He was The Weak Wicked

76 27 1
                                    

REPLIKA Belfry Tua, yang dulu juga terletak di Battle Green, sekarang berada di atas bukit yang menghadap ke kota. Apa, sih, maksud dia ketika memandang Lenox High School? Memperingati lonceng sederhana yang membunyikan alarm pada malam pertama Revolusi? Aku sudah mendesak Ayah untuk menggusurnya, tapi meskipun dia anggota dewan di Lexington, tetap saja tak berdaya.

Orang tua payah, apakah dia tidak malu kalah berkuasa dari putera emasnya? Aku selalu berkuasa di Lenox H.S, tak ada yang bisa melampaui kekuasaanku di sana. Aku yang terkaya, aku yang tertampan, aku yang tercerdas. Atau barangkali, anak-anak berseragam lusuh dan tas compang-camping itulah yang memang terlalu bodoh?

Seharusnya, mereka tak pantas belajar di sini hanya karena belas kasih pemkot Lexington dan dukungan masyarakat, entah sejak kapan warga bagian Massachusetts itu mendadak dermawan. Tapi, tetap saja aku mampu melakukan apapun agar mereka, anak-anak tidak pantas itu, pergi dan tak pernah kembali. Sejak aku seorang sophomore hingga senior, siasat cerdikku selalu ampuh.

Sialnya, tahun ini agak beda. Murid baru yang datang semenjak kelas sebelas itu, Jeremy Gregha, anak yang keras kepala dan bodoh: ia tetap bertahan di Lenox H.S meski telah dipandang buruk seisi sekolah karena gunjingan yang telah disebar asisten rahasiaku. Sayang sekali, semua tudingan gila itu tak membuatnya gusar dan nelangsa walau ditindas hingga pipi tirusnya membiru.

"Aku bisa melacak rumahmu dan menggusurnya semudah menjetikan jari, jika wajahmu masih tampak di sekolah ini besok." Kulepas cengkeraman pada kerah kemejanya dengan dorongan. Blazernya sudah kotor, aku muak sekali melihat itu.

Jeremy mengelap darah di sudut bibirnya. "Gusur saja, siapa peduli?"

Aku berdecak dan menarik rambut hitamnya hingga kepalanya menengadah. Pupil matanya yang tajam menatapku lamat-lamat seperti harimau sebelum memangsa. Rakyat jelata menjijikkan. "Apa yang kau cari di sini, Badung? Kehinaan?"

"Kau--tidak perlu--tahu--"

Aku meninju pipinya hingga ia terhuyung menabrak wastafel di toilet, tak membiarkan ia bicara tuntas-tuntas. "Menyingkir dari sekolah ini. Buang dirimu, Miskin."

Napas Jeremy tersenggal, wajah tertunduk menahan marah. Tangannya terkepal. Menyedihkan. Kutinju wajah dan perutnya hingga ia terbatuk untuk ke sekian kali. Ketika Jeremy terhempas di lantai keramik, aku mengangkat kaki untuk menginjaknya dan akan tertawa puas--

--seseorang datang menghalangi. Aku terbelalak.

Anak perempuan.

"Ah, cewek bejat! Kau kira ini toilet siapa?" aku meringis ngeri.

Dia mengacuhkanku dan membantu Jeremy berdiri, menuntunnya menuju pintu keluar seolah-olah tak pernah ada kejadian apa pun. Aku menyelipkan tangan ke saku dan menatap dingin kedua orang itu.

💀💀💀

Hari kemudian, aku sudah menemukan nama, loker dan kelas anak perempuan itu. Saat itu juga tersebar kabar bahwa Drea Kenn adalah gadis bejat yang suka menyelinap ke toilet laki-laki. Berbagai cercaan berseliweran di lorong-lorong sekolah, dan dalam sekejap, dia telah disiksa oleh para siswi di pelataran belakang. Lanskap belakang Lenox H.S jadi tampak lebih membahagiakan. Aku memandangi perundungan itu dari balkon lantai dua sambil bersedekap dan tersenyum puas.

Hari-hari yang Jeremy Gregha dan Drea Kenn lalui sangat, sangat, sukar--itu pantas bagi mereka yang berani melawanku. Aku tak perlu repot menciptakan berita bohong dan berkelahi untuk menghukum, karena itu sudah menjadi tugas asisten rahasiaku. Jade. Aku tidak pernah bertemu dengannya, tapi yang jelas, dialah asisten gelapku selama ini. Orang di balik panggung yang membantuku menguasai sekolah. Aku menyeringai saat isi tong sampah basah meluncur ria menuju puncak kepala Drea.

10 Oddish You Don't Wanna Know [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang