Calling for My Soul

32 18 1
                                    

"HAH!"

Aku tersentak bangkit dan melotot, terbatuk-batuk akibat sisa reruntuhan yang terjatuh seperti hujan kerikil. Separuh dinding kamarku telah hancur, menyisakan lubang besar di bagian atasnya.

"Mom, Dad," bisikku parau. Aku berjalan terseok-seok seperti orang yang tak pernah menggerakan sendinya puluhan tahun. Tapi perlahan, kurasakan energiku kembali seperti telah disuntik sesuatu yang panas. Sesampainya di lorong lantai dua, aku terbelalak. Ruang tamu di bawah sana sudah hancur--tidak.

Rumahku hancur.

"Ya Tuhan," bisikku. Aku mengambil jaket dan menutup kepala dengan tudung, lalu keluar dari celah besar di tembok.

Bulan berpendar pucat. Jalanan semakin lengang, dengan beberapa kendaraan terparkir asal-asalan, tiang listrik bengkok dan semak-semak yang tadi rapi kini sudah hangus. Perumahan itu porak poranda dan sunyi-senyap, seperti kota hantu. Aku jalan mengendap-endap di pinggiran toko, tertutup bayang-bayang.

Terdengar derap langkah mendekat. Aku berbalik dengan waspada dan nyaris menjerit ketika sesosok makhluk mengerikan mencekikku dari depan. Aku mengayunkan kaki hingga dagunya dan menendang perutnya. Aku hendak menjauh namun sesosok makhluk lain kembali datang, lalu bertambah lagi, lagi, sampai akhirnya aku sungguh terkepung oleh manusia setengah monster; dengan empat mata, taring mencuat dan kaki yang tinggi tidak wajar.

"Oh, oh!" aku hampir pingsan kalau tidak melihat sebuah celah untuk lari dan lari sekencang mungkin--tapi mereka dengan kaki yang panjang mampu berpindah cepat. Makhluk-makhluk itu seakan terpanggil dan keluar satu persatu dari berbagai tempat: mobil, toko, rumah, bahkan atap gedung.

Kulempar sebuah kaleng pada gerombolan itu--dengan bodohnya! Padahal tidak mempengaruhi apa pun. Aku terus berlari tanpa melihat jalanan, melompati sebuah semak dan--terkejut--jatuh ke dalam lubang, meluncur terus hingga ke bawah tanah yang gelap dan terjerat tali-tali. Suara geraman monster itu tak terdengar lagi, namun aku sedang diselimuti kegelapan pekat dan terikat.

Sayup-sayup terdengsr suara langkah terseok, membuatku menahan napas. Apa aku akan mati, sekarang?

"Siapa itu?" tukasku. "Jangan mendekat! Aku bisa bergulat!"

Derap langkah itu berhenti. Tampak siluet gerakan samar, yang berlanjut pada gesekkan api yang terpercik. Hingga sebuah lentera menyala, diikuti lentera lain. Aku terbelalak.

"Ramirez--sepupu dari Madrid? Keponakan dari Sepupu Akisca di Kanada--Edille? Saudari tiri sepupu dari Edinburgh--Lumerus?"

"Janee!?" ketiga anak itu ikut terbelalak.

"Apa yang kalian lakukan di sini? Ini bukan The Boxtrolls!" bisikku bingung.

"Apa yang kau lakukan di perangkap kami?" Lumerus menggelengkan kepalanya. "Itu untuk para Monster."

"Ya, benar!" aku merotasikan mata. "Di luar sana ada banyak monster aneh--aku nyaris mati!"

"Kukira kau sudah mati," kata Ramirez.

Edille berlari memelukku. "Aku juga kira begitu. Atau, setidaknya, ikut berubah."

"Benar, Ed. Orang-orang itu berubah," Lumerus mengencangkan pita ikat rambutnya, "kau ingat, ketika kita mau pulang dari bermain di taman? Rumah Janee meledak! Lalu orang-orang berubah akibat cairan hijau. Lalu kita lari."

"Mana Mom dan Dad? Dan Bibi Dorie. Dan Akisca. Dan ...."

Edille, Lumerus dan Ramirez terdiam.  Ketiganya menggeleng.

[]

"

Apa kau yakin ini ide bagus?" Ramirez kembali menoleh ke bawah ketika kami memanjat tangga. "Maksudku, hei, di atas sana ada banyak Monster, Bung."

"Makanya, kita harus menemukan Mom dan Dad. Mereka yang paling tahu soal ini."

"Tapi, mereka ada di mana?" tanya Edille yang lugu.

"Makanya, kita cari!" Lumerus mencubit pipi keponakan tirinya itu.

Setelah memeriksa kondisi, kami menyelinap ke luar dan bergerak hati-hati di sekitar semak. Para Monster tidak akan muncul jika salah satu dari mereka tidak muncul. Tujuan pertama kami adalah laboratorium Odkavce, yang ternyata tinggal puing-puing.

"Aku rindu Nenek," keluh Edille. Lumerus menggendongnya dan menenangkan.

"Tujuan ke dua," titahku. Kami kembali bergerak gesit menuju sebuah tempat mengungsi, yang sempat Ramirez dengar sebelumnya. Segala hal berjalan lancar hingga kami menemukan tempat itu dengan barikade ketat dan perlindungan.

Beberapa petugas keamanan militer tengah berjaga dan terkejut dnegan kehadiran kami. Mereka segera melakukan pemindaian otak dengan sebuah alat, sebelum membiarkan kami masuk. Edille berhasil. Lumerus. Lalu Ramirez.

Tetapi, alat itu berbunyi ketika memindaiku. Para petugas itu keheranan. "Apa bendanya rusak? Karena bocah ini tidak mirip monster."

"Yah, kecuali taringnya."

"Oh, dan matanya."

"Hei, kau benar. Apakah aku sedang mengantuk atau dia bertambah tinggi ...."

Aku melotot memandnagi tamgan dna kakiku. Dan mataku yang mula8 berbayang dan dikaburkan kabut hiaju. Edille menjerit dsn bersembunhi di belakanh Lumerus, smenetara Ramirez tertegun.

"Dia Monster!" para petugas itu mengeluarkan senjata dan mulai menembak, tapi sku melompat menjauh dan berlsari kencanh-kencang. Kulihat Edille dan Liemrus menanhis. Hatiku sesak, tapi wujud baru itu terus memaksaku bergerak. Bergerak menjauhi apa yang seharusnya menjadi tempatku berlindung. Seketika itu juga, aki tak merasa takut berada di dekat para Monster.

Karena aku bagian dari mereka sekarang.

[]

March, 10 2021
22.37 pm

10 Oddish You Don't Wanna Know [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang