hampir menabrak seorang siswi yang terbelalak. "Ha! Ngapain? Sini kubantu bawa."

"Aku aja," kata Ghifar. Dia sebal kalau sepupunya itu, Kasmira, dekat-dekat dengannya karena suka meremehkan. Kasmira pikir, mentang-mentang Ghifar murid baru, dia harus punya asisten khusus seperti anak manja. Aduh, Ghifar, sih, tidak mau.

"Tadi, Pak Danar ngomong apa?"

"Enggak tahu."

"Gimana enggak tahu?"

"Kamu mau apa, sih?"

"Aku penasaran. Kamu tahu, enggak, kalau di sekolah ini ada mata-mats guru?"

"Enggak, tuh."

"Nah, hati-hati, Far!" Kasmira menepuk pundak Ghifar keras-keras. "Semoga kamu enggak ditunjuk di situ atau ikut campur. Guru-guru di sini bahaya!"

Ghifar menyingkirkan tangan Kasmira dengan keras. "Apa buktinya, atau kamu cuma berprasangka?"

🎲

"Kamu lihat enggak, sih, Alpa bawa botol ke kelas kemarin?"

"Botol?"

"Miras!"

"Astaga, terus gimana?"

"Ya, aku nyicip sedikit."

Ghifar yang sedang bersandar ke dinding itu terus mendnegarkan
percakapan murid dari kelas sebelah yang hanya disekat oleh triplek. Tentu saja begitu mudah untuk mengrtahui suatu kabar dari sana, dan Ghifar tak akan merasa bersalah. Sama ketika dia melihat dua orang murid berkencan di taman yang sepi, atau balapan motor, atau berkelahi dengan murid dari sekolah lain di gang sempit.

Anak lelaki itu bangkit dengan menyampirkan tas selempangnya, lalu pergi ke luar kelas. Dia memang selalu jadi yang terakhir keluar setelah teman-temannya rusuh berebutan lewat di pintu, atau bahkan langsung dari jendela, dan tak seorang pun yang tinggal untuk piket. Tulisan di papan tulis itu apalah artinya.

Entah dia kurang kerjaan atau bagaimana, tapi Ghifar tetap menerima tugas rahasianya. Ketika menjelang sore, anak-anak sudah hampir pulang semua, dia akan masuk ke kantor, ke ruangan kepsek. Di sana, dua pria sedang menunggunya.

"Welcome," kata Pak Danar yang duduk di sofa. Di dekatnya, ada sebuah meja kayu porselen tempat kepala sekolah melakukan segala perkerjaan. Di bawah pendingin ruangan, tentu saja. "Apa yang kamu bawa?"

"Alpa kelas sembilan C mabuk, dua temannya ikut."

Pak Budiman mendesah. "Dari mana mereka dapat itu?"

"Jim kelas delapan E menjual bebas di perdagangan gelapnya," ungkap Ghifar.

"Kita harus tingkatkan patroli sekolah. Sebisa mungkin cegah mereka membawa barang-barang itu," kata Pak Budiman.

"Tapi," Pak Danar berdeham, "dunia di luar sekolah itu lebih luas, Pak. Mereka punya tempat di mana saja, terlebih ada warung-warung yang menerima segala umur. Melegalkan minuman-minuman puyeng dengan kedok minuman kekinian."

"Tapi, kita enggak mengendalikan masyarakat. Kita fokus dengan murid dalam sekolah."

"Memang benar, Pak. Maka dari itu, kita buat lingkungan sekolah yang enggak mengekang mereka, daripada mereka mencari wadah lain."

"Bagaimana?"

Kedua pria itu asik berbincang mengenai program yang mereka rancang secara tiba-tiba karena ide yang bermunculan deras. Ghifar yang duduk di sofa seberang mulai jenuh. Dia menyela pembicaraan dan izin pulang. Sepanjang perjalanan di trotoar, kasus-kasus temannya terus terngiang hingga ia menjadi oleng. Ghifar nyaris tertabrak motor jika seseorang tidak menarik kerah bajunya.

"Aku tahu pelajar itu stres, tapi jangan bunuh diri di sini, dong," kata anak lelaki itu. Dia cukup jangkung dengan rambut yang tertutup topi berlambang SMA. "Sayang kalau mati muda, padahal siapa tahu kamu jadi orang sugih."

Ghifar tersadar dari lamunannya dan melirik bordiran di seragam anak tersebut. Namanya, Diva. Bagaimana mungkin anak lelaki SMA punya nama Diva? Ghifar heran sekali. "Bukan bunuh diri."

"Lalu?"

"Bunuh pikiran."

🎲

March, 6 2021
22.32

10 Oddish You Don't Wanna Know [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang