12 : Dia yang Lain

10 4 4
                                    

Selesai menghabiskan makanannya, Adila dan Malven beranjak pulang.
"Dil, kok gak jadi sih? Padahal dia kan yang paling kakak percayain buat sama kamu," protes Malven saat baru saja membayar makanan yang mereka pesan.
"Ntar aja deh kak bahasnya."
"Hai, Dila." Adira berdiri tersenyum sambil memegang gitarnya.
"Hai!"
"Siapa ini?" tanya Malven agak keki.
"Adira, calon pacarnya Adila."

Teman-teman Adira bersorak mendengar kalimat yang diucapkannya, sedangkan Malven menatapnya tidak suka. Adira menarik kembali tangan yang ia ulurkan sebab Malven tidak menjabat tangannya. Adira memasang wajah yang menurut Adila menyebalkan –lagi dan sudah bisa memastikan bahwa lelaki itu benar dirinya.
“Adira, kenalin ini kak Malven, kakak gue.”
“Anjir, salah sangka si Adi.”
“Bukan temen gue.”
“Gue malu kalo jadi si Adi.” Teman-temannya tertawa mendengar penuturan Adila.

Adira melongo. Ia merutuki dirinya malu sebab tingkahnya barusan. Seharusnya ia tidak perlu bersikap seperti itu di hadapan kakak Adila, bukan? Bagaimana impresi terhadap dirinya padahal baru pertama kali bertemu.
“Maaf bang.” Adira menundukkan kepalanya sambil menempelkan dua telapak tangannya.
“Sorry ya, Adira. Gue duluan balik sebelum kakak gue berubah jadi singa.”

Adila menarik sang kakak untuk segera pulang. Sambil menatap punggung kakak beradik itu, Adira menyadari bahwa dirinya sudah salah paham. Ia pikir Malven sama seperti lelaki yang tempo lalu membawa Adila ke pasar malam.

***

Dil, sorry ya, kirain gebetan lo tadi.

Haha santai aja, bukan sekali lo begini. Waktu itu kan pernah juga ke temen kakak gue.

Cowok yang bawa lo ke pasar malem itu? Bukan gebetan lo?

Waktu itu sih. Dia temennya kak Malven btw.

Emang sekarang bukan gebetan?

Maksudnya?

Eh Senin lo udah sekolah? Balik nongki yuk, di bi Wati.

Gue balik jam 2. Tar gue langsung kesana.

Oke. Sampai ketemu nanti.

Adila menutup ponselnya setelah membaca pesan dari Adira, lalu menarik selimut dan memejamkan matanya.

Sementara di lain tempat, Adira masih menunggu pesannya dibalas, namun sepertinya orang di seberang sana sudah terlelap. Ia pun bergegas untuk pulang setelah berpamitan pada mas Jiwo dan dua temannya yang masih berada di sana.

***

Hari pertama masuk sekolah di tahun pelajaran baru tampaknya biasa saja. Para siswa hanya diminta untuk membersihkan kelas. Pembelajaran belum berjalan seperti biasa karena masih disibukkan dengan kegiatan orientasi siswa baru kelas 10.

Adila bersama Ranti dan Nesya duduk di koridor sambil melihat siswa baru sedang berbaris di lapangan dengan menggunakan topi seperti penyihir yang terbuat dari karton. Adila teringat tahun lalu saat dirinya mengikuti orientasi.

Saat itu, Malven yang banyak membantunya membuat beberapa peralatan dan mencarikan makanan dengan nama aneh yang menurut Adila sangat menyusahkan. Apa susahnya bilang membawa lima buah anggur daripada lima ungu bergayot? Apa susahnya bilang membawa dua potong semangka daripada dua sabit merah? Dan hal-hal lain yang sangat memusingkan.

Untung saja, Malven kenal dengan pengurus OSIS yang menjadi panitia orientasi saat itu, sehingga Malven dengan mudahnya bertanya.

Segerombolan siswa tiba-tiba berdiri menghalangi Adila dan teman-temannya. Sepertinya orang-orang itu pun sama, ingin melihat para siswa yang sedang orientasi. Entah untuk mengenang masa-masa orientasi mereka atau ingin tertawa di atas penderitaan adik kelasnya –yang dahulu pernah mereka rasakan.
“WOYY awas dong! Jangan ngehalangin!” teriak Adila sewot.

Ranti dan Nesya saling berpandangan menyadari bahwa sifat angkuh sahabatnya itu kumat.
“Biasa aja dong. Gak usah marah-marah!” balas salah satu siswa tak kalah sewot.
“Cabut deh. Malesin banget.” Adila berdiri dan meninggalkan koridor, sedangkan dua temannya mengikuti.

Biasanya di minggu pertama tahun pelajaran baru, masih belum kondusif. Adila yakin pembelajaran akan dimulai pekan depan. Ingat memiliki janji bersama Adira, ia mengirimkan pesan untuk bertanya apakah ia sudah belajar atau belum, walaupun sudah tahu pasti belum.

Sayang, pesannya tak kunjung dibalas setelah lima belas menit. Ranti sudah pulang terlebih dahulu, sedangkan Nesya mengikuti perkumpulan ekstrakurikuler angklung. Saat ini, Adila sudah berada di depan gerbang sekolah Adira yang terletak tepat di seberang sekolahnya.

Jangan tanyakan mengapa dua sekolah tersebut saling berdekatan bahkan berhadapan. Akibatnya, terkadang siswa dari kedua sekolah tersebut terlibat pertikaian. Dari segi prestasi pun keduanya saling bersaing untuk membuktikan siapa yang terbaik. Maka saat pertama kali Adila bertemu Adira di kedai, Adira sempat menyinggung prestasi sekolah.

Beberapa saat kemudian, dua orang siswa keluar sambil memperhatikan Adila. Adila samar-samar pernah melihat dua orang itu.
“Calon pacarnya Adira?”

Adila ingat, mereka adalah teman Adira yang malam itu ada di warkop mas Jiwo.
“Cari Adi, ya?” Adila mengangguk sambil tersenyum canggung.
“Dia gak masuk dan gak ada kabar juga. Udah biasa sih, dia sering sakit makanya kadang ngilang. Tapi gue gak tau sakit apa karena dia gak pernah cerita. Oh iya, gue Dio, temen sekelas Adi yang kemaren nongkrong di mas Jiwo.”
“Gue Dika.”
Keduanya bersalaman dengan Adila.
“Adila.”
“Udah tau. Kan calon pacarnya Adira,” ujar Dika sambil terkekeh mengingat kalimat yang diucapkan Adira malam itu.
“Nama lo sama Adi mirip haha, enak diledekinnya.”

Adila tersenyum malu. Ia berterima kasih sudah diberi informasi bahwa Adira tidak masuk. Daripada menanggung malu lagi, Adila pun pamit.

***

Di sinilah Adila, berdiri di depan rumah Adira disambut oleh banyak tumbuhan yang terawat. Adila mengetuk pintu sambil memanggil namanya. Tidak ada sahutan, Adila menempelkan telinganya ke pintu untuk mendengar apakah di dalamnya ada suara atau tidak. Terdengar suara televisi yang menyala. Sekali lagi Adila memanggil Adira dengan keras.

Kemudian dibukalah pintu yang membuat Adila kaget saat melihat orang di hadapannya menggunakan daster bermotif bunga. Adila menelan ludanya, sudah dipastikan itu bukanlah Adira dan ia pun belum pernah bertemu kepribadian seperti ini.
“Mbak, kalau mau bertamu tuh yang bener! Bukannya teriak-teriak. Lihat ini, nih bel bisa dipencet!” Tangannya memencet bel untuk mengajarkannya pada Adila. Adila merutuki dirinya karena tidak menyadari ada bel di sana.
“Maaf, Anda siapa ya?”

***

Jantung Adila hampir copot. Sedari tadi kepribadian yang saat ini menguasai Adira sangatlah repot. Karakter ibu-ibu muda dengan mulut yang cerewet benar-benar tidak pernah Adila bayangkan. Saat mengenalkan dirinya sebagai Surti, Adila ditarik untuk membantunya memasak. Padahal, saat di rumah saja, ia jarang sekali memasak –selain mi instan dan air.

Maka Surti menceramahinya dengan dalih perempuan harus bisa masak.
Benar saja, masakan Surti sangat enak. Adila tidak menyangka bahwa Adira bisa memasak dengan enak seperti itu –walaupun tahu itu Surti.

Niat memakan es krim di bi Wati pun menjadi ajang keputrian bagi Adila. Surti benar-benar bertingkah layaknya seorang ibu yang ingin anak gadisnya pintar segala hal. Bahu Adila terasa pegal sebab setelah ajang masak-masak selesai, ia diharuskan ikut merajut.
“Perempuan harus bisa bersih-bersih rumah, masak, ngurus anak, bahkan ngerajut pun harus bisa. Saya kalau punya anak nanti, harus diajarin cara masak yang enak biar–“
“Berisik deh, mbak. Lagian saya gak mau dapet suami yang bisanya nyuruh-nyuruh doang. Pekerjaan rumah tuh dilakuin bareng-bareng. Kalau mau cari yang bisa bersih-bersih, bisa masak, bisa ngurus anak, cari pembantu aja.”

Surti terdiam. Adila jadi takut.
"Tuh mulut gak di sekolahin? Kalo saya punya anak—"
"Udah dong, mbak. Saya kan bukan anak mbak. Ngomel-ngomel mulu kapan selesainya?"

Mungkin saat itu maksud Adira jangan pernah bertemu kepribadian lain adalah kepribadian Surti ini. Jujur saja, Adila ingin segera pulang dan membaringkan tubuhnya.
"Eh tadi nama kamu siapa, anak muda?"
"Adila, mbak."
"Bisa joget Tiktok?"

Astaga, apa lagi ini? Adila menggelengkan kepalanya cepat. Bisakah Adira kembali sekarang juga? Ia tidak kuat.
"Nanya doang sih. Saya suka banget nontonin video Tiktok."
"Gak nanya!!!"
"Dih. Saya kan ngasih tau doang!"
"Bodo amat!!!"

Bersambung

S E M E N J A N A ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang