09 : Teman

12 5 0
                                    

Selama satu semester terakhir ini, Malven berusaha untuk menggiatkan dirinya agar bisa lulus, minimal dengan nilai yang cukup. Tidak apa-apa tidak menjadi yang terbaik, setidaknya ia bisa dibilang cukup baik.

Adila sangat senang ketika hari itu Malven selesai melaksanakan ujian nasional. Ia seperti mendapatkan sebuah kebebasan. Bayangkan, selama hampir satu tahun ini, ia terus dikekang oleh sang kakak, bahkan temannya bilang, dijaga satpam 24/7 alias setiap hari dari bangun hingga tidur lagi.

Mengenai Adira, Adila hanya sesekali menemuinya. Entah kenapa jadi sangat jarang, berbeda saat awal mereka saling kenal. Adila sedikit khawatir jika kondisi Adira semakin parah karena menurut bi Wati, Adira terkesan selalu menghindari orang-orang ketika kepribadian lain menguasainya.

Adira ketika menjadi Fero masih pergi ke sekolah, namun ia akan banyak diam dan tidur di kelas, karena sebenarnya Fero sama dengannya, sama-sama anak SMA hanya saja sifat yang berlawanan.

Teman-temannya memaklumi jika Adira menjadi pendiam. Saat pertama kali menyadari dirinya berubah, Adira meminta temannya untuk tidak bertanya apapun kepadanya. Untung saja, teman-temannya itu tidak ada yang curiga sedikut pun. Mereka hanya berpikir Adira sedang banyak masalah jika terlalu banyak diam.Wali kelasnya tahu mengenai penyakitnya itu karena Adira sendiri yang datang untuk meminta tolong.

***

Rupanya hasil belajar sungguh-sungguhnya tidak mengkhianati, Adila mendapatkan nilai yang memuaskan saat ujian kenaikan kelas. Pada saat pembagian rapor pun ia sangat bersyukur mendapatkan peringkat pertama.

Libur semester hari pertamanya, ia sangat bosan di rumah, pasalnya Malven sedang mengikuti ujian masuk PTN. Sedari pagi, tidak ada yang memberinya makan, Adila pun keluar untuk membeli nasi dan lauknya di warteg.

Saat melewati taman bermain sepulangnya dari warteg, Adila melihat Adira sedang duduk di ayunan. Tumben sekali. Ia pun menghampiri.
“Kakak!”

Adila membulatkan matanya saat Adira memanggilnya. Barusan apa? Kakak? Jangan-jangan, ia bukan Adira. Adila bingung harus berbuat apa.
“Kakak, tolong benerin robot aku, rusak!”

Adila melongo sambil melihat Adira yang memegang robot yang kepalanya sudah terputus. Ini siapa? Sumpah, Adila belum pernah berhadapan langsung dengan kepribadian Adira yang ini.
“Kakak budeg! Benerin ini dong! Masa gak bisa?”

Sekali lagi, Adila mengumpat. Bisa-bisanya saat menjadi orang lain, sifat menyebalkan Adira masih ada.
Untungnya robot tersebut masih bisa diperbaiki, sehingga kepalanya bisa menyambung kembali. Sesekali Adila melihat orang di hadapannya itu yang sedang fokus melihat bagaimana robot miliknya diperbaiki.
"Nih, selesai."
"Asikkk, makasih ya kakak cantik!"
"Nama kamu siapa?"
"Aku Al kak."

Akhirnya Adila tahu bahwa bayi besar di hadapannya itu bernama Al, kepribadian lain yang dimiliki Adira. Rupanya menurut artikel yang ia baca di internet benar, jika kepribadian lain sedang menguasai penderitanya, ia akan lupa segalanya termasuk nama dan usia.
"Al, kamu gak pulang?"
"Ngapain? Aku aja gak punya temen."
"Nanti mama papa kamu nyari, lho."
"Aku aja gak punya mama papa."
"Kamu... tinggal sendiri?"
"Iya. Anak laki-laki kan harus berani."

Adila sedikit tertohok mendengarnya. Selama ia mengenal Adira, belum pernah ia berbicara mengenai kehidupan pribadinya. Ah, jangankan bercerita tentang itu, setiap bertemu saja Adila selalu marah-marah perihal Adira yang selalu rese.
"Kakak temenin aku main, yuk?"
"Hah? Engga deh. Kakak mau pulang."
"Semuanya aja ninggalin Al."

Adila merasa bersalah ketika ia lihat Al melipat tangannya sambil menundukkan kepalanya sedangkan bibirnya mengkerut ke bawah. Adila merasa tidak enak hati.
"Ya udah deh, kakak temenin. Tapi kakak makan dulu nanti"
"Okeee."

Adila tidak tahu kepribadian Adira ini usia berapa, tapi ia bisa merasakan bahwa kepribadian anak laki-laki sedang menguasai tubuh Adira. Mendengar ia tinggal sendiri membuat Adila merasa kasihan.

Al menuntun tangan Adila. Tubuh Al yang jauh lebih besar membuat Adila tertawa kecil. Dibawanya Adila ke sebuah rumah yang tidak jauh dari taman bermain. Rumah itu tidaklah besar, hanya satu lantai yang terdiri dari 2 kamar tidur, ruang tamu, kamar mandi dan dapur. Halamannya begitu banyak ditumbuhi berbagai jenis bunga. Di pinggir rumahnya terdapat pohon mangga yang belum berbuah. Jujur saja, Adila terpukau dengan rumah Adira yang terawat.

Setelah masuk, Adila meminta izin untuk meminjam piring dan sendok untuk memakan nasi yang ia beli di warteg tadi.
"Kamu umur berapa tahun?"
Al melihat jarinya, lalu menghitungnya. "Enam!"
Adila tertawa ketika Al mengacungkan lima jari saja.
"Kamu udah makan?" Al menggeleng.
"Makan berdua yuk!" Al mengangguk.

Adila sudah mengira bahwa Al belum makan, sama seperti dirinya juga. Al sangat lahap sehingga Adila hanya mendapat sedikit saja. Tidak masalah. Bayi besar di hadapannya itu sudah melewati banyak hal.

Makanan sudah habis, Al menyodorkan satu kardus yang berisi mainan kepada Adila. Dengan muka yang memelas, Al meminta Adila untuk menemaninya bermain. Adila pun menyetujui.

Dua jam bermain, akhirnya tenaga bayi besar itu habis. Ia tertidur di atas karpet sambil tengkurap. Adila tidak tega membangunkannya.

Sementara itu, Malven barusaja pulang selepas ia mengikuti ujian masuk PTN. Kepalanya terasa panas karena soal yang jumlahnya ratusan itu terasa amat menyakiti kepalanya.
Malven berteriak memanggil Adila untuk memberinya pancake yang ia beli di pinggir jalan, tapi Adila tidak menyahut. Malven pun memasukkan pancake tersebut ke dalam kulkas. Ia tidak tahu jika adiknya tidak ada di rumah.

Untuk mendinginkan kepalanya, Malven mengguyur kepalanya di bawah shower. Setidaknya pusing di kepalanya hilang bersamaan dengan air yang berjatuhan.

***

Pukul 5 sore, suara tahu bulat dadakan membangunkan Adila dari tidurnya. Ia menguap cukup lebar sambil merentangkan tangannya. Matanya belum terbuka. Terdengar kekehan kecil. Adila membuka matanya dan mendapati Adira –maksudnya Al sedang memperhatikannya.
"Al, sorry, kakak ketiduran-"
"Iya, gak apa-apa kakak. Mau dilanjut sampe besok pagi?"

Adila membulatkan matanya. Tidak mungkin Al berbicara seperti itu, bukan? Jangan jangan, si manusia rese sudah kembali.
"Lo?" Adila buru-buru berdiri sambil merapikan rambutnya yang acak-acakan.
"Makasih ya, udah jagain Al."

Lagi-lagi Adila dibuat bingung. Sebenarnya yang ada di hadapannya ini sosok siapa?
"Gue Adira, lo jangan takut begitu. Gue gak akan gigit kok."

Sejak sore itu, Adila berjanji akan menjadi pendengar yang baik untuk Adira. Mendengar ceritanya membuat Adila merasakan sesak di dada. Bukan tanpa alasan, Adila pikir Adira adalah manusia paling rese yang selalu membuatnya kesal, nyatanya Adira hanya sedang berlindung di balik topengnya.

Adira bukanlah orang yang bisa seenaknya saja bercerita, semenjak kepergian sang nenek, ia tidak pernah bercerita kepada siapapun, termasuk kepribadian ganda yang ia idap selama 6 bulan terakhir.

Awalnya Adira tidak tahu bahwa ada orang lain yang hidup di dalam tubuhnya, hingga beberapa orang mengatakan ada yang berbeda dalam diri Adira. Saat itu, ia membeli cctv dan memasangnya di bebedapa sudut rumahnya. Dari sanalah semuanya terkuak.

Tidak ada yang tahu satu secara pasti satu orang pun, termasuk kakaknya. Hanya beberapa yang tahu sedikit itu pun hanya tahu bahwa Adira kadang berubah, di antaranya adalah wali kelasnya dan bi Wati.  Adira memendamnya sendiri. Ia berpikir kepribadian lainnya masih dapat ia kuasai. Hingga akhirnya, Adila mengetahui banyak tentangnya setelah Adira menjelaskan semua.
"Sebenernya, gue pernah ketemu lo, di diri yang lain."
"Kapan? Ketemu siapa?"
"Fero, sekitar satu atau dua bulan yang lalu."
"Lo diapain sama dia?"
"Disebut cewek aneh, soalnya gue nyapa lo, tapi lo kacangin gue, akhirnya gue gebrak tuh meja. Kebetulan bi Wati lihat, dia bilang kalo lo punya kepribadian ganda."
"Kok lo gak bilang? Atau lo ga ngerasa takut?"
"Awalnya sih agak waswas tiap ketemu lo, tapi tiap ketemu lo-nya ngeselin. Jadi ya udah dipastiin itu lo yang asli."
Adira tertawa.
"Dil, gue minta, lo jangan bilang-bilang ke yang lain ya?"
"Santai aja kali. Gue gak segampang itu nyebarin cerita orang, lagian mau disebar gimana orang gue gak kenal temen lo."
"Iya juga sih."
"Dira, kalau lo butuh temen cerita, gue siap buat dengerin, ya walaupun gue bukan pemberi nasihat yang baik, seenggaknya lo bisa lega."

Bersambung.

S E M E N J A N A ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang