Menghapus Kecanggungan

1.2K 98 5
                                    

Ketukan sepatu hak tinggi dengan marmer terdengar mendominasi di lorong yang masih sepi ini. Hari ini memang masih terlalu pagi untuk berangkat ke kantor. Aku segera menempelkan ibu jariku di alat absensi.

Setelah menyelesaikan urusanku dengan absensi, aku segera menaruh beberapa barang yang membuat tasku berat ke ruangan. Pagi ini aku dipaksa Chintia untuk berangkat lebih pagi dari biasanya karena selama aku kerja, kami jarang makan bersama. Biasanya aku sibuk makan siang di luar dengan klien.

Aku segera menghampiri Chintia di kantin. Sedari tadi wanita satu itu sudah mengirimiku banyak pesan dan menelponku beberapa kali dan hanya aku abaikan. Benar-benar dia itu sangat mengganggu.

Aku segera melangkahkan kakiku menuju tempat yang memang sudah Chintia dan aku janjikan. Sampai di kantin, aku langsung mencari keberadaan wanita yang sialnya menjadi sahabatku itu.

Saat menemukan sosok Chintia, aku berjalan mendekat dan duduk di hadapan wanita itu. Aku menatapnya dengan tajam dan kesal harus berangkat sepagi ini demi Chintia.

"Kenapa?" tanyaku langsung tanpa berminat basa-basi.

Chintia meraih pipet di gelasnya dan menyedot mintumnya. "Santai, Gis. Pesan sarapan dulu sana! Gue yakin lo belum sarapan."

Aku mendengkus dan segera berjalan menuju stan penjual bubur ayam untuk memesan sarapan. Aku memang belum sempat sarapan. Belum sempat menikmati nasi goreng yang Praba buat pagi ini padahal aromanya sangat menggoda.

Aku kembali ke bangku sambil membawa pesananku. Aku menyuapkan bubur yang terlebih dahulu aku aduk. Chintia tampak menatapku dengan jijik. Selalu seperti itu dari dahulu, kita berada di tim yang berbeda dalam makan bubur.

"Lo kok nggak berubah suh, Gis. Padahal lo udah nikah sama Kak Praba yang masuk dalam tim gue," celetuknya tampak kesal.

Aku menyuapkan buburku ke mulut lalu menelannya. "Praba itu dia nggak punya tim. Dia makan mau diaduk atau nggak diaduk juga dimakan. Sesuka dia. Kadang diaduk kadang enggak." Aku kembali menyuapkan bubur ke mulutku, lalu meraih botol air mineral dan menegak isinya. "Lo ngapain ngajak gue ketemu pagi gini?"

"Kenapa sih sensi amat? Lo mau nana nina sama Kak Praba dulu? Keburu telat. Gue 'kan kangen sama lo, Gis," ujarnya terdengar sengit dan aku sangsi dengan jawabannya yang terakhir.

"Serius deh, ada apa, Chin?" tanyaku dengan wajah malas untuk berbasa-basi apalagi suasana hatiku memang sedang dalam keadaan baik-baik saja.

Chintia menatapku sambil tersenyum tak jelas. Aku bergidik melihat kelakuan Chintia. Aku yakin ada yang tidak benar atau suasana hati Chintia sedang sangat baik.

Wanita itu menunjukkan jarinya, ah lebih tepatnya cincin yang melingkar di jari manisnya. "Gue di lamar sama Dani," ucapnya dengan penuh semangat.

Aku ikut tersenyum. Akhirnya sahabatku satu ini berani untuk ke jenjang berikutnya. "Lo beneran udah yakin, 'kan?"

Wanita itu mengangguk antusias. "Setelah bicara dari hati ke hati sama Dani, akhirnya keraguan itu memudar, Gis. Jakarta - Surabaya juga nggak sejauh itu. Ada teknologi transportasi bernama pesawat jadi nggak ada yang perlu ditakutkan, Gis."

Aku ikut merasa bahagia. Chintia akhirnya yakin untuk berumah tangga, tapi di sisi lain aku merasa sedih, raguku pada rumah tanggaku saat ini. Apa rasa cinta itu telah memudar? Kini semua terasa hambar dengan Praba.

"Oh iya, Gis. Gimana udah merasa capek kerja belum?" tanya Chintia yang membuatku membisu. "Apa sih yang lo cari dari kerja, Gis? Lo di rumah aja, Kak Praba jelas bisa ngehidupin lo. Heran deh gue."

Aku menghela napas. "Gue bosen di rumah doang tanpa ngapa-ngapain, Chin."

Chintia terkekeh. "Lo 'kan bisa masak atau ngapain di rumah, Gis."

Aku menatapnya tajam. "Lo tahu gue nggak bisa masak kecuali telur mata sapi, mi instan sama air."

"Lo tuh beruntung banget ya dapat Kak Praba yang sempurna paripurna. Lo nggak bisa masak dia nggak masalah, malah dia yang bisa masak. Kak Praba tuh kurangnya apa sih, Gis?" ucap Chintia dengan wajah yang benar-benar memuja.

Suamiku memang sesempurna itu. Dia tak masalah dengan kekuranganku. Dia tak akan memaksa aku untuk belajar masak. Dia akan membebaskanku melakukan apa yang aku suka selama tak melanggar prinsipnya.

"Dia sempurna, Chin. Kalau lo tanya alasan lain selain bosan. Alasan utama gue kerja karena gue merasa insecure, Chin. Gue insecure dengan lingkungan Praba. Dia direktur teknologi, kenalannya kebanyakan pada kerja dan istri dari rekan-rekan kerjanya juga wanita karir. Kadang kalau ada pertemuan gitu, gue merasa rendah, Chin," ungkapku sejujur-jujurnya pada Chintia. Selama ini memang aku merasa insecure dengan lingkungan Praba.

"Lo nggak pernah bilang itu ke Kak Praba?" tanya Chintia yang aku jawab dengan gelengan. "Harusnya lo bilang ke Kak Praba biar dibuati usaha apa gitu. Kayak istrinya Narendra tuh."

Aku menyipitkan mataku. Jantungku berdetak hanya karena nama Pak Narendra disebut. Ini salah. Jelas sangat salah.

"Lo kenal istrinya Pak Narendra?" tanyaku penasaran.

"Temen kuliah gue, satu jurusan," jawabnya dengan tenang dan kembali melahap makanannya. Tiba-tiba Chintia menghentikan makannya dan melambaikan tangan ke arah belakang tubuhku.

Aku membalik badanku dan mataku langsung beradu tatap dengan mata dengan iris abu-abu milik Pak Narendra. Lelaki itu tersenyum sangat tampan. Aku harus menahan diriku.

"Sini, Ren!" panggil Chintia dengan semangat.

Pak Narendra berjalan mendekat dan jantungku sepertinya sudah tak bisa terkontrol lagi. Aku sebenarnya masih sangat canggung berdekatan atau bertatap dengan Pak Narendra.

"Tumben jam segini udah pada datang?" tanya Pak Narendra dengan nada santai dan bersahabat.

"Lo bikin Gista kerja rodi, makanya bisa ketemunya sebelum jam kantor," ujar Chintia dengan kesal. "Jangan kejam lo jadi atasan, Ren!"

Pak Narendra terkekeh. "Gista aja nggak keberatan, kenapa lo jadi yang ribet?" Pak Narendra menoleh ke arahku. "Iya 'kan, Gis?"

Aku menegakkan tubuhku. Bagaimana bisa Pak Narendra bersikap biasa saja seolah tak terjadi apapun kemarin? Aku sampai saat ini bahkan masih terasa canggung dan sikap Pak Narendra benar-benar seperti tak ada yang mengganggunya. Semua seolah berjalan seperti biasanya. Atau Pak Narendra menganggap semua tak ada artinya dan ia sudah melupakan kesalahan kemarin?

Aku sampai saat ini masih sangat kesulitan untuk menghapus rasa canggung yang bercokol di hatiku.  Parahnya lagi, aku tak bisa menghapus perasaan berdebar di dada yang sungguh membuatku merasa terganggu.

"Gis kok diem aja," kata Chintia yang membuatku tersentak. "Mikirin Kak Praba lo?"

Aku hanya tersenyum untuk membalasnya. Aku tidak sedang memikirkan Praba, tapi memikirkan lelaki yang duduk di sampingku ini. Bagaimana cara menghapus kecanggungan ini? Aku harus belajar dari Pak Narendra.

"Oh iya, gue mau ketemu klien, Chin," pamit Pak Narendra sambil memainkan ponselnya. Lalu lelaki itu mengeluarkan satu gelas plastik kopi dari dalam kantung plastiknya dan menaruh di hadapanku. "Ini buat kamu, Gis. Biar saya nggak dianggap bos tukang nyuruh kerja rodi sama teman kamu ini."

"Buat gue mana, Ren?" ujar Chintia dengan wajah memelas.

"Minta ke Alma aja! Dia kayaknya udah kangen sama lo, sering banget nanya lo ke gue," jawab Pak Narendra yang langsung berlalu meninggalkan kami.

Aku menatap punggungnya sampai hilang di balik pintu. Kini kutatap segelas kopi dari Pak Narendra. Bagaimana kalau debar ini akan semakin menjadi? Bagaimana aku akan menyikapi kedepan? Dan bagaimana aku harus menghapus rasa ini jika dia membuat merasa nyaman?

***

Halo semua... Selamat malam Minggu bersama Gistara dengan segala isi pikiran dan kelakuannya wkwkw

Shay,
Sabtu, 06/03/21

Sudut Pandang [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang