Banyak orang berpikir menjadi ibu rumah tangga itu menyenangkan, tak perlu capek kerja, cukup duduk di rumah, mengurus keluarga dan uang belanja aman. Awalnya aku juga berpikir demikian, tapi lama-lama aku merasa bosan dengan aktivitas ini. apalagi setelah anakku sudah masuk sekolah, rasa bosan semakin menjadi.
Aku jarang keluar dengan teman-temanku karena mereka semua sibuk bekerja. Aku hanya di rumah memainkan ponsel atau membaca tanpa melakukan hal lain sampai anak semata wayangku pulang sekolah. Aku sepertinya butuh kegiatan lain, dan bekerja adalah keingananku untuk mengisi kebosanan di rumah.
Aku menatap lelaki yang kini duduk di sampingku. Lelaki yang menjadi suamiku sejak delapan setengah tahun lalu. Lelaki itu tampak sibuk dengan tabetnya meski hari sudah menjelang malam dan besok akhir pekan. Sepertinya jabatan yang baru saja ia peroleh membuat kesibukannya semakin menjadi. Menjadi CTO di startup yang menyediakan aplikasi untuk mencari akomodasi dan pariwisata di Indonesia.
Lelaki yang bernama lengkap Prabaswara Mahatma itu tampak mematikan tabletnya dan menaruhnya di meja. Lelaki itu menatapku lekat, lalu memeluk bahuku. Aku menyandarkan kepalaku di bahu lebarnya. Rasanya nyaman.
"Kamu mau ngomong?" tanyanya padaku.
"Sekarang Alin udah sekolah, aku bosan di rumah sendiri, Pra." Aku mengutarakan kegelisahan hatiku ini.
Aku merasakan usapan lembut di bahuku. Aku tahu, itu tangan Praba. "Kamu 'kan bisa pergi belanja atau ke mana gitu, Gis."
Aku mengembuskan napasku. "Ke mana, Praba? Aku kalau mau kerja boleh, 'kan?"
Praba menatapku lekat. Aku memilih menegakkan kepalaku. "Aku nggak pernah ngelarang kamu kerja, Gistara. Dari dulu, aku selalu memberi kebebasan buat kamu."
Aku tersenyum lebar. Suamiku memang tak pernah melarangku bekerja. Dulu aku memang memilih tidak bekerja karena mengurus rumah tangga dan ingin sebisa mungkin dekat dengan Alindra. Tapi, setelah Alindra mulai masuk sekolah, aku mulai merasa bosan hanya di rumah saja seperti ini.
Aku bahkan belum pernah merasaka dunia kerja, karena setelah lulus kuliah, aku dan Praba memutuskan menikah setelah berpacaran enam tahun lamanya. Kami berpacaran sejak berada di jenjang bangku sekolah menengah atas. Praba dulu merupakan kakak kelasku waktu sekolah, dan kami berpacaran, hingga menikah dan mempunyai anak seperti saat ini.
"Kamu mau kerja di mana, Gis?" tanya Praba membuatku tersentak dari lamunanku.
"Kemarin Chintia sempet bilang, ada lowongan kerja di kantor dia. Bagian marketing, Pra," kataku yang memang sudah tertarik dengan pekerjaan sebagai marketing.
"Kamu nggak punya koneksi kuat di sana, Gis. Nanti aku carikan di perusahaan yang sekiranya aku punya koneksi kuat," ujar Praba yang membuatku menatapnya tajam. Dia memang punya banyak koneksi, tapi aku ingin kerja dengan usahaku sendiri.
"Prabaswara sayang, aku nggak mau pakai jalur orang dalam seperti itu ya. Aku mau masuk dengan usahaku sendiri!" kataku dengan tegas.
Lelaki itu menggeser tubuhnya dan membaringkan di sofa, dan menjadikan pahaku sebagai bantalannya. "Dasar keras kepala. Kamu tetap daftar ke tempat Chintia, aku bakal tetap cariin kamu tempat kerja. Kamu punya suami yang punya banyak relsi, Gistara, harusnya kamu manfaatkan dengan baik!"
Aku tersenyum. Kucium dahi lelaki yang sudah menemaniku hampir lima belas tahun ini. "Terima kasih atas pengertiannya, Bapak suami tercinta."
Lelaki itu bangkit dari baringnya, lalu mencium bibirku ringan. "Alindra sudah tidur?"
Aku memutar bola mataku malas. "Udah. Kalau belum ngapain aku di sini jam sepuluh malam, Bapak?"
"Begadang yuk, Sayang!" ajaknya dengan wajah mesum yang membuatku merinding seketika.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sudut Pandang [Completed]
ChickLitCompleted ✓(09/02/21 - 17/04/21) Pernikahan yang bahagia adalah impian setiap manusia. Seperti pernikahan Gistara Ganeswara dan Prabaswara Mahatma. Pernikahan yang sudah berjalan hampir sembilan tahun itu awalnya baik-baik saja, hingga satu masalah...