Sebuah Masalah

1.5K 113 3
                                    

Aku berjalan mendekat ke arah dua manusia yang sedang tertidur itu. Alindra tampak nyaman di pelukan sang ayah. Aku duduk di tepi ranjang, lalu mendaratkan kecupan di dahi Alindra dan kemudian beralih ke arah dahi Praba.

Aku segera beranjak untuk membersihkan tubuhku setelah seharian penuh beraktivitas. Setelah selesai mandi, aku segera keluar dari kamar mandi. Di dalam kamar, aku melihat Praba duduk di ranjang sambil menatapku dalam diam. Ia sama sekali tak mengeluarkan suara.

Aku memakai pakaianku, dan segera menghampiri Praba. Lelaki itu masih setia dengan kebisuannya. Lelaki itu hanya menatapku sampai suara beratnya terdengar menakutkan di telingaku.

"Baru pulang, Gis?" tanyanya retorik.

Aku menatapnya. "Iya, Pra. Tadi soalnya kliennya agak susah."

Lelaki itu masih setia menatapku dengan tajam. "Sampai selarut ini cuma satu klien?"

Aku meneguk ludahku. Sepertinya Praba sudah benar-benar marah. Sebenarnya salahku juga, aku pulang selarut ini dan jalan dengan atasanku, tapi itu demi memuluskan karirku nantinya.

"Ada dua klien, Pra. Selain itu tadi juga aku lihat ke lokasi ruko yang siap untuk ditawarkan, Pra," jawabku sedikit berbohong.

Praba bangkit dari duduknya. Lelaki itu menatapku sangat tajam, aku tahu ada amarah begitu besar di matanya. Praba sangat menyeramkan saat marah, tapi aku selalu bisa meredamnya.

"Ini akhir pekan dan kamu bekerja sampai larut. Luar biasa dedikasi kamu, Gis. Kamu bekerja tanpa kenal waktu dan melupakan keluarga. Lupa anak, lupa suami. Aku nggak pernah menyalahkan kamu yang bekerja, asal time management kamu bisa handle, Gis!" bentak Praba dengan emosi yang membara di wajahnya.

Emosiku mulai ikut tersulut. Dia seolah-olah menyalahkanku yang bekerja. Dikira tidak capek apa di rumah tanpa kegiatan apapun? Aku baru pulang kerja, bukannya ia sambut dengan hangat malah dibentak tidak jelas seperti ini. Aku segera ikut berdiri.

"Pra, kamu tahu, 'kan aku baru pulang dan capek, kamu malah ngajak ribut nggak jelas begini. Aku pulang larut juga karena tugas aku sebagai karyawan, Pra. Aku ini masih baru dalam bekerja, masih butuh belajar dan harus nurut ke atasan, Pra!" sahutku tak kalah keras.

"Di hari Sabtu? Hari yang seharusnya bisa kamu luangkan buat keluarga, Gis? Aku nggak pernah melarang kamu kerja, tapi kamu juga harus tahu waktu, Gis!" Entah sampai kapan cekcok ini berakhir. Entah siapa yang akan mengalah. Tapi jelas, aku tak akan mau mengalah dan dibentak Praba.

"Kamu pikir kamu udah hebat dalam time management kamu? Kamu juga sering kerja di akhir pekan, sering lembur sampai lupa ada aku dan Alindra, 'kan?" sentakku tak mau kalah.

Praba mengusap wajahnya. "Aku selalu berusaha ada untuk kalian. Setiap akhir pekan aku selalu mencoba meluangkan waktu buat kalian, aku selalu berusaha menyelesaikan pekerjaanku tepat waktu meski harus lembur, itu demi kamu dan Alindra! Pekerjaanku nggak sedikit, Gis. Yang perlu dipertanyakan itu kamu, kamu baru bekerja, target penjualan kamu juga belum banyak, tapi sudah lembur di hari Sabtu!"

Aku menatapnya nyalang. Masih baru katanya? Pekerjaan dia lebih banyak? Dia kira jadi karyawan biasa kerjaannya sedikit? Dia sekelas direktur, dia bisa suruh bawahannya, harusnya ia yang perlu dipertanyakan. Apalagi kerja dia benar-benar di dalam ruangan, membuat program, sedangkan aku selain kerja memikirkan pemasaran dan iklan, aku juga harus mencari calon pembeli di lapangan, juga jangan lupa bekerja sama dengan banyak vendor atau EO untuk melancarkan event pameran demi menjual properti.

Aku mendengar Praba membuang napasnya dengan keras. "Aku mau menemani Alindra. Kamu istirahat aja! Kamu pasti capek lembur, 'kan?" Setelah mengatakan itu, Praba segera keluar dari kamar dan membanting pintu.

Sudut Pandang [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang