Hidup Praba perlahan berubah. Kehadiran Windayu di hidupnya benar-benar tak ia perkirakan sebelumnya. Winda yang lemah lembut dan ceria jelas sangat berbeda dengan kepribadiaannya. Jarak usia yang jauh juga membuat keduanya lumayan kesulitan dalam membangun komunikasi. Windayu masih berusia dua puluh dua tahun sedangkan dia berusia tiga puluh tiga tahun. Perbedaan sebelas tahun benar-benar seperti jurang tersendiri buat kedua manusia itu.
Ada kesamaan di antara kedua manusia itu. Mereka pernah disakiti. Mereka pernah dijatuhkan oleh cinta. Keduanya disatukan oleh rasa sakit. Mereka memendam, mereka ingin menyembuhkan, tanpa sadar malah hanya saling menyakiti. Mereka tak tahu, bahagia sudah dalam genggaman, tapi sikap takut sakit mereka membuatnya seolah jauh dari bahagia. Kebahagiaan terbuka lebar, mereka hanya perlu membuka mata dan saling menggenggam.
Praba sosok yang baik, begitu pula dengan Winda. Mereka hanya saling menutup, saling mencoba memberi kebahagiaan, tapi malah melukai satu sama lain. Mereka ingin menjauhi masalah, tapi itulah masalahnya.
"Apa Mas Praba akan melarangku untuk bekerja setelah kejadian Mbak Gista?" tanya Winda saat mereka sedang berada di meja makan.
"Tidak. Bukan hak saya melarang kamu." Winda hanya tersenyum pahit. Jawaban Praba membuatnya merasa dirinya bukan siapa-siapa di hadapan Praba.
Praba selalu baik padanya, tapi lelaki itu tak pernah menganggapnya sebagai istri. Praba selalu memenuhi kebutuhannya, tapi Praba tak pernah mau menatapnya lama. Praba tak segan melakukan kontak fisik padanya, tapi lelaki itu tak bisa berlama-lama.
"Aku bakal kerja kalau Mas Praba mengizinkan," ucap Winda pelan.
Praba mengangguk. "Silakan. Asal jangan terlalu dipaksa! Jangan kerja terlalu capek! Ingat kondisi kamu sedang mengandung!"
Winda meredam embusan napasnya dengan meneguk air mineral di hadapannya. Praba memang tak pernah memedulikan Winda.
"Sudah ada tujuan tempat kerja?" tanya Praba setelah lama hening. Malam ini mereka hanya makan berdua. Alindra sudah tertidur karena memang Praba pulang larut malam.
Winda menggeleng. "Aku mau cari dulu, Mas."
"Kalau butuh bantuan, kamu bisa ke saya."
Winda hanya bisa tersenyum. Bukan ini yang dia inginkan. Praba terlalu tak peduli. Dia memang ingin bekerja, tapi dia lebih ingin Praba mengungkapkan keberatannya. Winda tahu, pasti Praba mengalami sedikit trauma dengan istrinya bekerja. Apa Praba tidak takut kejadian Gista terulang lagi?
Semua hanya bisa Winda pendam dalam hatinya. Dia tak berani menyuarakan. Praba jelas berbeda dengan dirinya. Winda memilih menelan dan menekan segala egonya untuk bertanya. Dia tak ingin mengutarakan, dia takut melukai Praba.
Praba hanya menatap Winda. Ia harap, Winda meminta bantuannya dalam mencari kerja. Ia tak melarang Winda, karena Winda berhak bekerja. Dia percaya Winda. Winda tak akan seperti Gista. Dia mengizinkan karena itu untuk kebahagiaan Winda. Winda menahan banyak luka di masa lalunya. Kini yang Praba harapkan, Winda mengandalkan dirinya, mempercayai kemampuan Praba. Dia juga tak akan menahan Winda di rumah, meski ia khawatir dengan kondisi wanita itu yang tengah hamil.
Selagi dia mampu. Dia akan menuruti apa yang Winda mau, meski dia harus menekan perasaannya sendiri. Meski dia menelan semua keinginannya untuk Winda. Dia akan memeberikan yang terbaik untuk Winda. Dia tak sanggup melukai wanita itu.
***
Ya begitulah gambaran rumah tangga Prabaswara dan Windayu. Yap... Cerita ini ada sequelnya... Bisa dicari di work aku ya...
Judulnya Windayu 2 (sequel Windayu dan Sudut Pandang)
Ceritanya bakal ringan kok... Menyoroti kehidupan rumah tangga Praba dan Winda.
Cus langsung aja dibaca ya..
KAMU SEDANG MEMBACA
Sudut Pandang [Completed]
ChickLitCompleted ✓(09/02/21 - 17/04/21) Pernikahan yang bahagia adalah impian setiap manusia. Seperti pernikahan Gistara Ganeswara dan Prabaswara Mahatma. Pernikahan yang sudah berjalan hampir sembilan tahun itu awalnya baik-baik saja, hingga satu masalah...