Maaf

3.6K 163 9
                                    

Sesekali update gak sesuai jadwal nggak apa-apa kali ya wkwkw
___________________________________________

Seminggu ini aku seperti orang gila yang hanya mengurung diri di rumah. Aku mengalami beban pikiran yang teramat berat. Ini lebih menjenuhkan daripada aku sebelum bekerja. Suasana rumah selalu sepi, kadang untuk membunuh rasa sepi aku menyetel musik dengan keras.

Badanku lemas. Pola makanku tak lagi teratur. Kehilangan semua yang kugenggam dalam sekejap mata memang membuatku stres berlebih. Tapi aku tak boleh terlalu larut dalam suasana seperti ini. Mungkin saatnya aku bangkit. Aku bahkan belum menemui orang tuaku untuk bicara. Mungkin dengan mengunjungi mereka, aku akan merasa lebih baik.

Aku bersiap. Mengguyur tubuhku yang sudah tak terkena air sejak dua hari lalu. Sungguh dalam suasana seperti ini, mandi saja aku sangat malas. Kondisi rumah tetap terjaga karena asisten rumah tangga memang tetap dipekerjakan oleh Praba dan digaji olehnya. Dia masih tetap baik padaku meski ia menalak diriku.

Selesai mandi, aku berkaca. Aku terlihat menyedihkan, tapi tak apa, ini merupakan bagian dari proses menyembuhkan. Aku harus menerimanya bukan? Aku jelas bersalah, ada sebab maka ada akibat. Aku sekarang tak bisa mengharap lebih. Kebaikan Praba selama ini sudah sangat lebih.

Selesai dengan urusanku, aku segera bergegas keluar. Aku menyetir mobilku menuju rumah orang tuaku. Aku ingin memohon ampun pada mereka. Aku yakin, mereka sangat kecewa dengan apa yang aku lakukan.

Sampai di kediaman orang tuaku, aku masih terduduk di dalam mobil cukup lama. Aku tak punya muka untuk menghadap mereka. Aku takut, meski kutahu, mereka akan tetap menerimaku. Biar bagaimanapun, aku adalah anak mereka.

Dengan meneguhkan hati, aku keluar dari dalam mobil dan berjalan menuju pintu utama rumah itu. Rumah di mana aku tumbuh menjadi dewasa. Rumah di mana aku dibesarkan dengan kasih sayang. Rumah di mana aku mendapatkan pendidikan pertamaku.

Aku menatap pintu besar itu. Aku memejamkan mata sejenak sebelum mulai mengetuk pintu. Sampai dua kali ketukan, aku mendengar sahutan dari dalam. Sahutan suara seorang wanita yang aku yakini adalah seorang yang telah melahirkanku ke dunia ini.

Jantungku berdebar kencang. Aku harap-harap cemas sembari menunggu pintu dibuka.

Aku mendengar suara kunci dibuka, jantungku semakin tak karuan. Begini rasanya mengakui dosa di hadapan orang tua? Sungguh situasi seperti ini tidak enak sama sekali.

Perlahan pintu bergerak dan terbuka. Kini aku bisa melihat wajah mamaku yang tampak menua. Tanpa bisa aku tahan, aku menubruk tubuhnya dan memeluknya erat. Aku menangis sejadi-jadinya di pelukan mama.

Mama mengusap punggungku. Aku hanya bisa bergumam lirih di sela isakanku, "Maafin Gista, Ma. Maaf."

Mama masih mengusap punggungku dengan sayang. Aku tahu mama kecewa padaku. Kecewa berat, tapi beliau masih menyayangiku.

"Kita masuk, ya!" Aku hanya bisa mengangguk dan mengikuti langkah beliau untuk masuk.

Mama menyuruhku duduk di sofa, sementara beliau pergi entah ke mana. Aku hanya bisa menangis terisak di sofa rumah orang tuaku. Tak lama, aku mendengar suara tegas seorang lelaki yang membuatku ssmakin menunduk tak berani melihatnya.

"Masih berani ke sini kamu, Gista? Setelah apa yang kamu lakukan?" Aku hanya bisa pasrah jika papa akan menghakimiku. Nyatanya aku pantas untuk dihakimi. "Praba minggu lalu ke sini untuk memulangkan kamu. Dia datang bersama Alindra. Dia lelaki yang paling bertanggungjawab yang Papa kenal, dan kamu membuang dia. Apa yang ada di pikiran kamu, Gista? Kamu benar-benar membuat Papa malu, Papa merasa Papa salah mendidik kamu." Orang tuaku tak salah mendidik. Aku yang salah jalan.

Sudut Pandang [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang