Night with the Proprietors

29 18 1
                                    

KESEPAKATANNYA, para pewaris rumah Magrinsen Ookaf akan berembuk untuk menyelesaikan masalah hak kepemilikan hari ini. Jadi, aku datang ke sana meski tak mengerti apa pun (jangan salahkan aku karena aku masih empat belas tahun). Aku memasuki pekarangan rumah yang rumputnya sudah basah oleh air hujan, dan sepatu botku pun begitu.

"Hei."

Seorang wanita muda menyapaku dari depan pintu, tampaknya juga baru datang. "Jean Turscent?"

"Yeah," aku tersenyum geli, "aku bertanya-tanya apakah aku sekarang terkenal."

Dia tertawa. "Aku Devine--apa kamu tidak masuk ke grup telegram Pemegang Rumah Magrinsen Ookaf? Di sana ada profil kita semua."

"Oooh! Licik sekali," aku merengut. "Bagaimana mungkin aku tidak ada?"

"Halo! Halo selamat pagi," seorang pria berkemeja garis-garis biru keluar dari ambang pintu, "jangan mengobrol sendirian di sana, kalian! Ayo, masuk."

"Apa kabar, Fred?" sapa Devine ketika kami memasuki ruang tamu megah dengan interior klasik yang anggun. Lagi-lagi, aku harus berpura-pura tidak kagum seperti norak.

"Kabar baik," Fred yang performanya seperti manajer toko buku berusia tiga puluh tahun itu menyengir, "hari ini bensin mobilku penuh karena antrean tidak mengular seperti kemarin."

"Bagus," tanggap Devine. Dia beralih kepada seorang pria yang lebih tua lagi, sekitar empat puluhan tahun dengan janggut tanggung. "Mr. P."

Pria bernama P itu mengangguk datar, tak tertarik untuk berwajah ramah sedikit pun lantaran alis tebalnya terus menekuk. Aduh, orang tua! Aku tak pernah suka orang tua galak. Kentara sekali dengan seorang pemuda yang baru tiba untuk duduk di sebelahnya; Alskavic meletakkan nampan cangkir-cangkir kopi di atas meja kaca.

"Baiklah, sudah lengkap," katanya, tersenyum samar. "Mari, kita mulai."

Aku tak yakin jika Alskavic benar-benar sepantaran denganku karena ia tampak berkali-kali lipat lebih dewasa. Entah karena dia mengerti hukum, atau tubuhnya lebih jangkung, atau kosakata pilihannya yang rumit. Tapi, yang jelas, Alskavic tak terlihat menyukai sepak bola.

Pukul sepuluh, ketika hujan tinggal rintik-rintik lambat, sesi berunding untuk sebuah kesepakatan itu belum selesai. Mr. P memaksa Alskavic dan aku untuk menyerahkan rumah kembali pada hukum karena kami dianggap masih terlalu kecil. Dia berulang kali menyebutku sebagai bocah ingusan penggerutu. Tapi, aku tetap butuh tempat tinggal di Peterborough karena di sana sekolahku berada, dan orang tuaku tak sanggup membayar biaya asrama yang menggila. Sedangkan Alskavic jika tak menempati rumah Nyonya Magrinsen, ia tentu akan menjadi penghuni panti asuhan atau justru tunawisma--dan Alskavic jelas-jelas menolaknya.

Karena diskusi tak berujung dan semakin keruh, Mr. P memutuskan untuk menghirup udara segar dan meninggalkan kami. Devine mengetuk-ngetuk lengan sofa sambil membuka ponsel, Fred berusaha mengurangi ketegangan, Alskavic merenung sambil memandangi pantulan wajahnya di meja kaca.

"Oh, ayolah," aku menghela napas, "kami bisa memegang rumah itu. Kami punya surat dengan tanda tangan Nyonya Magrinsen yang seratus persen asli. Itu tandanya, beliau tidak keberatan dan tidak punya firasat buruk."

"Tapi, Jean, Mr. P ada benarnya," tutur Devine. "Perkara kepemilikan rumah ini bukan hal sepele seperti ketika kau diberi jabatan OSIS."

"Tapi, aku dan Alskavic bergantung pada rumah-rumah itu untuk hidup," sanggahku. "Satu-satunya solusi adalah aku mencari sekolah baru dan meninggalkan segala hal yang telah kuusahakan di sana; dan Alskavic harus menunggu tanpa kepastian orang tua yang mengadopsinya."

10 Oddish You Don't Wanna Know [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang