Kamis siang pukul 11, Adila keluar dari gerbang sekolahnya karena pembelajaran belum efektif. Rencananya ia akan ke rumah Adira untuk mengecek apakah orang itu sudah kembali atau belum.
Langkah Adila terhenti ketika menyadari lelaki yang memiliki tubuh lebih tinggi darinya berdiri dengan menggunakan jaket abu muda dan masker yang menutupi wajahnya.
Lelaki itu melambaikan tangan kanannya, kemudian menurunkan masker hingga terlihat wajahnya.
Sejenak Adila menatap mata lelaki itu untuk merasakan kepribadian siapa yang ada di hadapannya. Tak perlu lama Adila menyadari, siapa lagi kalau bukan si menyebalkan Adira?
"Lo–"
"Gue traktir lo sebagai permintaan maaf karena udah ngerepotin lo kemarin."Mata Adila berbinar mendengarnya. Tanpa mendengar penjelasan lain, Adila langsung meng-iya-kan.
"Dilaaa!"Suara Ranti terdengar keras menghentikan langkahnya. Adila berbalik.
"Lo langsung balik? –eh ini bukannya cowok yang waktu itu nyamperin lo di rumah Nesya?" Ranti yang semula berbicara agak keras, tiba-tiba membisikkan pertanyaan tersebut kepada Adila. Adila hanya tersenyum canggung.
"Hm okedeh. Gue balik duluan ya." Ranti berujar sambil melambaikan tangannya lalu melenggang begitu saja, tidak mau mengganggu Adila.***
Siang itu, kedai es krim bi Wati tampak ramai. Seluruh bangku hampir penuh kecuali bangku di paling ujung. Adira dan Adila lantas mengambil tempat duduk di sana. Bi Wati menghampiri sambil senyum-senyum. Adila merasa heran dengan tingkah bi Wati, sedangkan Adira tampak memberi kode kepada bi Wati yang diterimanya dengan cekikikan.
Bisa dipastikan Adila merasa yang paling waras saat itu, atau entah ia yang paling bodoh. Adira dan bi Wati tidak henti-hentinya cekikikan.
"Kenapa sih?" Kali ini Adila protes.
"Enggak kok."Bi Wati kembali ke dapur untuk membuat pesanan keduanya. Suara musik dari speaker terdengar cukup keras. Adira menyenandungkan lagu bersamaan dengan suara dari speaker tersebut.
Walaupun tidak keras, tetapi Adila dapat mendengar jelas. Suara Adira terdengar merdu walaupun hanya bersenandung, apalagi saat menyanyi yang ia dengar malam itu di warkop mas Jiwo. Jika tidak melihat siapa yang bernyanyi, mungkin Adila sudah jatuh hati.
"Kesambet lo?" tanya Adira yang menyadari gadis di hadapannya itu menatap kosong.
"Lo kali sering kesambet."
"Sorry, ya. Lo pasti capek?"
"Jujur ya, waktu lo jadi mbak Surti, gue capek banget. Bayangin gue disuruh belajar masak, ngejahit sampe ngerajut. Mana gue diceramahin mulu."Adira tertawa membayangkan. Sebenarnya tadi pagi-pagi sekali, ia mengecek kamera cctv yang ia pasang di rumah. Adira melihat Adila yang begitu kewalahan.
"Tapi gue ikut sakit waktu lo sayatin lengan," ucap Adila dengan sungguh. "Coba lihat, sakit gak?" sambungnya sambil meraih lengan Adira. Adira menarik lengannya kembali, tidak mau Adila melihatnya.
"Gue bikin lo kaget ya? Maaf."Lihat, bahkan Adira mengkhawatirkan orang lain daripada diriya sendiri yang jelas-jelas sedang tidak baik. Merasa Adila menatapnya tajam dengan tatapan yang tidak dapat diartikan, Adira merasa terpojokkan.
"Waktu itu gue bilang kan, moga lo gak ketemu kepribadian gue yang lain. Dan ya, itu alesannya. Gue khawatir waktu lo ketemu kepribadian Surti, lo bakal repot. Gue juga khawatir waktu lo ketemu kepribadian Shena, lo bakal kaget.""Surti, dia sosok bibi yang banyak bantu gue waktu kecil. Dia orangnya cerewet. Gue dulu diasuh sama dia, sampe gue hapal kebiasaanya pake daster dan hobi bikin masakan."
Bi Wati datang sambil membawa dua pesanan es krim. Adila memilih es krim sandwich, sedangkan Adira memilih es krim vanilla choco chips. Setelah mengucapkan terima kasih kepada bi Wati, keduanya kembali fokus pada cerita utama.
"Shena itu kakak angkat gue. Dia meninggal karena terlalu stress karena di-bully temen-temennya sampe sering lukain diinya sendiri. Waktu kecil, gue sering lihat dia cutting, makanya gue paling gak bisa kontrol kepribadian Shena karena dia selalu ke fisik."Adira memasukkan es krim ke dalam mulutnya terlebih dahulu untuk memberikan rasa tenang. Adila masih berkutat dengan pikirannya setelah mendengar cerita Adira barusan.
"Es krimnya gak mau? Gue makan nih," ujar Adira membuyarkan lamunan Adila.
"Bengong mulu lo daritadi. Awas kesambet beneran." Adila mendelik, lalu memakan es krimnya."Gue punya empat kepribadian lain, dan lo udah ketemu semuanya. Al, si anak kecil yang suka main robot. Itu karena gue pengen banget main robot tapi gak pernah kesampean dulu. Fero, kebalikan diri gue tapi sebenernya itu sifat gue waktu sendiri di rumah. Surti, mbak-mbak cerewet minta ampun karena gue diasuh dia dulu, dan Shena si putus asa alias kakak angkat gue. Gue bisa narik kesimpulan kalau kepribadian gue ini berhubungan sama masa lalu."
Mendengar penjelasan panjang yang disampaikan oleh Adira, Adila mengangguk paham karena bisa diterima oleh akalnya juga.
"Gue sering konseling online. Makanya gue bilang, gue gak pernah diperiksa langsung karena gue pikir konseling online udah cukup. Tadi pagi, abang minta gue buat pengobatan. Btw, lo udah ketemu dia semalem. Thanks ya, lo udah bilang soal gue ke dia. Tadi pagi juga, gue banyak numpahin keluh kesah gue selama ditinggal nenek dan hidup sendiri."Adila tersenyum lega, setidaknya ia bisa sedikit membantu.
"Sekarang, lo mendingan?"
"Berkat lo."Obrolan mereka pun berlanjut. Adira meminta Adila untuk giliran ia bercerita. Apa lagi yang ia ceritakan dengan menggebu-gebu jika bukan tentang sang kakak yang over segala-galanya? Adira juga meminta maaf bahwa ia sempat mengira Adila adalah playgirl karena terlihat bersama Malven dan juga Kenzie.
Adila sempat protes dengan ucapan Adira yang menyebutnya playgirl saat Adira memberinya jaket sewaktu membeli bakso malam itu. Memang, kita tidak berhak menilai apapun dari seseorang sebelum mengenalnya. Dan dengan mengenal gadis itu, beban yang dipikul Adira sedit berkurang hanya dengan bercerita kepadanya.
"Gue ada rencana, sekolah kita kan gak pernah akur tuh, gimana kalau nanti kita buat acara perpisahan bareng? Maksud gue, bukan yang formal dari sekolahnya, tapi kita buat semacam farewell party antar dua sekolah. Gue pengen, adik kelas kita tuh akur, jangan ada slek lagi."
"Wahh.. menarik juga tuh. Tapi gimana caranya?"
"Kalau lo tertarik, lo masuk tim gue. Lo jadi koordinator sekolah lo, gue jadi koordinator sekolah gue. Kita bikin kepanitiaan dari sekolah lo, juga gue. Jadi adil, dua-duanya juga terlibat. Untuk sistemnya gimana, kita perlu bahas ini lebih dalem lagi nanti. Gue baru kebayang intinya aja sih."
"Oke setuju."Hari itu pun mereka membuat mimpi baru, mimpi untuk menyatukan dua sekolah yang selalu bersaing dalam hal apapun untuk membuat suatu acara yang melibatkan keduanya, tentu dengan ego yang harus diturunkan oleh masing-masing sekolah. Semoga rencana itu bisa terwujud. Semoga.
Bersambung.

KAMU SEDANG MEMBACA
S E M E N J A N A ✔
Fiksi RemajaAdila, si bungsu yang memiliki kakak sister complex yang selalu menjaganya bagaikan satpam 24/7. Adira, si manusia rese yang selalu membuat Adila jengkel. Keduanya menjadi teman baik sejak Adira bercerita banyak mengenai dirinya yang memiliki keprib...