Aku segera keluar dari ruangan yang sudah menjadi tempatku bekerja selama hampir tiga bulan ini. Aku segera melangkahkan kaki menuju ke lift. Aku harus segera pulang dan menemui Prabaswara untuk memohon ampun padanya. Meski kuyakin ini sudah sangat terlambat untuk sadar.
Sampai di lantai dasar, aku segera keluar dari kotak besi yang membawaku. Baru beberapa langkah aku keluar, ada suara yang memanggilku. Aku tak tahu apakah memang diriku yang dipanggil atau Gista lain yang ada di lobi kantor ini.
Aku menoleh ke sumber suara. Aku mendapati sosok wanita yang aku kenali dengan baik. Dia salah satu adik Praba. Wanita itu berjalan menghampiriku sambil tersenyum.
"Kak Gista, buru-buru nggak?" tanyanya. Aku sebenarnya ingin segera sampai di rumah, tapi sepertinya bicara dengan adik iparku tak apa. Aku menggeleng. "Kita bicara ke kafe sebelah itu ya, Kak!"
Aku mengangguk dan mengikuti langkahnya menuju kafe yang memang gedungnya bersebelahan dengan Aliero. Wanita itu segera memilih tempat duduk dan memesan minuman, aku juga memesan kopi hitam panas untuk sore ini.
"Ada apa?" tanyaku setelah pelayan pergi dari bangku kami. "Tumben kamu bisa pulang tepat waktu."
Dia terkekeh. "Lagi nggak banyak kerjaan, Kak. Udah tutup buku minggu lalu soalnya."
Aku mengangguk. "Ada yang penting?"
Wanita itu berdehem. Sepertinya memang ada pembicaraan yang cukup penting. Sebelum dia memulai bicara, pelayan datang untuk mengantar pesanan kami. Kami memilih menunda pembicaraan dan menikmati minuman yang kami pesan.
Adik iparku kini kembali berdehem untuk mengambil atensi diriku. "Aku ke sini memang mau bicara penting, Kak. Masalah Kak Praba."
Aku meletakkan kopiku dan menatapnya penuh tanya. "Masalah Praba? Kenapa? Tadi pagi baik-baik saja."
Wanita itu menyedot minumannya lalu tertawa yang berbeda dengan jenis tawa menyenangkan. "Masih baik? Ya, Kak Praba memang sangat baik, tapi dia tidak bodoh, Kak. Dia tahu semuanya. Dia selalu tampak baik-baik saja, tapi rencana terus berjalan, Kak."
Aku tak paham apa yang dimaksud adik iparku ini. Aku menatapnya meminta penjelasan. Wanita itu hanya membuang muka tak berminat melihatku sama sekali.
"Maksud kamu apa?"
Wanita itu berdecih, "Masih pura-pura nggak paham? Coba pikirkan kesalahan Kak Gista!"
Aku terdiam. Berpikir sejenak. Apa selama ini Praba hanya pura-pura tidak tahu masalah perselingkuhanku? Apa selama ini dia hanya berpura-pura baik padaku? Lalu, apa rencana yang ia jalankan? Pikiranku mulai tak karuan.
"Masalahku? Praba tahu?" tanyaku hati-hati.
Wanita itu terbahak. "Kak Gista pikir, Kak Praba itu mudah dibodohi? Dia jelas lebih cerdas daripada Kak Gista."
Sial. Aku baru menyadarinya. Jadi selama ini aku yang bodoh. Kukira semua berjalan lancar, tapi semua berantakan. Kali ini apa yang bisa aku harapkan? Memperjuangkan Praba untuk kembali?
"Selama ini Kak Gista aja yang bodoh, terlena dengan kebaikan Kak Praba yang tersembunyi maksud di dalamnya. Harusnya Kak Gista sadar akan kesalahan, tapi malah semakin menjadi," tambahnya yang membuatku memejamkan mata.
Rasanya sakit. Semua dalam genggamanku lepas. Aku tak tahu harus bagaimana lagi. Semua rusak. Aku tak berdaya sama sekali.
"Kamu ketemu aku cuma buat bilang itu, Meis?" tanyaku pada sosok di hadapanku ini.
Wanita itu menggeleng. "Tujuan utamaku ke sini sebenarnya bukan untuk itu, Kak. Aku disuruh Kak Praba, tapi lihat Kak Gista aku jadi melantur dan ngoceh begini."
Aku hanya menatapnya sambil menyiapkan hati jika sesuatu terjadi. Aku harap Meisya, adik Praba tak mengeluarkan apa yang aku duga. Aku kini takut kehilangan semuanya. Kerjaan, Narendra dan kini Praba. Lalu setelah ini, apa yang tersisa di dalam hidupku?
"Kak Gista harusnya bisa menduga apa tujuanku menemui Kak Gista sekarang," ujarnya dengan santai sambil menatapku tajam.
Aku memilih diam dan balas menatapnya. Aku hari ini menghadapi hari yang melelahkan. Dan kini aku seperti sedang disidang oleh adik iparku. Aku kebal dia yang bermulut tajam dan menyebalkan.
"Kak Gista kenal Kak Praba tuh udah lebih dari sepuluh tahun, harusnya Kak Gista paham apa yang tujuanku menemui, Kakak. Kak Gista siapin aja hati!" tambahnya lagi yang membuatku pusing.
"Langsung saja, kamu mau apa?" tanyaku setelah mengumpulkan segala rasa percaya diriku.
Meisya tersenyum yang terkesan meremehkan. Wanita itu mengambil sesuatu di tasnya, lalu ia menaruh sebuah amplop di atas meja. Aku hanya bisa menatapnya tanpa berminat untuk mengambilnya. Dari tulisan amplop itu saja membuatku merasa lemas tak berdaya.
"Kak Gista tahu apa itu, 'kan? Jadwalnya dua minggu lagi, Kak. Jadi persiapin diri, Kakak. Ah, iya. Pesan Kak Praba, Kak Gista nggak usah nyari Kak Praba, percuma. Untuk urusan rumah, itu menjadi hak Kak Gista, Kak Praba lagi ngurus buat balik nama saja. Mungkin semingguan lagi Kak Praba bakal ngasih secara langsung ke Kak Gista dan mungkin kalian perlu bicara," jelasnya yang membuatku hanya bisa mematung. "Sepertinya aku bicara terlalu banyak, Kak. Aku mau pamit dulu, teman aku udah nunggu di depan."
Meisya segera beranjak meninggalkanku. Aku hanya menatap punggungnya sampai ia menghampiri lelaki yang duduk tak jauh dari bangku kami. Aku tahu lelaki itu teman dekat Meisya, dulu kami pernah bertemu saat di rumah orang tua Praba. Meisya berbohong temannya sudah menunggu di depan, nyatanya, temannya itu menunggu sedari tadi di dalam kafe ini.
Aku menyandarkan tubuhku di kursi. Kuambil amplop dari pengandilan agama itu. Dengan menguatkan hati, kubuka amplop itu perlahan. Aku membaca lembaran surat panggilan sidang mediasi pertama ini. Praba sudah mengurus semuanya jauh-jauh hari tanpa aku ketahui. Dia seolah percaya padaku selama ini, tapi semua hanya kamuflase belaka.
Air mataku keluar. Aku tak tahu harus berbuat apa lagi. Semua serba mendadak dan bersamaan. Sepertinya karma sudah mulai bermain. Rasanya sakit, tapi semua memang salahku. Aku sepertinya pantas mendapatkannya.
Apa aku masih bisa berharap rujuk sama Praba? Apa aku masih ada kesempatan? Misal demi Alindra? Praba pasti melakukan apapun untuk Alindra. Setidaknya aku harus bertemu Alindra untuk membujuk anak itu. Tapi bagaimana caranya aku busa bertemu? Ingin ke rumah mertuaku, tapi aku tak lagi punya muka di hadapan mereka.
Aku mencoba menghubungi Praba, tapi sepertinya nomorku telah diblokir. Semua serba tiba-tiba. Aku belum siap. Aku seakan baru menerima mimpi buruk, atau malah aku baru saja disadarkan dari mimpi indahku?
Harusnya aku dulu tak bermain api. Harusnya aku tak tergoda dengan bajingan sepertinya Narendra. Aku terperdaya oleh mulut manisnya, yang sayangnya melumpuhkan sistem kerja otakku dan memainkan hatiku dengan baik.
Saat semua sudah terjadi, aku baru menyadarinya. Aku tertawa miris, sesang air mataku terus mengalir deras. Mungkin orang-orang yang melihatku akan mengira diriku gila. Aku tak peduli. Aku memang sudah gila. Dan perselingkuhan itu membuatku menggali lubang neraka hidupku sendiri. Sekarang tak ada yang bisa aku harapkan. Aku benar-benar sendiri, tanpa bekal apapun.
Aku menyadari perkataan Meisya, Praba menyerahkan rumahnya padaku. Kenapa dia masih sebaik itu, padahal aku sudah mengkhianatinya. Sepertinya aku akan menganggur di rumah saja untuk menenangkan diri sampai hari sidang.
Biarkan aku menikmati luka yang tanpa sadar kubuat sendiri. Biarkan aku memetik apa yang telah aku tanam. Karena keburukan akan selalu berakhir buruk. Aku benci diriku yang bodoh ini.
***
Halo semua... Kembali ketemu Gista nih... Gimana part ini?
Apa kalian melihat sesuatu?🙈🙊
Ingat, cerita ini memakai setting tahun 2019 akhir- 2020 awal wkwkw.Shay,
Kamis, 15/04/21
KAMU SEDANG MEMBACA
Sudut Pandang [Completed]
Literatura FemininaCompleted ✓(09/02/21 - 17/04/21) Pernikahan yang bahagia adalah impian setiap manusia. Seperti pernikahan Gistara Ganeswara dan Prabaswara Mahatma. Pernikahan yang sudah berjalan hampir sembilan tahun itu awalnya baik-baik saja, hingga satu masalah...