(9)

247 79 21
                                    

Happy Reading 💞

Bel pulang sekolah baru saja berbunyi, mengisyaratkan para siswa untuk segera pulang.

"Ayo Nay" ajak laras

"Bentar ras" Naya masih membereskan buku yang ada dimejanya, namun gerakannya terhenti ketika  Haidar memegang tangannya.

Nayapun menenggok pada Haidar dan menaikkan sebelah alisnya.

"Kamu bareng sama aku" terdengar lembut namun tak terbantahkan.

"Emmmm ta__ tapi aku___" ucapan Naya langsung dipotong oleh Haidar.

"Itu pernyataan bukan pertanyaan dan aku nggak butuh jawaban kamu" ucap Haidar lalu menarik tangan Naya lembut.

Laraspun melongo melihat itu.

"Maaf ya Ras " Naya meringis tidak enak pada Laras.

Laras yang mengerti pun mengangguk-anggukkan kepala.

_______________________________________________________

Haidar menginjak remnya ketika sampai didepan rumah Naya, kemudian mengulurkan tangannya untuk membantu Naya turun.

"Makasih ya, Dar" ucap Naya sambil tersenyum.

"Sama-sama, masuk gih" perintah Haidar.

"Kamu mau nggak mau mampir?" Tanya Naya.

"Nggak usah aku mau langsung pulang"

"Ya udah, hati-hati ya" ucap Naya sambil tersenyum manis. Haidar mengnggukkan kepalanya dan melajukan motornya menjauhi rumah Naya.

Naya yang melihat punggung Haidar menjauhpun tersenyum hangat, dirinya merasa bahwa haidar yang dingin dan ketus memiliki sebuah rahasia yang ia sembunyikan dari sifatnya tersebut. Sifat yang selama ini hanya untuk menutupi dirinya yang rapuh, Naya bisa melihat dari sorot mata Haidar Yang kadang kosong dan hampa.

______________________________________________________

Haidar memasuki rumah megah yang sepi. Kemudian Bi Iyem datang .

"Maaf den, Tuan menunggu aden diruangannya." Ucap Bi Iyem sambil menunduk menghormati Tuan Mudanya.

Haidar menghela nafas kemudian mengangguk dan berjalan menuju keruangan Papahnya.

***

Haidar membuka pintu yang nampak elegan tersebut. Terlihat Papahnya yang tengah duduk dikursi dengan setelan kemeja dan jas yang membalut tubuhnya, sambil mimijit pangkal hidungnya, menunjukkan bahwa ada sesuatu yang mengganggu pikirannya.

"Ada apa, pah" Tanya Haidar to the point.

"Duduklah" ucap Bagas sambil menunjuk kursi depannya.

"Papah ingin kamu mulai bekerja di perusahaan papah" ucap Bagas tegas

"Pah, kita sudah berulang kali membahas ini, aku akan bekerja disana saat lulus SMA. Kenapa papah tetap memaksa Haidar? Haidar hanya ingin menikmati masa SMA Haidar sebelum masuk ke dunia itu, pah." Jelas Haidar panjang lebar dengan menahan emosinya.

"Tapi apa salahnya. Anak rekan bisnis papah mereka juga sudah masuk dunia bisnis. Lalu kamu? Kamu bisa apa? Jangan bikin malu papah"

"Papah hanya mengedepankan gengsi dan jabatan papah selama ini. Apa pernah papah memperhatikan perasaan aku, PERNAH PAH? AKU BUTUH KALIAN. AKU BUTUH WAKTU KALIAN BUAT AKU" dada Haidar naik turun, terbawa oleh emosi.

"DIAM KAMU. Tau apa kamu, ha?. Bahkan kamu membentak orang tua kamu sendiri. Jaga sopan santun kamu Haidar" tegas Bagas.

" Sopan santun?, Hahahaha" Haidar tertawa hambar. Tawa yang mengiris hati. Hatinya sungguh sakit bahkan tanpa sadar sudut matanya telah mengeluarkan air.

"Papah bahkan nggak pernah ngajarin aku apa itu sopan santun. Bukankah selama ini papah cuma membesarkan perusahaan papah itu? Jangan salahkan aku kalau aku nggak punya sopan santun."

Plak!

Tamparan keras mendarat dipipi Haidar. Rasa panas merambat hingga hatinya. Haidar mencoba memejamkan matanya.

"Makasih, pah" Haidar kemudian pergi dari ruangan papahnya.

Bagas hanya dapat menatap nanar punggung Haidar yang tertelan pintu. Rasa sesal kini hinggap dalam dirinya, tidak seharusnya ia bersikap kasar terhadap anaknya.

_______________________________________________________

Haidar kini duduk di sudut kamarnya dengan keadaan yang gelap. Itu lah hal yang sering kali Haidar lakukan ketika memilki masalah, ia akan berada ditempat yang gelap dan sepi, karena menurutnya ia bisa lebih tenang dan berfikir jernih.


Kini sorot mata tajam itu meredup berubah menjadi tatapan kosong dan pedih.
Bibir yang biasa mengucapkan kata ketus itu kini hanya diam.
Tubuhnya yang kuat kini bahkan terasa tak mampu hanya untuk sekedar berdiri.

Banyak yang mengatakan bahwa laki-laki tidak boleh menangis karena ia diciptakan untuk menjadi sebuah pelindung. Namun nyatanya, ia bukanlah batu karang yang akan berusaha kuat ketika dihantam berulang kali oleh ombak.

Berulang kali Haidar meyakinkan dirinya untuk kuat, namun berulang kali juga ia dihantam oleh kenyataan yang membuatnya terjatuh dan terpuruk. Dirinya yang menutup diri orang lain seolah tak butuh orang lain, hanyalah topeng, topeng tanggung dibalik sosoknya yang rapuh.

"Aaaaakkkkkhhhhhhh" teriak Haidar sambil membanting apapun yang berada didekatnya.

Dadanya bergerak naik turun, kata-kata Papahnya terngiang-ngiang dikepalanya seperti sebuah kasat vidio yang berputar berulang kali
"lalu kamu?kamu bisa apa ha? Jangan bikin malu papah Haidar."
"Jaga sopan santun kamu Haidar"

Tak terasa air matanya jatuh tanpa ia minta. Hatinya seakan terhimpit batu besar yang membuatnya sulit bernafas.
Apakah selama ini dirinya hanya bisa membuat malu orang tuanya? Apakah selama ini dirinya hanya sebuah benalu? Lalu jika itu benar mengapa orang tuanya tidak membuangnya saja?. Pemikiran miris itu terlintas dibenak Haidar, yang membuat nya semakin tersiksa.





























TBC
Hai.....
Aku kembali , maaf yah baru up. Padahal aku janji bakalan up tiap hari🙏🙏
Belakangan ini ada pikiran yang sedikit menganggu.
Gimana dengan part ini?
Apa kalian juga pernah ngerasain kayak Haidar?
Merasa cuma bisa jadi benalu dan bikin malu?

Kalau kalian pernah mikir gitu, coba untuk hilangin ya. Karena setiap orang itu punya peran penting dalam hidupnya masing-masing. Kalian adalah tokoh utama dalam hidup kalian dan kalian adalah raja didalamnya.

Tunggu next part ya❤️💞
Jangan lupa tinggalkan jejak. Karena ceritaku bakalan hambar kalau nggak ada kalian❤️❤️

My Introvert Boy  [ END ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang