10 : Mengenal

12 4 1
                                    

Sudah dua kali alarm berbunyi, namun Adila tak kunjung bangun. Ia masih sibuk di alam mimpinya. Malven mengetuk pintu kamar Adila agar adik kesayangannya itu segera bangun karena hari sudah siang.
"Lima menit lagi!" teriak Adila masih dengan suara paraunya.
"Cepetan bangun! Anak gadis masa kebo banget sih!"
"Cerewet banget sih kayak emak-emak!"

Adila membuka pintu dengan malas. Malven mengacak-acak rambut Adila yang sudah seperti singa.
"Kita keluar yuk, nongkrong sama temen kakak."
"Gak mau. Males."
"Ada Kenzie juga."
"Ya terus?"
"Loh? Bukannya Dila seneng banget kalo sama Kenzie?"
"Emang. Daripada sama kak Malven, nyebelin!"

Adila berlari ke kamar mandi untuk membersihkan wajahnya. Sedangkan Malven turun ke bawah untuk menyiapkan sarapan.

Malven membuat telur mata sapi kesukaan Adila. Matangnya sempurna, hanya saja kuning telurnya tidak merata di tengah. Sambil menunggu Adila, Malven mencuci peralatan bekas digunakan kemarin.

Tak lama Adila turun dengan handuk yang melilit kepalanya. Langkahnya bergerak menuju dispenser untuk meminum segelas air. Lalu mengisinya kembali dan dibawa untuk disimpan di atas meja makan.
"Semalem pulang jam berapa, Dil?"
"Tujuh. Kak Malven gimana kemarin tesnya? Bisa?"
"Pusing anjir, makanya kakak langsung tidur. Kepala kakak udah mau pecah. Saking pasrahnya, kakak ngitung kancing."
"Haha sudah biasa. Kak Malven kan apa-apa pasti ngitung kancing. Mau mutusin sesuatu aja mesti ngitung kancing."
"Seenggaknya kan kakak bikin perhitungan dulu walaupun lewat kancing. Eh, pancake di kulkas udah dimakan?"
"Udah dong. Thanks ya kak."

Setelah mencuci piring bekas makan mereka, Adila kembali ke kamar untuk mengoleskan pelembab di wajahnya. Sambil melihat cermin di hadapannya, ia menerawang apakah dirinya mempunyai diri yang lain seperti Adira? Adila menggelengkan kepalanya membayangkan hal-hal yang menurutnya agak seram.

Rambut panjangnya ia sisir. Tidak terasa sudah lebih dari setahun ia tidak pernah memotong rambut. Kini panjangnya sudah sepunggung.
"Potong rambut kali ya, kalau pake poni bagus gak sih?" Adila bermonolog sambil mengatur rambutnya di depan cermin untuk mengukur sepanjang apa rambut yang akan ia potong nanti.
"Padahal barusan gak usah dikeramas kalo mau potong rambut."

Adila turun ke bawah untuk menemui Malven. Ia meminta izin kepada kakaknya untuk memotong rambutnya.
"Ngapain bilang ke kakak? Potong rambut ya potong aja. Kakak gak masalah kok soalnya adik kakak ini cantik mau rambut apapun juga."

Adila tersenyum mendengarnya. Walaupun Malven super duper protektif, tapi ia sangat membebaskan adiknya untuk melakukan hal apapun selama batas wajar.
"Temenin aku ke salon dong, kak!"
"Mau nongkrong, Dil."
"Katanya mau jagain Dila?"
"Ya udah, tapi sekarang. Jangan lama."

Adila menyetujui. Ia kembali ke kamarnya untuk menyambar tas selempang yang ia gantung di belakang pintu kamar.

Tiba-tiba Adila mendengar keributan di bawah. Sepertinya teman-teman Malven sudah datang. Benar saja, saat ia menuruni tangga, suara teman-teman kakaknya itu menggelegar dari ruang tamu.
"Hai Dila."
"Dilaaaa."
"Hallo adiknya Malven."

Mereka bergantian menyapa Adila. Adila tersenyum sambil melambaikan tangannya. Dilihatnya Kenzie semakin tampan dengan kaos hitam dan jaket kulit yang membalutnya, ditambah baseball cap yang menutupi kepalanya. Adila sejenak terpesona oleh teman kakaknya itu.

Dibandingkan dengan yang lain, Adila hanya mengenal Kenzie. Teman Malven lainnya hanya tahu nama saja, itu pun hanya satu-dua, sedangkan yang mengunjungi rumahnya sekarang ini berjumlah tujuh orang.
"Kak, Dila sendiri aja deh."
"Lho? Katanya mau dianter kakak?"
"Terus temen-temennya gimana?"
"Ya ikut nganter lah."
"Hah?"

Adila tidak paham lagi dengan pikiran kakaknya itu. Bisa-bisanya ia berniat mengajak teman-temannya untuk mengantar ke salon. Bayangkan, ketika Adila memasuki salon, di belakangnya ada 8 laki-laki yang menunggunya. Adila menggeleng.
"Udah ya kak, Dila pergi sendiri. Gila aja cuma ke salon buat potong rambut, semuanya ikut nganter. Dikira mau tawuran?"
"Dianter kak Kenzie aja yuk," ujar Kenzie yang mendapat pelototan dari Malven.
"Mending sendiri aja lah, Dil. Enak aja dianter Ken doang."
"Serem amat pawangnya."

***

Melihat hasil potongan rambut sebahunya dan poni depan, Adila tersenyum puas. Keluar dari salon tersebut, Adila menaikkan dagunya berjalan lebih percaya diri.
Ponselnya bergetar tanda satu pesan masuk. Adila mengeceknya.
'Di mana?'
Ternyata Adira.
'Abis potong rambut.'
'Temenin gue yuk.'
'Boleh. Gue ke rumah lo?'
'Shareloc, gue jemput.'

Sepuluh menit menunggu, Adira datang juga. Pemuda itu mengendarai motor scoopy putih dengan helm yang melindungi kepalanya.
"Wahh... rambut baru nih? Cantik!"
"Peres lo."
"Serius."
"Kita ke mana?"
"Bi Wati yuk?"

Maka mereka membelah jalanan menuju kedai es krim bi Wati yang letaknya tidak jauh dari sekolah. Jika dari salon tempat Adila berdiri sebelumnya sudah pasti cukup jauh.

Adila memesan burger es krim, sedangkan Adira memesan es krim oreo. Satu hal yang baru diketahui keduanya adalah mereka sama-sama gemar memakan es krim. Maka tak heran berkali-kali mereka bertemu di kedai es krim yang sama.

Adila bercerita bahwa ia sudah mencicipi semua jenis es krim yang ada pada menu di kedai ini. Sedangkan Adira, hanya satu menu yang belum dan tidak akan pernah ia cicipi, yaitu es krim durian. Baunya yang tidak sedap membuat Adira enggan mencoba es krim tersebut. Mereka sempat berdebat mengenai es krim durian perkara enak dan tidak enak. Sepertinya mereka tidak akan puas jika belum berdebat satu hal pun ketika bertemu.
"Ya udah lah, gue ngalah. Iya, es krim duren emang enak kalau kata orang yang suka. Kalau gue ogah."
"Lo harus coba sekali seumur hidup. Nanti lo bakal ketagihan."
"Haha thanks, tapi NO!"
"Eh, Adira, gue mau nanya, tapi sorry sebelumnya, lo.. udah dapet pengobatan?"
Adira menggeleng. "Gue rasa belum terlalu parah sih. Selama ini gue tau punya empat kepribadian selain diri gue yang asli."
"Gue baru tau dua."
"Iya, masih ada dua. Tapi moga lo gak pernah ketemu deh. Gue aja capek."
"Kenapa?"
"Lo bakal capek ngadepinnya. Soalnya gue..."
"Kenapa kenapa? Siapa namanya?"
"Dahlah, tar juga ketemu, mungkin. Tapi moga jangan."
"Jadi penasaran haha. Gue tunggu."
"Wah parah lo masa nungguin gue berubah sih?"
"Lo gak ada niatan buat diperiksa gitu? Seenggaknya bisa ngurangin dampak ke depannya? Gue cuma khawatir kalau misal lo kalah dari pribadi yang lain."
"Jadi, lo khawatirin gue?"

Bersambung.

S E M E N J A N A ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang