🥀 19 | Semburat Kebahagiaan

21 16 7
                                    


🥀🥀🥀

Kebahagiaan tidak selalu yang menghebohkan.

Perhatian kecil dari seorang ayah untuk anak perempuannya tak kalah membahagiakan dari segala hal bahagia di dunia ini.

-Rysa Pristeria-

Saat pulang sekolah, Rysa mendapati rumahnya yang begitu sepi. Tumben sekali? biasanya waktu dia pulang sekolah Diana akan menghampirinya dan mulai mengoceh menyuruhnya untuk mandi atau bahkan menyuruhnya untuk mencuci baju.

Rysa berjalan melewati ruang tamu lalu pergi menuju dapur. Perutnya tiba-tiba saja lapar.

Membuka lemari pendingin, mengambil sesuatu untuk dia makan lalu duduk di kursi meja makan. Sebentar dia perhatikan sekeliling rumahnya, sangat sepi dan sunyi.

"Tumben sepi amat," gumam Rysa setelah meneguk minuman isotoniknya lalu beralih memakan choko chips.

"Bi ...." Rysa memanggil Bi Marni, aneh rasanya rumah sebesar ini tidak ada penghuninya.

Rysa memanggil Bi Marni beberapa kalai tapi asisten rumah tangganya itu tidak kunjung menyahuti. Apa Bi Marni pergi belanja?

"Nenek lampir juga tumben nggak muncul." Rysa berucap seolah dia tengah mencari kehadiran ibu tirinya itu.

Tunggu...

Jangan bilang kalau barusan Rysa mengharapkan kehadirannya? Tidak!

Cepat-cepat Rysa menggelengkan kepalanya, menyingkirkan bayangan Diana yang tiba-tiba melintas di pikirannya. Lagipula bukannya malah bagus kalau nenek lampir itu tidak ada?

Yahhhh, sudah menjadi kebiasaan Rysa memanggil Diana dengan sebutan nenek lampir, baginya ibu tirinya itu sangat berisik bisanya nyuruh ini-itu kaya nenek lampir.

Rysa tidak memanggil papanya atau berniat mencarinya, sebab Rysa tahu kalau papanya itu pasti sedang sibuk kerja.

Tiba-tiba saja ponselnya berbunyi lantas Rysa meraih benda pipih itu dari dalam saku seragamnya. Segurat pesat tertera di layar kunci ponselnya, pesan masuk dari papanya.

Papa
Papa bakal pulang malem, kamu jaga rumah sebentar ya, papa lagi ada urusan sama mama Diana.

Rysa membaca pesan itu dengan malas, apalagi saat nama Diana tertulis di sana. Bodo amat mau pulang malem atau engga, toh emang udah biasa seperti itu 'kan?

"Bi Marni mana, sih, gue laper lagi." Rysa memegang perutnya yang terasa lapar, cemilan yang dia makan pun tidak cukup untuk mengusir rasa laparnya.

Rysa beranjak dari duduknya lalu mencari keberadaan Bi Marni, memeriksa kamar mandi, gudang, sampai halaman belakang rumah pun Rysa tak kunjung menemukan Bi Marni.

Karena tidak kunjung mendapati asisten rumah tangganya itu, Rysa pun bergegas kembali ke dalam rumah dan memilih untuk tidur di kamarnya saja.

--***--

"Kamu yakin mau di sini?" tanya Dejun kepada istrinya yang duduk di depannya.

Sepasang suami istri itu sekarang sedang berada di sebuah apartemen milik Diana yang ia beli dari hasil jeripayahnya.

"Iya, Mas. Aku nggak apa-apa, kok." Diana meraih tangan Dejun, mengelus punggung tangan suaminya itu. Kebiasaan kala dia menenangkan Dejun.

"Mau sampai kapan di sini?"

"Sampai Rysa mau nerima aku. Terima aku sebagai ibunya ... aku tahu itu pasti sulit bagi Rysa, tapi aku juga nggak mau kalo setiap hari harus berhadapan dengan anak itu yang mandang aku aja dia males kaya gitu."

"Aku ngerti, maafin anak aku." Dejun menunduk, merasa bersalah atas perlakuan anaknya itu.

"Rysa nggak salah, dia cuma belum siap punya ibu baru. Aku ngerti keadaan dia, aku juga nggak bermaksud mengambil posisi Arika." Diana berkaca-kaca, hampir saja dia menjatuhkan air matanya namun dengan cepat ia menyekanya. "Aku bakalan tunggu sampe Rysa mau nerima aku."

"Apa itu tidak akan lama?"

"Aku tinggal sama kalian udah cukup lama, aku tahu perasaan anak itu, aku tau keadaan anak itu, aku keras sama dia karena aku mau dia jadi perempuan yang kuat. Aku udah cukup banyak mengomel dan dengan kepergian aku sekarang, semoga Rysa mengerti apa arti kehilangan yang sesungguhnya." Diana berucap tulus.

Rysa selalu memandang Diana sebelah mata, Diana tidak apa. Rysa menganggap Diana nenek sihir, Diana tidak apa. Sampai Rysa berkata kasar sekali pun Diana tetap memaklumi gadis itu.

"Aku harap begitu," gumam Dejun.

"Yasudah kamu pulang sana, Rysa pasti sendirian di rumah," ucap Diana dan Dejun mengangguk mengiyakan.

Malam sudah hampir larut, mungkin seharusnya Dejun memang pulang, kasihan Rysa kalau terus-terusan di tinggal sendirian di rumah.

Berkat perkataan Diana, Dejun juga berpikir kalau sebaiknya dia mengurangi pekerjaannya? cukup menjadi ketua yayasan saja dan pekerjaan kantornya akan dia serahkan kepada orang kepercayaannya.

"Kamu baik-baik di sini, ya." Dejun berucap kepada istrinya sebelum pergi dari sana.

Diana mengangguk. Dejum membawa tubuh Diana ke dekapannya, menciup pucuk kepalanya penuh kasih sayang sebagaimana seorang suami kepada istrinya.

"Makasih udah bertahan," ucap Dejun setengah berbisik.

--***--

Pukul sepuluh malam, Rysa terjaga karena mendengar suara pintu utama rumah terbuka. Rysa memang selalu terbangun kala sesuatu terdengar di telinganya, suara sekecil apapun pasti dia dengar dan akhirnya membuat dia terbangun.

Awalnya dia tidak memperdulikan itu, tapi saat derap langkah seseorang mulai mendekat dan membuka pintu kamarnya, sontak Rysa menolehkan pandangannya ke arah pintu.

Terlihat siluet seseorang di ambang pintu, lampu kamarnya memang selalu gelap jadi Rysa tidak bisa melihat jelas siapa orang itu. Namun, dari postur tubuhnya jelas Rysa bisa mengenalinya.

"Papa ...."

Dejun mendekat dan Rysa merubah posisinya menjadi duduk, benyangga tubuhnya di kepala kasur.

"Tumben papa ke sini?" Rysa berucap dingin, tidak biasanya papanya itu berkunjuk ke kamarnya. Terakhir kali Rysa ingat papanya selalu berkunjung ke kamarnya itu lima tahun yang lalu, tepat saat mamanya meninggalkan dirinya juga dunia sementara ini.

Dejun duduk di bibir kasur, menatap anak semata wayangnya itu dan tersenyum kaku. "Kenapa kamu belum tidur?" tanya Dejun basa-basi.

"Kebangun denger seseorang buka pintu, taunya papa."

"Maaf papa ganggu kamu tidur, ya?"

"Enggak, kok." Rysa gelagapan, tangisnya hampir pecah kala papanya itu tumben perhatian kepadanya. Rysa senang papanya berkunjung lagi ke kamarnya.

"Yaudah kamu tidur lagi aja, papa juga mau istirahat," ucap Dejun dan Rysa pun mengangguk.

Dejun berdiri lalu mengusap pucuk kepala anaknya dan berkata, "tidur yang nyenyak, Sayang."

Hati Rysa tersentuh mendengarnya, sudah lama sekali dia tidak mendengar kata 'sayang' keluar dari mulut papanya. Rysa benar-benar akan menjatuhkan air matanya setelah Dejun pergi dari kamarnya.

Pintu kamarnya tertutup bersamaan dengan hilangnya Dejun di balik pintu, dan sekarang tangis Rysa pecah dengan sendirinya. Rysa terharu sekaligus terkejut dan terlampau senang.

Menjatuhkan kembali tubuhnya di atas kasir sembari memeluk guling dengan senyumannya yang tidak luntur dan semakin merekah.

Seperti mimpi, Rysa tidak menyangka kebahagiaannya mulai kembali kepadanya. Semoga ini awal yang baik untuknya.

🥀🥀🥀

Daily LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang