Today, in Marstrand, it Happened

46 21 7
                                    

APA yang tidak mungkin?

Wabah mematikan, ledakkan gunung berapi, tsunami, likuefaksi, perang dunia. Manusia tidak akan pernah berhenti menjelajah ... ke dalam tanah, ke dasar laut, ke luar angkasa. Manusia tidak akan berhenti sampai pada teknologi tertentu ... gadget, kereta levitasi, mobil terbang. Aku sudah membaca banyak hal, aku sudah bertanya banyak hal.

Apa, sih, yang tidak mungkin?

Bahkan setangkai bunga matahari dapat berubah menjadi seorang gadis, yang tadinya pergi sebelum kembali pada keluarganya di kebun. Sesuatu yang sudah berkhianat, dan berniat untuk terus berkhianat, tapi bisa, ya. Bisa saja dia kembali ke jalan kebaikan.

Dasar.

Sunflower yang buruk.

"Hei, Conehead, kau mau di sana sampai kapan?" Football berseru dari dalam liang lahatnya. Dia sudah melepas helm dan hendak bersiap tidur. "Tidak ada Mayat Hidup yang duduk di atas pohon seperti burung hantu. Kau mau apa?"

"Pergilah," usirku. Membiarkan angin malam musim dingin menerpa lubang mata yang kosong, menerbangkan dasi cokelatku.

"Wow, santai saja, Sobat," Football mengangkat kedua tangannya, "kau ini seperti manusia yang patah hati saja. Kita Mayat Hidup, Sobat. Mayat tidak seharusnya patah hati karena ditinggalkan gurunya."

"Dia lebih dari sekadar guru, Football. Tapi sekarang, dia bahkan tak lebih berguna ketimbang debu."

"Wow, santai saja, Sobat." Football tertawa. "Aku tahu kau marah, kita semua begitu. Tapi, sudah terjadi. Kita kembali pada masa-masa yang paling teruk--lagi. Dan, mungkin, kita para Mayat Hidup memang harus begitu."

Football mulai berbaring dalam peraduannya. Dia Mayat Hidup terakhir yang terlelap, tentunya sebelum aku. Malam itu, aku tak akan tidur seperti para Mayat Hidup bodoh lain. Aku pergi mengambil mantel dan topi besar yang kusimpan di dalam liang lahat, lalu mulai menyusuri pinggir-pinggir jalan Marstrand. Mengendap di bawah cahaya-cahaya redup tiang lampu dan bayangan pohon cemara, tampak seperti siluet. Menuju gemerlap kota yang sederhana.

"Hei, Tuan! Dapatkan promo ikan hering terbaik dari kami!" seorang pria menyodorkan sebuah brosur, mengenai restoran di puncak tebing. "Dan pesta udang karang untuk sepuluh orang."

Aku menerimanya. "Apa kau tahu di mana toko bunga terdekat?"

"Oh, dari sini belok kiri di sana, sedikit naik di tanjakkan. Lewat kantor pegawai sipil dan toko roti, di sebelahnya itu tujuan Anda," katanya. "Apa Anda tertarik dengan botani?"

"Terima kasih," kataku, menghiraukan pertanyaannya yang lain. Aku terus berjalan menembus dingin, yang kutahu itu dingin karena orang-orang mengembuskan napas dengan kepulan uap. Aku sendiri tak merasakan apa pun, kan, aku seorang Mayat Hidup.

Lonceng berdering ketika aku mendorong pintu. Seorang pegawai menyambut dengan ramah. Manusia memang aneh, mereka masih bisa tersenyum setelah bekerja hingga pukul dua belas malam.

"Apa yang bisa saya bantu, Tuan?"

"Aku ingin bunga matahari."

"Well, sebenarnya kami kehabisan stok bunga matahari ketika musim dingin," dia menarik-narik laci dari lemari, "tapi kami masih punya benihnya--meskipun, menanam sendiri sama saja susahnya. Atau Anda sedang butuh yang telah jadi untuk acara tertentu? Barangkali Anda bisa cari bunga yang lain."

"Aku ingin bunga matahari. Bukan benih bunga matahari," desakku. "Bawakan aku bunga matahari."

"Maaf, Tuan. Tapi, kami sungguh-sungguh kehabisan. Apa Anda ingin--"

Aku menggebrak meja kasir. "BUNGA MATAHARI!"

Pegawai itu terkejut. "M-maaf, datanglah besok. Kami akan usahakan--"

Aku melempar topi, menarik kerah bajunya, lalu membuka mulut lebar-lebar. Menampakkan seluruh wajah tengkorakku dan gigi taring berliur. "Aku ingin otak."

Seketika itu juga teriakkannya teredam setelah kuterkam.

🌻

Para Mayat Hidup mulai beraktivitas pagi itu, mencangkul, mengobrol, mengganggu burung kolibri yang sedang bernyanyi. Sungguh makhluk-makhluk yang kurang kerjaan.

"Hei, Coneheaaad," sapa Jack dengan tawa gilanya. "Kau tampak lebih bahagia daripada kemarin."

"Aku sudah makan otak."

Semua Mayat Hidup menarik napas terkejut, melepaskan segala perkerjaan mereka dan berkerubung dalam keheningan.

"OTAK?" Newspapper melotot hingga kacamatanya nyaris pecah. "OTAK SUNGGUHAN?"

"Otak manusia," kataku.

Seluruh Mayat Hidup langsung heboh, saling bercuap-cuap dan keheranan. Aku mengangkat tangan sehingga mereka diam.

"Kalian ingin otak?"

"KAMI INGIN OTAK."

"Otak yang banyak?"

"OTAK YANG BANYAK."

"Kalau begitu, sekarang keluarlah dari pemakaman. Serbu kota dan makan sepuas kalian," aku menyeringai, "hari ini kita pesta besar."

🌻

Februari, 24 2021
20.13 pm.

10 Oddish You Don't Wanna Know [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang