🥀 21 | Tsunderella

12 10 2
                                    

🥀🥀🥀

Menjelang subuh di saat tak banyak orang belum memulai harinya, Arunika seperti biasa sudah siap-siap beribadah lalu setelahnya membersihkan diri untuk pergi sekolah, jangan lupa kalau sebelumnya dia harus pergi ke kafe terlebih dahulu.

Duduk bersimpuh di atas kasur yang keras, tidak ada empuk-empuknya sebagaimana tempat tidur biasanya, Arunika meraih ponsel bermerek tidak terkenal miliknya dan mencari nomor ibunya untuk dia panggil setelahnya.

Sudah lama sekali ia tidak menghubungi perempuan yang melahirkannya itu semenjak duaminggu yang lalu.

"Assalamu'alaikum, Bu," ucap Arunika setelah nadanya tersambung.

"Waalaikumsalam." Dari sebrang sana terdengar menyauti dan terdengar isak haru, sepertinya dia merindukan anaknya.

"Apa kabar, Bu?"

"Ibu baik, kamu di sana gimana?"

"Arunika baik-baik aja, Bu." Tidak mungkin kalau dia mengatakn kalau sebenarnya tidak baik-baik saja.

Terhitung seminggu pula Arunika tanpa ada Daniel di sebelahnya. Seharusnya dia terbiasa dengan keadaan seperti ini? tapi setelah ada Daniel dan setelah perginya Daniel, itu terasa berbeda. Seperti ada yang kurang dan sesuatu yang berhaga hilang, tentu saja.

"Dimas gimana, Bu?" Alih-alih menghindari pertanyaan ibunya yang akan terus bertanya tentang keadaan dirinya, Arunika mengambil alih pertanyaan dengan menanyakan sang adik.

"Dimas baik, sekolahnya juga baik. Ibu kangen sama kamu, ibu pengen banget nemenin kamu di sana tapi ibu juga nggak bisa ninggalin pekerjaan ibu di sini."

Arunika mengerti itu, alasan mengapa ibunya tidak ikut tinggal bersamanya juga karena pekerjaannya itu. Kalau seandainya Arunika bersekolah di tempat tinggalnya, sayang saja beasiswa yang ia dapat akan hangus percuma.

Berkat perlombaan yang di adakan SMA Nirwana dahulu ketika sedang gencarnya mencari murid baru, tentu mengundang semua sekolah jenjang menengah antusias mengikuti lomba itu sebab hadiahnya tak kalah menakjubkan, tentu saja beasiswa dan berupa uang tunai.

Dari sana lah Arunuka berhasil lolos dan mendapatkan tawaran menggiurkan untuk bersekolah di sana. Siapa yang akan menolak ajakan bersekolah di sekolah paforit dengan percuma? hanya orang bodoh yang akan menolaknya.

Meski taruhanya berpisah dari ibu dan adiknya, Arunika tetap mempertahankan mimpinya. Toh, nantinya juga buat kebahagiaan mereka. Kalau Arunika berhasil menyelesaikan pendidikannya, setidaknya dengan itu dia jadi lebih mudah untuk mencari pekerjaan.

"Oh iya, Bu. Arunika mau minta ijin, lusa sekolah adain camping tempatnya nggak terlalu jauh dari sekolah, kok. Kami kelas tiga wajib ikut, yaaa ... itung-itung menciptakan moment terakhir gitu. Jadi Arunika mau ikut juga."

"Yasudah ikut saja, tapi kamu jaga diri baik-baik, ya."

"Iya, Bu. Makasih, Arunika cuma mau ijin itu aja." Arunika melirik jam dinding di depannya. "Udah jam enam, Arunika harus berangkat, Arunika tinggal nggak apa-apa, Bu?"

Sebelum Arunika berangkat dan akan menutup telponnya, dia berpamitan terlebih dahulu kepada ibunya. Bukannya tidak ingin berbincang lama, Arunika ingin sekali banyak mengobrol dengan ibunya itu, tapi mengingat dia ada pekerjaan jadi tidak bisa lama menghabiskan waktunya hanya sekedar bertelponan. Bertukar kabar, mengetahui kalau ibu dan adiknya baik-baik saja itu pun sudah lebih dari cukup baginya.

"Yasudah, jangan lupa sarapan dulu, ya, Nak."

Arunika mengangguk meski tidak terlihat ibunya, bergumam memberi tanda kalau dia mengiyakan wajengan ibunya itu.

Daily LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang