Harus Terbiasa

1.5K 142 1
                                    

Rasanya lelah. Sudah lima hari aku bekerja, meski belum mengerjakan yang berat, tapi tetap saja aku merasa sedikit kaget dengan ritme hidupku yang baru. Yang biasanya siang sampai sore aku hanya rebahan sambil menikmati drama Korea atau sekadar mendengarkan lagu-lagu yang kuputar dari ponselku, kini aku harus menghadap laptop, berpikir untuk membuat strategi menarik untuk mengiklankan unit apartemen atau rumah yang akan dijual.

Aku menyandarkan badanku di sofa. Aku baru saja sampai di rumah petang ini. Rasa pegal mendominasi badanku ini, tapi aku harus mulai terbiasa dengan rasa dan ritme keseharian seperti ini. Tadi aku memang sudah mulai mendampingi Kila untuk mencari pembeli atau calon pembeli salah satu rumah. Aku dan Kila hari ini benar-benar berkeliling untuk mencari target klien kami nanti agar bisa mencapai target yang ditentukan.

"Capek, Gis?" Suara seorang lelaki yang baru saja datang dengan dua cangkir kopi duduk di sampingku.

Aku menatapnya dan mendapati lelakiku itu tersenyum, sambil menaruh cangkirnya di meja. Aku memindahkan kepalaku agar bersandar di bahu lebarnya yang terpihat begitu menggoda dan nyaman itu.

"Kok kamu udah di rumah, Pra?" tanyaku sedikit heran dengan kehadiran lelakiku ini di rumah di hari yang masih petang.

Aku merasakan tangan besarnya mengurut prlipis hingga kepalaku. "Tadi rapat di luar jam empat, habis itu nggak ada jadwal yang mengharuskan aku di kantor, jadi aku pulang aja."

Aku menegakkan tubuku dan berbalik membelakangi suamiku, sesuai arahan tangannya. Aku hanya menurut dan menikmati pijatan di pundakku. Rasa pegal-pegal kini lumayan cukup berkurang karena pijatan dari Praba yang memang terasa pas ini.

"Kamu nggak niat buka usaha pijet aja, Pra? Pijatan kamu bener-bener enak loh," kataku sambil menikmati pijatan Praba.

"Pijatan tanganku cuma buat kamu, Gis. Nggak bisa yang lain. Lagian aku masih lebih suka buat program baru yang harus dikembangkan untuk perusahaan dibanding mijitin orang nggak jelas, Gis." Praba membalas candaanku.

Aku terkekeh mendengar candaannya. "Ternyata kerja tuh capek juga ya, Pra."

Aku merasa pijitan di bahuku berhenti. "Kalau nggak capek semua orang pasti nggak ngeluh soal kerjaan, Gis. Yang penting tuh dinikmati aja dan kamu harus terbiasa capek, Gis!"

Aku mengangguk, lalu pandanganku mengedar ke seluruh penjuru ruangan untuk mencari keberadaan Alin. "Pra, Alin di mana?"

"Tadi mama ke sini dan Alin ikut mama, katanya dia kangen sama tantenya," jawab Praba yang membuatku menggeleng heran dengan tingkah Alin.

"Kamu masih capek, Gis? Kalau kita dinner di luar gimana?" tanyanya dengan nada cukup santai.

Aku berbalik menatapnya. Badanku sedah terasa lebih baik dan sepertinya guyuran air panas akan bisa melemaskan otot-ototku yang terasa pegal. Aku menatap Praba dengan senyum, lalu mencolek hidung mancungnya.

"Aku mandi dulu ya. Kamu yang pikirin tempatnya!" ujarku sembari beranjak dari dudukku dan berjalan menuju ke kamar.

Aku segera masuk ke dalam kamar mandi dan mengguyur tubuhku dengan air panas. Di bawah guyuran air panas ini, tubuhku terasa lebih rileks dan ringan.

Setelah merasa cukup lama aku memanjakan tubuhku, aku segera meraih handuk dan membalutkannya ke tubuhku. Aku keluar dari kamar mandi dan melihat kehadiran Praba di kamar sedang sibuk menatap isi di dalam lemari kamar kami.

"Ngapain, Pra?" tanyaku yang membuatnya berjingkat kaget. Aku terkekeh melihatnya.

Praba membalik badannya dan menatapku dalam. "Aku bingung mau pakai baju apa, Gis."

Sudut Pandang [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang