Sebetulnya niatan Jeffrey membantu Rachel kala itu emang murni dari hati nya, tapi Jeffrey nggak expect sama sekali kalo wanita itu ternyata meng iyakan niatan gilanya itu.
Kalo dipikir-pikir Jeffrey juga goblok, ngapain susah-susah nawarin kalo giliran diterima gini malah ragu???
“Kak, kayak biasanya ya,” kata Jeffrey terhadap barista Starbucks itu mengangguk.
“Lo apa, Chel?”
“Samain aja.”
“Suka kopi?” tanya Jeffrey memastikan.
Rachel nyengir. “Enggak terlalu sih.”
“Vanilla Sweet Cream mau?” tanya Jeffrey.
“Oke.”
“Jadi?” Rachel membuka suara setelah beberapa menit hening menyelimuti.
“Lo beneran yakin mau nerima tawaran gue?” tanya Jeffrey balik sambil menyeruput minumannya.
“Yaaa iyaaa? Lo ragu ya mau nolongin gue? Gue gapapa, mungkin kalo gue di posisi lo saat itu juga bakal bilang gitu ke stranger.”
“Beneran gapapa Jeff jangan dibawa pikiran ah!” Rachel tertawa sepihak membuat Jeffrey semakin tidak enak hati dibuatnya.
Jeffrey tetep diem, sambil manggut-manggut doang.
“Lo asli mana dah?” tanya Jeffrey basa-basi.
“I couldn't explain. Sorry,” jawab Rachel berwajah sungkan.
“Oh, oke. Gue yang sorry.”
Hening kembali menyelimuti mereka berdua.
“Lo semester berapa?” tanya Rachel.
“Tiga.”
“Oh ya? sama dong.” jawab Rachel.
“Sori, gapyear? Soalnya temen-temen lo kating semua.”
Jeffrey menggeleng. “Enggak.”
“Lo kelahiran berapa btw?” tanya Rachel.
“97.”
“Sama lagi.” jawab Rachel. “Anyways, boleh tanya?”
“Silahkan.” jawab Jeffrey.
“Lo bisa tau gue dari mana?” tanya Rachel, ya bayangin aja, seorang Jeffrey, merupakan salah satu jajaran cokiber univ tiba-tiba nolongin terus ngulik hal yang gak mengenakkan.
“Apasih yang gue gatau,” ucap Jeffrey dengan wajah songong dan menonjolkan lidah di pipi.
“Dih????” Rachel menahan tawanya.
Rachel ngajak Jeffrey bincang-bincang supaya nggak canggung aja sih. Sembari mengulur waktu juga, Jeffrey ini sebenernya nawarin bantuan apa ke Rachel.
Makin ditungguin, Jeffrey makin gak bilang apa-apa terkait tujuan awalnya.
Rachel melirik jam di tangannya lalu beranjak. “Yaudah Jeff, kalo ga ada yang perlu diomongin, gue dulua—
