22 : (Masih) Peduli

5 2 2
                                    

Fokus Adira teralihkan saat Ranti memanggil namanya. Rupanya tim satu sudah pulang dari panti asuhan. Ranti melaporkan kegiatannya berjalan lancar.
“Adila mana, Ti?”
“Dia lagi di UKS, telat makan kayaknya makanya pusing. Padahal tadi dia dateng agak siang dan dianter kak Malven, tumben banget dia gak sarapan dul–”

Adira segera bergegas menuju UKS sebelum Ranti menyelesaikan kalimatnya. Ia tahu itu adalah kesalahannya. Andai saja tadi pagi ia tidak merecokinya, pasti Adila akan baik-baik saja.

Saat Adira memasuki UKS, ia melihat Nesya sedang duduk di samping Adila sambil memijat pelipisnya.
“Dila gak apa-apa?” tanya Adira khawatir.
“Aman,” timpal Nesya karena Adila tidak menjawab.
“Lo mau gue bawain makan?” tawar Adira, namun tiba-tiba Ranti datang membawa roti kukus dan satu gelas susu cokelat hangat.
“Gue izin bentar ya, Di. Satu jam, abis itu balik kerja,” ucap Adila sambil mengambil roti kukus yang dibawa Ranti.
“Kalau sakit, jangan dipaksa. Lo istirahat aja. Masih banyak kok anak-anak lain yang bisa cover kerjaan lo.”
“Gak apa-apa. Lo balik aja ke sana mantau anak-anak yang lain, takutnya butuh bantuan lo.”

Adira tahu Adila mengusirnya secara halus. Ia mengangguk, lantas bergegas.
“Lagi marahan ya lo berdua?” tanya Ranti saat Adira sudah menghilang dari pandangannya. Adila hanya tersenyum kecil.

***

Setelah Adila merasa baikan, ia kembali melakukan tugasnya. Namun ada yang aneh, sekitar 6 orang panitia bergerombol di ruangan. Beberapa di antaranya saling berbisik yang membuat Adila penasaran apa yang terjadi.

Adila menerobos gerombolan itu dan menemukan Adira yang sedang duduk di lantai menekuk lututnya sambil memegang sebuah robot. Adila menggeleng tidak percaya orang itu berubah di waktu yang tidak tepat.
Adila menyejajarkan tubuhnya, lalu tangannya mengusap lutut Adira.
“KAKAK!”

Orang-orang yang ada di dalam ruang tersebut terlonjak kaget sebab kata yang diucapkan Adira. Mereka memundurkan langkahnya merasa takut dengan perubahan sikap Adira.
“Dil, Adira kesurupan?”

Merasa tersudutkan dan menjadi pusat perhatian, Adira menangis. Hal itu pun membuat mereka merasa takut.
“Dil, sumpah, dia kenapa? Kok nakutin sih?”
“Dia gak kesurupan kan?”
Guys, please, tenang, tolong jangan bilang apa-apa ke luar,” ucap Adila memohon sambil mengusap puncak kepala Adira untuk menenangkan.

Adila menelfon Malven untuk menjemput Adira agar bisa pulang. Untung saja Malven datang tidak lama. Adila pun mengambil alih posisi Adira sebagai penanggung jawab kegiatan untuk sisa hari itu.

Beberapa orang menodong Adila dengan sejumlah pertanyaan mengenai: Adira kenapa, penyakit Adira, hingga menyambungkannya dengan Adira yang sering izin tidak masuk sekolah.

Otaknya tidak bisa lagi berpikir, terlalu takut untuk resiko apa yang harus dia ambil.
“Dil, lo tau gak sih, Adira minta robot ke anak kecil, adiknya temen gue, sampe anak kecilnya nangis lho. Untung tadi Nesya bawa lollipop jadinya digantiin itu. Dia kenapa sih, Dil?” tanya Ranti saat mereka sedang mengambil jatah konsumsi.
Please, jangan bahas itu dulu.”

Pukul 5 sore hari, hampir semua stan makanan sudah berkemas. Seluruh panitia berkumpul untuk melakukan evaluasi kegiatan.

Semua berjalan lancar. Hanya ada miskomunikasi sedikit tadi antar panitia yang bertanggung jawab pada acara pembukaan, tetapi dapat diselesaikan dengan baik.

Beberapa orang memberikan masukan untuk kegiatan di hari esok. Semua menerima dengan baik.

“Saya mewakili Adira selaku ketua pelaksana kegiatan ini, mengucapkan banyak terimakasih untuk kalian yang sudah bekerja keras sehingga kegiatan di hari pertama berjalan lancar. Besok, puncaknya, mari kita sukseskan bersama.”

S E M E N J A N A ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang