Kedok Narendra

1.4K 111 7
                                    

Ada hal yang berubah semenjak kepulanganku dari Surabaya minggu lalu. Setelah Praba menyambutku yang malah membuatku semakin bingun, maka perubahannya seminggu ini semakin membuatku sakit kepala. Dia baik, membebaskanku, tapi aku malah merasa terawasi dan terkekang.

Penyambutannya seminggu lalu membuatku linglung dan menduga-duga. Sebaik apa sosok Praba ini? Apa dia tak punya amarah? Aku bahkan sering sengaja membuat gara-gara, tapi apa yang dilakukan Praba? Dia hanya tersenyum manis dan menyuruhku untuk melakukan apa yang aku suka. Apa masih ada manusia yang terlalu murni seperti Praba ini?

Aku mengambil sarapanku yang sudah tersedia di meja makan, tak lupa sosok Praba dan Alindra sudah duduk di sana seolah menungguku. Seminggu ini pula aku terbiasa sarapan bersama kedua manusia berbeda generasi ini.

"Pulang jam berapa nanti, Gis?" tanya Praba setelah menegak air mineralnya.

Aku menyuapkan nasi goreng ke mulutku dan mengunyahnya. Membiarkan Praba menanti jawabanku sampai aku menelan nasi goreng yang masih hangat ini.

"Jam tujuh, Pra. Mau ngurus event pameran buat hari Minggu," jawabku jujur. Minggu ini memang aku sedang sangat sibuk dan harus berangkat di akhir pekan juga.

Praba mengangguk. Hubunganku dan Praba sangat baik akhir-akhir ini, tapi ada yang aneh. Aku dan Praba hampir seminggu ini tak pernah melakukan kontak fisik. Praba memperlakukanku sangat baik, tapi dia tak pernah berada di jarak cukup dekat. Praba selalu mengambil jarak, kadang juga ia mengambil jarak terjauh saat duduk denganku.

"Mau aku jemput? Soalnya cukup malam juga kamu pulangnya. Bahaya, Gis," ujarnya setelah menyelesaikan makannya.

Aku menatapnya, lalu menggeleng. Sebenernya aku juga punya janji makan mapam dengan Narendra, jadi aku tak perlu dijemput Praba. "Nggak usah, udah biasa kok, Pra."

Praba mengangguk. "Pamerannya hari Minggu ya? Dibuka untuk umum nggak, Gis?"

Aku mengerutkan keningku. "Kenapa?"

"Aku sama Alindra mau ke sana. Sekalian cari rumah buat investasi," ujarnya yang malah membuatku terkejut. "Aku mau beli rumah baru, nanti kamu yang urus ya, Gis. Kalau bisa yang kosongan aja, nanti desain interiornya biar diurus temanku."

Aku hanya diam sampai Praba dan Alindra berpamitan. Mereka bergegas keluar rumah karena Alindra merengek takut telat masuk. Aku masih terpaku. Praba tak pernah membahas akan membeli rumah baru, tapi kenapa sekarang dia memintaku mencarikan rumah untuk dirinya? Ini memang akan menguntungkan buatku, karena pasti akan dengan cepat bisa memenuhi target, tapi yang aku heran, untuk apa rumah baru itu nanti?

Investasi? Aku mengenal Praba, dia lebih suka berinvestasi dalam bentuk saham daripada bangunan atau tanah. Sebenarnya apa yang salah? Aku yang terlalu banyak pikiran atau Praba yang memang mulai berubah perlahan? Semua terasa membingungkan bagiku.

Aku segera menyelesaikan makanku dan bergegas berangkat ke kantor untuk mengisi presensi kehadiran. Meski masih bingung dengan keinginan Praba, aku tetap mencarikan dia rumah yang dia maksud. Lumaya bisa jadi klienku dan membuatku bisa memenuhi target bulan ini.

Aku terduduk di meja kerjaku dan mulai menyalakan laptop untuk melakukan analisis segmentasi pasar, selain itu aku mulai merekap keinginan pembeli yang sudah hampir final membeli properti di perusahaan ini. Seluruh analisis akan diserahkan pada Narendra nanti siang setelah jam makan siang. Jangan lupakan persiapan untuk pameran hari Minggu, di mana tim marketing harus menguasai segala properti yang dipunya untuk menjelaskan pada para pengunjung.

Aku merenggang otot-ototku yang terasa kaku. Aku melihat ke sekitar. Semua meja terisi penuh, tapi mereka sibuk dengan pekerjaan masing-masing, sehingga tak ada obrolan di antara kami. Aku melirik jam tanganku. Hampir memasuki jam makan siang.

Sudut Pandang [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang