Aku terduduk di ranjang kamarku. Aku mengerjap beberapa kali. Sungguh aku merasa kesal pada diri sendiri. Kenapa aku harus terbawa suasana dan hanyut dalam ciuman Pak Narendra? Untungnya aku tadi segera sadar dan mendorong tubuh kekar Pak Narendra. Aku merasa sangat bersalah pada Praba dan Alindra. Harusnya aku tak seperti itu.
Suara decitan pintu dibuka membuatku mengangkat kepala dan menatap sosok yang masuk dari pintu itu. Aku bergegas berdiri dan menubruk tubuhnya. Aku memeluknya dengan erat dan menumpahkan air mataku dalam dekapan hangat Praba.
Praba mengusap punggungku. "Ada apa, Gis?"
Aku memilih diam. Aku tak siap mengakui dosaku. Aku takut Praba marah dan menjauh. Lebih baik aku simpan rapat-rapat apa yang tadi pagi terjadi.
"Aku hanya capek, Pra. Maaf," ucapku dengan pelan dan terasa berat.
Lelaki itu melepas dekapanku dan langsung mencium keningku. Air mataku masih meleleh. Apa yang kurangnya Praba? Dia sempurna, tapi aku berkhianat. Ah, aku tak berniat berkhianat, tadi hanya sebuah kesalahan. Ya, hanya kesalahan.
"Aku tadi melakukan kesalahan di kantor, Pra," kataku sembari mengalungkan tanganku ke leher Praba.
Lelaki itu tersenyum dan segera mengusap pipiku. "Jangan ulangi kesalahan ya! Kamu perbaiki biar nggak merasa capek!"
Aku hanya mengangguk. Dia tak tahu kesalahan apa yang aku perbuat. Aku segera menyambar bibirnya dan menciumnya dengan menggebu. Aku ingin menghapus jejak Pak Narendra.
Praba mendorongku dengan pelan, lalu menatapku penuh tanya. "Kenapa sih, Gis? Kamu istirahat aja! Daripada kamu cium aku dengan kasar kayak tadi."
Aku terdiam. Ciuman dengan Praba tak mengalihkan sama sekali, malah semakin menegaskan bayangan Pak Narendra. Ciuman lembutnya yang membuat hanyut. Aku sudah gila.
"Pra, kenapa kamu mengizinkan aku untuk kerja?"
Praba menatapku tampak bingung. "Itu 'kan keinginan kamu, selama kamu bahagia dan menikmati itu, kenapa aku melarang?" jawabnya dengan enteng. "Lagian rekan kerja aku juga banyak yang wanita dan sudah berkeluarga, teman-temanku istrinya juga banyak yang bekerja dan mereka nggak ngeluh. Mereka baik-baik saja, dan aku yakin kamu juga begitu."
Praba salah. Baru beberapa minggu bekerja aku sudah melakukan kesalahan dan aku tidak baik-baik saja, begitu juga dengan hatiku. Aku tak bisa menjaga hati dan kelakuanku.
"Kamu istirahat, ya! Aku mau lihat Alindra dulu," ujarnya dengan lembut dan penuh kasih sayang. "Kamu udah makan?"
Aku menggeleng. Praba tersenyum lalu kembali mengecup keningku cukup lama, kemudian lelaki itu beranjak dari kamar. Aku menatap nanar pintu yang sudah Praba tutup. Kenapa rasanya begitu sakit, saat aku sadar perasaan membuncah itu hilang saat di dekat Praba? Aku tidak mau hal itu terjadi.
Aku memilih berbaring ke ranjang. Aku mengambil ponselku dan aku mendapati pesan dari Pak Narendra.
Pak Narendra Katara (Aliero)
Saya minta maaf, Gis.
Saya benar-benar merasa bersalah soal tadi. Saya terbawa suasana.
Aku hanya membaca pesan dari Pak Narendra tanpa berminat untuk membalas. Aku masih sangat merasa bersalah dengan Praba. Pengkhianatan yang aku lakukan pasti sangat melukai Praba. Aku kenal Praba. Dia merupakan sosok yang sangat strict terhadap apapun. Dia akan bertindak tegas jika ada yang melanggar prinsipnya.
Aku memejamkan mataku dan segera melempar ponselku. Aku bingung nantinya harus bersikap seperti apa ke Pak Narendra. Sungguh pasti akan sangan canggung. Kenapa cobaan saat bekerja sebegininya?
KAMU SEDANG MEMBACA
Sudut Pandang [Completed]
ChickLitCompleted ✓(09/02/21 - 17/04/21) Pernikahan yang bahagia adalah impian setiap manusia. Seperti pernikahan Gistara Ganeswara dan Prabaswara Mahatma. Pernikahan yang sudah berjalan hampir sembilan tahun itu awalnya baik-baik saja, hingga satu masalah...