Mendengar cerita Adira, hati Malven sedikit tercubit. Begitu berat beban yang dipikul oleh teman adiknya itu hingga hidupnya penuh dengan luka. Seharusnya Malven tidak perlu marah saat adiknya dekat Adira, bukankah Adila bilang hanya ingin membantunya untuk setidaknya merasa lebih baik?
“Sorry ya, Di. Gue gak tau sebegitu banyak beban yang lo pikul. Kalau lo bilang dari awal, mungkin gue bisa jadi abang buat lo. Kalau lo ada perlu apa-apa, jangan sungkan bilang ke gue atau Dila ya.”Adira tersenyum jahil.
“Seriusan bang?” Malven merasa Adira hampir mirip dengan adiknya. Selain nama, sifat menyebalkannya pun sama.
“Iya. Tapi lo jangan modus ke adek gue. Awas lo, ya!”Sejak hari itu, Adira merasa mempunyai kakak –lagi. Malven sering datang menemani Adila ketika berkunjung ke rumah Adira, bahkan sesekali Malven pun mengantar Adira untuk terapi. Semua itu Malven lakukan berkat rasa pedulinya. Malven merasakan bahwa tinggal jauh dari orang tua sangatlah sulit, terlebih Adira yang tidak mempunyai satu orang pun di sampingnya –selain Adila.
***
Saat menginjak kelas 12, banyak harapan yang digantungkan. Satu persatu mereka cicil agar tidak terasa berat. Baik Adila maupun Adira, keduanya rajin belajar untuk ujian nasional dan ujian masuk perguruan tinggi negeri.
Seperti biasa, kedai es krim bi Wati menjadi tempat multifungsi. Selain digunakan untuk belajar bersama, Adira meminta izin kepada bi Wati supaya mereka dapat mendiskusikan project-nya di kedai sana.
Pembentukan panitia sudah dilaksanakan sejak hari pertama masuk sekolah karena pada satu minggu pertama pembelajaran belum efektif. Oleh karena itu, Adira dan Adila memanfaatkannya dengan cara membuka sesi wawancara bagi siapapun yang berminat menjadi panitia.
Sebelumnya, informasi acara farewell party sudah ramai dibahas sejak Adila dan Adira mengunggah satu poster di media sosial. Ada beberapa orang yang tidak setuju, namun ternyata di luar dugaan banyak orang yang tertarik dan ingin bergabung menjadi panitia.
Adira menjadi ketua pelaksana sebab ia merupakan penggerak kegiatan tersebut juga otak di balik rencana kegiatan tersebut. Jumlah keseluruhan panitia adalah 32 orang dengan perbandingan yang sama antar sekolah. Sementara itu, Adila bertugas sebagai sekretaris yang akan mengurus dan membantu Adira dalam sebelum maupun saat pelaksanaan tiba.
Dengan kompak, masing-masing sekolah pun mengadakan dana usaha dengan menjual snack. Semua berjalan lancar serta mendapat banyak dukungan, termasuk dari kepala sekolah keduanya –walupun pada awalnya tidak diberi izin.
Berkat usaha Adira dan Adila yang meyakinkan masing-masing kepala sekolah, akhirnya diberi izin juga. Proposal untuk masing-masing sekolah pun sudah masuk. Iuran setiap siswa sudah digalakan terlebih dahulu untuk kegiatan amal.
Adira juga mengirimkan proposal kepada perusahaan milik teman kakaknya. Untung saja, kakak Adira memiliki relasi yang luas sehingga membuatnya lebih mudah untuk mencari sponsor.
***
Suara sepatu dari langkah seseorang membuat jantung anak kecil itu berdetak hebat. Ia masuk ke dalam lemari untuk bersembunyi agar tidak bertemu dengan si pemilik suara sepatu tersebut.
Sayang, persembunyiannya gagal sebab ia tidak bisa menahan bersin. Tak lama, pintu lemari terbuka, ia tidak bisa melihat jelas wajah pria dewasa yang ada di hadapannya. Dengan pakaian serba hitam, pria tersebut tampak menyeramkan.
Anak kecil itu menangis kala badannya ditarik keluar. Diteriaki sebab mamanya meninggal, dipukuli sebab menangis terlalu kencang, dan dicaci sebab kesalahan yang bahkan ia tidak tahu apa.
Adira memperhatikan dirinya di balik cermin. Ia bahkan takut melihat dirinya sendiri sebab bayang-bayang kejadian beberapa tahun silam selalu mengganggu pikirannya. Mamanya meninggal saat melahirkannya ke dunia, dan papanya membencinya sebab berpikir bahwa dirinya penyebab kepedihan itu semua.
Adira benci pada sosok ayahnya. Lebih tepatnya benci pada pemikiran ia pembunuh padahal ia diminta dilahirkan pun tidak.
Sampai saat ini, ia tidak pernah bertemu ayahnya lagi dan tidak akan mau bertemu lagi. Ia takut tangan sang ayah bukan merangkul, namun memukul. Dan ia juga takut presensi sang ayah bukannya menyembuhkan, namun kembali menebar garam di lukanya yang masih belum sembuh.
Bel rumah Adira berbunyi. Sepertinya ada tamu. Adira menuju ruang tamu untuk membukakan pintu. Senyum yang ia pasang, rupanya langsung menghilang saat melihat siapa orang dibalik pintu tersebut. Sang kakak dengan membawa kopernya serta seseorang yang paling tidak ingin ia temui justru tersenyum sambil menyapa.
Adira lari ke dalam kamarnya lalu mengunci pintu. Tidak menyapa sang kakak, apalagi orang di sampingnya.
“Adi, abang mau ngobrol sebentar.”Adira tidak bergeming. Abian mengayunkan gagang pintu yang ternyata tidak dikunci. Adira duduk di bawah sambil menyender pada ranjangnya.
“Adi…”Abian mengerjap ketika menyadari bukan Adira yang ada di hadapannya.
“Fero…”Benar saja, matanya merespon saat Abian menyebutkan nama Fero. Selama ini, Zefanya selalu melaporkan perkembangan Adira. Selain itu, Adila yang pernah memberinya tips untuk membedakan antar kepribadian Adira.
Abian tidak bisa berkutik. Ia melihat adiknya berlalu dengan sepeda motornya tanpa mengucapkan satu patah kata pun.
***
Sore itu, Adila tertawa sangat kencang saat mendengar Malven bercerita bahwa Kenzie pernah jatuh ke dalam got saat bermain layangan. Malven tak henti-hentinya memojokkan Kenzie dengan cerita konyolnya sebab ia terus menerus meledek Malven yang masih jomblo.
“Yang paling parah sih, si Ken pernah salah tepok orang. Dia kira emaknya pake daster, taunya orang gila yang nyolong daster emaknya pas lagi dijemur.”Lagi-lagi Adila dan Malven tertawa sangat keras, sedangkan Kenzie merelakan diri menjadi bahan tertawa kakak beradik itu.
“Konyol banget sih kak Ken. Pantesan langgeng banget temenan sama kak Malven. Sama-sama rada gesrek otaknya, masa waktu itu kak Malven mau ngerjain Dila pake teh manis tapi pake garem, eh dianya sendiri yang lupa gelas mana yang ada garemnya. Akhirnya dia minum sendiri teh asinnya,” ujar Adila sambil memasukkan pancake –yang dibuat Malven ke dalam mulutnya.
“Heh! Dila juga pernah ya salah masuk mobil orang. Dikiranya mobil papa, eh malah nyadar waktu di tengah jalan. Mana teriak-teriak mau diculik lagi. Malu-maluin!” balas Malven.Ketiganya sedang menertawakan kekonyolan masing-masing. Beberapa saat kemudian, pintu rumah Adila diketuk. Adila membukanya dan mendapati Adira yang mematung di sana –lebih tepatnya Fero.
“Gue boleh kan, nginep di sini?” ucapnya dengan sorot mata yang sangat rapuh.
“Fero?”Adila terkejut saat lelaki di hadapannya itu memeluknya sangat erat. Malven buru-buru memisahkan sang adik. Adila memberi kode kepada Malven bahwa itu bukanlah Adira, lantas mundur perlahan dan memberi kesempatan pada dua orang itu untuk bisa mengobrol. Kenzie dengan wajahnya yang bingung, lantas pamit untuk pulang karena harus menjemput kekasihnya.
***
Fero sudah menghabiskan satu gelas susu cokelat hangat yang dibuat Adila. Malven masih terdiam karena ia bingung harus berbuat apa. Selama ini, ia jarang sekali bertemu dengan kepribadian Fero.
Bersambung.

KAMU SEDANG MEMBACA
S E M E N J A N A ✔
Ficção AdolescenteAdila, si bungsu yang memiliki kakak sister complex yang selalu menjaganya bagaikan satpam 24/7. Adira, si manusia rese yang selalu membuat Adila jengkel. Keduanya menjadi teman baik sejak Adira bercerita banyak mengenai dirinya yang memiliki keprib...