13 : (Masih) Dia yang Lain

11 4 3
                                    

Cutting

Hari ketiga menghadapi kepribadian lain Adira yang bernama Surti, tentu sangat melelahkan. Setiap pulang sekolah, Adila menyempatkan diri untuk menemui 'mbak'-nya itu. Surti pernah mengancam bahwa jika Adila tidak menemuinya sepulang sekolah, ia akan mendatangi rumahnya. Padahal Adila tahu, Surti tidak mengetahui rumahnya, namun ia khawatir Surti akan mencarinya, mengingat kepribadian Surti yang cukup keras.

Saat ini Adila tengah menyirami bunga yang ada di halaman rumah, sedangkan Surti sedang sibuk membuat pancake –permintaan Adila. Rupanya walaupun Surti menyebalkan, tetapi Adila seperti mendapat kasih sayang dari kakak perempuan –walaupun wujudnya laki-laki.

Surti mengajarkan Adila banyak hal, mulai dari memasak, menjahit, merajut, hingga wejangan-wejangan lain sebagai perempuan. Adila heran, mengapa Adira belum kembali. Adila sedikit khawatir jika kepribadian Surti ini yang akan terus menguasai tubuh Adira.
"Dila, ini pancakenya udah mateng."
"Bentar, dikit lagi."

Adila menyimpan gembor di tempatnya kembali, lalu mencuci kedua tangannya. Dilihatnya pancake tersaji di meja ruang tamu bersama susu cokelat hangat. Pancake tersebut ditumpuk tiga bagian, di bagian atasnya terdapat selai blueberry yang merembes ke bawah serta tiga buah stroberi yang dipotong menjadi dua bagian.
"Mbak Surti!"

Sudah beberapa kali Adila memanggilnya, namun tak kunjung datang. Adila pun mencari keberadaan Surti. Perasaannya mengatakan, sepertinya kepribadian Surti telah pergi, namun anehnya Adira tidak menampakkan diri.

Adila membuka pintu kamar Adira, namun kosong, tidak ada di sananya. Pun dengan kamar sebelahnya yang ia yakini sebagai kamar bekas neneknya. Hanya kamar mandi yang belum ia cek.
"Adira, lo.. di dalem?" ucap Adila sedikit berteriak, namun tidak ada jawabannya.
"Adira..." Adila mencoba untuk membuka pintu kamar mandi. Rupanya tidak dikunci.

Betapa kagetnya saat ia melihat darah bercucuran di lantai kamar mandi. Adira duduk meringkuk di sudut kamar mandi dengan tangan yang memegang cutter, rambutnya basah dan masih memakai pakaian yang tadi.

Adila menghampiri untuk meraih lengan Adira. Dilihatnya bekas sayatan di bagian lengan kiri. Tiba-tiba Adira menarik lengannya kasar dan matanya menatap tidak suka.

Seseorang masuk ke dalam rumah sambil memanggil Adira. Ia membawa koper dan menyimpannya di ruang tamu. Merasa tidak ada yang menjawab, orang itu mengecek ke seluruh sudut rumah.

"Adi!"
Adila mengalihkan pandangannya ke arah pintu. Baik Adila maupun orang itu sama-sama kaget.

"Adi..."
Melihat darah yang bercucuran di lantai, wajah orang itu terlihat panik. Adira beranjak lalu memasuki kamar dan menguncinya. Orang itu menyusul dan berkali-kali mengetuk pintu kamar Adira sambil memanggil namanya.

Adila masih dalam mode kebingungan. Bingung dengan perubahan Adira yang ia yakini alter ego yang lain, dan bingung dengan siapa lelaki jangkung di hadapannya ini.
"Kamu siapa?" tanya orang itu ketika melihat Adila keluar dari kamar mandi setelah membersihkan darah yang bercucuran di lantai.
"Adila, temannya Adira. Kalau boleh tau, kakak ini siapa?"
"Saya Abian, kakak kandung Adira."
"Oh, maaf kak, saya tidak tau."
"Temannya Adira? Tapi kok seragamnya beda?"

Adila melihat seragam batik yang dipakainya. Jelas sang kakak tahu, itu bukanlah pakaian sekolah Adira melainkan seragam milik sekolah tetangga karena Abian merupakan alumni.
"Iya kak, saya beda sekolah." Abian mengangguk paham.
"Adira kenapa ya?"

Adila mengernyitkan dahinya, apakah kakaknya ini tidak tahu perihal penyakit sang adik? Jika benar, apakah hanya dirinya yang mengetahui semua hal mengenai rahasia Adira? Adila dihadapkan pada dua hal, memberitahu segalanya kepada Abian, atau diam menunggu Adira yang jujur sendiri terhadap kakaknya itu.
"Kak, boleh bicara sebentar?"

Kini Adila dan Abian duduk di ruang tamu. Sebenarnya Adila tidak ingin bercerita tanpa persetujuan Adira, namun melihat keadaan Adira barusan yang membuatnya semakin khawatir, sepertinya Adila harus menyampaikannya kepada Abian.
"Sebelumnya, apa Adira pernah punya trauma waktu dia kecil?"

Abian menghela napasnya. "Saya tidak terlalu dekat dengan dia. Saya dengan Adi beda 10 tahun. Waktu dia umur sembilan tahun, saya rantau ke Jogja karena kuliah di sana. Setelah lulus kuliah, saya pindah ke Jepang karena kerja."
"Menurut kakak, Adira orangnya gimana?"
"Justru karena saya kurang dekat dengan dia, setiap saya pulang ke sini, dia terlihat baik, kadang nyebelin juga. Saya tidak tau apakah dia selama tinggal sendiri itu memang baik-baik saja atau sebaliknya, tapi setelah saya lihat barusan, sepertinya adik saya sedang tidak baik."
"Adira sakit."
"Sakit?"
"Bukan fisiknya, tetapi maaf, kondisi jiwanya."

Jujur, Adila tidak tega memberitahu Abian mengenai apa yang dialami Adira. Ia hanya berharap, semoga dengan cara itu, Adira bisa diobati.
"Adira mengalami gangguan DID atau Dissociative Identity Disorder, biasa disebut alter ego. Adira kadang berubah kepribadian menjadi orang lain. Pancake ini, Adira yang buat, dengan kepribadian yang bernama Surti." Adila menatap pancake yang sudah dingin itu.
"Waktu itu, saya pernah ketemu Adira dengan kepribadian anak kecil yang bernama Al di taman bermain."
"Saya juga pernah bertemu dengan kepribadian bernama Fero yang dingin."
"Yang barusan kakak lihat, saya yakin itu kepribadian lain yang belum saya temui. Karena dari beberapa kepribadian Adira, baru kali ini dia lukai dirinya sendiri."

Merasa Abian diam saja, Adila mengalihkan pandangannya. Abian terlihat diam mematung tanpa ekspresi.
"Maaf kak, saya harus bilang ini. Saya harap kakak bisa bantu agar Adira bisa sembuh. Selama ini, dia tahan sakitnya sendiri. Adira memang periang, tapi kepribadian lain mengatakan tidak demikian."

Adila tidak tahu mengapa dadanya sakit saat harus menceritakan sisi kelemahan Adira. Tanpa disadari, Adira sudah berdiri di belakang mereka. Adira mengambil remot lalu menyalakan televisi.
"Adira," panggil Adila pelan.
"Gue Shena. Jangan sok kenal!"

Abian membulatkan matanya. Ia menatap Adila tidak percaya. Adila mengangguk memberikan tanda bahwa keadaan Adira memang seperti itu.
"Adira." Kini sang kakak memanggil.
"Shena. Gue Shena. Lo berdua budeg apa gimana?"

Shena yang berada di tubuh Adira terlihat kesal, ia mematikan televisinya lalu kembali ke kamar setelah membanting pintu dengan keras.
"Shena itu kakak angkatnya, tapi sudah meninggal," ujar Abian.
"Shena orangnya jutek banget, tapi pintar. Seinget saya dulu, Adira memang sering diasuh oleh Shena."

Dering ponsel Adila memutus percakapannya. Melihat nama Malven di layar ponselnya, Adila lantas menyadari bahwa jam menunjukkan pukul setengah tujuh dan hari mulai gelap.
"CEPET PULAAAAAANG!" Adila menjauhkan ponsel dari daun telinganya sebab teriakan Malven di seberang sana sangat keras.

Adila memutus sambungannya, padahal Malven belum sempat memberinya ceramah.

"Kak, saya harus pulang dulu, soalnya singa di rumah udah ngamuk. Untuk sekarang, kakak bersikap biasa saja, jangan pancing emosinya Adira –eh Shena, nanti dia juga bakal balik.

Sebelum pergi, Abian meminta kontak Adila agar mudah menanyakan hal-hal mengenai adiknya. Dengan senang hati, Adila memberikannya dan dalam hati ia berjanji akan membantu Adira agar sembuh.

Bersambung.

S E M E N J A N A ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang