Setelah mendapatkan omelan dari papanya yang membuat luka masa lalunya terasa kembali ke permukaan, Rysa tidak bisa tinggal diam, dia masih sakit hati karena perbuatan papanya itu.
Entahlah ... Rysa hanya tidak suka kalau kebahagiaannya di rebut oleh orang lain. Memangnya siapa juga yang mau kebahagiaannya di ambil orang lain? tentu tidak ada, sebab semua orang butuh kebahagiaan di dalam hidupnya.
Mungkin karena sakit hatinya itu membuat Rysa semakin bengis dan semena-mena kepada orang lain. Poin tambahan karena dia adalah anak pemilik yayasan, jadi ... tidak ada yang berani melawannya.
Sudah menjadi kebiasaan bagi Rysa kala ia merasa suasana hatinya tidak baik, dia selalu melampiaskannya kepada orang lain. Entahlah, tapi rasanya ada sedikit lega saat melampiaskan rasa kesal ke orang lain apalagi kalau si korban tidak melawan, itu akan menjadi kepuasan tersendiri untuk Rysa.
Rysa tidak sendirian, seperti biasa Marsya dan Dania selalu bersamanya. Ketiga perempuan bengis itu kini sedang menghadang seorang perempuan berkacamata kotak yang membawa setumpukan buku, entah buku apa lah itu Rysa tidak peduli.
"Ehh, cupu." Rysa memanggil, terlihat perempuan berkacamata itu meringis kesakitan kala rambut panjangnya ditarik oleh Rysa ke belakang dan membuat perempuan itu menengadah ke atas. "Cewek cupu kaya lo itu nggak pantes sekolah di sini tau nggak," ucap Rysa dengan seenaknya diiringi tawa jahatnya.
Marsya bertugas menghadang perempuan itu dari sisi kiri sedangkan Dania dari sisi kanan, Rysa tentu di depan perempuan berkacamata itu. Sementara di belakang sana hanya ada tembok alhasil kini perempuan itu terkurung seperti kelinci yang terjebak.
"Sini duit lo." Dania meminta --lebih tepatnya malak.
"Tapi uang aku cuma sedikit, kak." Perempuan itu mencoba untuk menjawab, rambutnya tidak lepas dari genggaman Rysa.
"Orang miskin ngapain sekolah di sini? kalo lo nggak punya banyak duit ngapain sekarang lo ada di sini." Rysa menyela. "Lo tau 'kan kalo sekolah ini elit?"
"T-tau, kak." Perempuan itu semakin menjauhkan tubuhnya tapi nahas dia hanya bisa menempel pada tembok. Kecamata kotaknya turun sampai ujung hidung lantas dia menarik kembali kacamatanya ke posisi semula.
"Terus ngapain lo ada di sini, hah?"
"Aku dapet beasiswa, kak," jawabnya spontan.
Beasiswa? Rysa hampir lupa kalau papanya memang suka sekali membuang-buang uang dengan cara memberikan beasiswa kepada anak pintar dan kurang mampu.
"Lo dapet beasiswa dari bokap gue, harusnya lo tunduk sama gue. Lo pikir sekolah di sini bakal segampang dan semulus yang lo kira? jangan harap .... masusia kaya lo ini cuma jadi benalu tau nggak."
Dari kejauhan, Arunika tidak sengaja melintas, melihat dan mendengar seseorang memekik juga suara Rysa yang ia kenal seperti sedang mengoceh kepada seseorang? dan benar saja, Rysa dan teman-temannya tengah mengepung seseorang.
Tidak bisa tinggal diam, Arunika menghampiri gadis itu tanpa ada rasa takut. Meski tahu kalau tindakannya sekarang itu salah yang akhirnya akan membuat Rysa berbalik marah padanya, tetapi Arunika tidak bisa membiarkan Rysa terus menindas orang lain. Cukup dirinya saja, jangan ada orang lain yang senasib dengannya.
"Rysa!" Arunika memanggil sembari menghampiri gadis itu.
Mendengar namanya disebut Rysa pun menoleh dan melepaskan genggamannya. Marsya dan Dania juga ikut menoleh, itu refleks, bahkan perempuan berkacamata kotak yang baru terlepas dari genggaman Rysa pun ikut menoleh ke sumber suara.
"Kamu nggak boleh kaya gitu sama orang lain," ucap Arunika.
"Siapa lo berani ikut campur?" Rysa merubah target buliannya, kebetulan sekali karena sedari tadi dia memang sedang kesal kepada gadis itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Daily Life
Teen FictionApa yang terlihat memang tak selalu menunjukan yang sebenarnya. ___ Start 6 Januari 2021 Finish 26 February 2021