19 : Trauma

7 3 2
                                    

Adila dan Malven memperhatikan tamunya yang sudah menghabiskan satu gelas susu cokelat. Dalam diamnya, Malven bingung harus berbuat apa. Selama ini, ia jarang sekali bertemu dengan kepribadian Fero.

Tiba-tiba Adila merasa bahwa orang yang di hadapannya itu sudah membaik. Ia bisa meihat bagaimana sorot matanya saat ini yang berbeda dengan kali pertama membuka pintu beberapa menit lalu.
“Adira,” panggil Adila pelan. Orang itu merespon sambil tersenyum kecil.
“Loh? Tadi katanya Fero? Gimana sih?” protes Malven yang tidak bisa membedakan setiap kepribadian Adira.
“Kalau matanya kayak gini, itu Adira. Kalau tadi kan rada nyeremin, itu Fero. Kalau judes, itu Shena. Kalau gemesin, itu Al. Kalau centil, itu Surti. Aww–“ ujar Adila yang tiba-tiba mendapat sentilan kecil di keningnya sebab menyebut kepribadian Adira centil.
“Sama aja matanya, gak ada beda-bedanya,” balas Malven pasrah karena masih tidak bisa membedakan.
“Kenapa? Ada masalah?” tanya Adila kepada Adira.
“Bokap gue dateng, bareng bang Abi.”

Adila tahu bahwa Adira sangat tidak menginginkan bertemu dengan sang ayah akibat lukanya di masa kecil. Malven hanya mengangguk sedikit mengerti sebab Adira pernah menceritakannya sekilas.
“Lo mau tidur di sini?” tanya Malven.
“Kalau boleh. Kalau enggak, ya gak apa-apa.”
“Lo tidur di kamar Dila aja. Dila tidur di kamar mama papa.”
Adira mengangguk. Ia sangat bersyukur Malven mengizinkannya untuk bermalam.

Layar ponsel Adila menyala. Ia mengecek satu pesan masuk dari Abian yang menanyakan perihal Adira.

Adira ke rumah kamu?

Iya kak, kayaknya nginep. Kakak besok pagi aja jemput, dia harus sekolah kan bentar lagi ujian.

Dia berubah?

Tadi sih kayak Fero pas dateng, tapi gak lama balik lagi ke dia yang asli.

Okee, jagain ya, Dil. Makasih banyak udah jadi safe place-nya adik saya.

Okay, kak. Santai aja hehe^^

***

Sudah tengah malam, namun Adila masih terjaga. Siang tadi dirinya tertidur cukup lama sehingga matanya masih segar walaupun beberapa menit lagi tanggal berganti. Kamar orang tuanya yang terletak di lantai bawah dan dekat dengan ruang tengah, membuat Adila beranjak untuk menonton siaran televisi —Walaupun ia tahu tidak ada tayangan menarik di tengah malam seperti ini.

Akhirnya ia memilih untuk menonton tayangan Netflix mengingat ada serial drama yang sedang ia ikuti.

Merasa ada suara dari bawah, Adira beranjak untuk memastikan. Rupanya saat menuruni tangga, ia menemukan presensi Adila di depan televisi dengan selimut yang melilit tubuhnya.
“Belum tidur?”

Kepala Adila mengikuti sumber suara. Dilihatnya Adira di atas tangganya.
“Susah tidur, tadi tidur siang soalnya."

Adira pun menuruni tangga dan mendudukkan diri di samping Adila.
“Lo gak tidur?” tanya Adila yang dijawab dengan gelengan kepala.
“Kepala gue sakit banget. Kalau kayak gini biasanya gue jarang tidur, soalnya pas bangun makin parah sakitnya.”
“Sesakit itu ya?”
“Hmm.”
“Kenapa?”
“Apanya?”
“Kenapa bisa lo sesakit itu?”
“Mau tau?” Adila mengangguk. “Kalau lo dengerin gue, tar series-nya gak ditonton dong.”
“Sambil nonton sambil dengerin. Selama ini lo kalau cerita setengah-setengah, makanya ada beberapa hal yang bikin gue bingung.”
“Yaudah tanyain sekarang. Gue bakal jawab semampu gue.”

Ini kesempatan yang Adila tunggu-tunggu. Seharusnya ia gunakan kesempatan itu dengan baik, namun hati kecilnya berkata tidak. Bukankah dengan bertanya hal-hal seperti itu, malah membuat Adira membuka lukanya kembali?
“Kalau lo yang nanya, dengan senang hati gue jawab,” ucap Adira yang menyadari keraguan Adila untuk bertanya.
“Dulu, waktu lo masih kecil, apa ada hal yang bikin trauma?”

Adila bertanya dengan hati-hati, sedangkan yang ditanya sejenak terdiam.

“Kalau lo gak mau jawab, gak apa-apa. Gue–“
“Ada. Gue sering diperlakuin kasar sama bokap. Dipukul, dimarahin, dituduh jadi pembunuh nyokap karena gue yang bikin beliau meninggal waktu lahir."

Adila menatap lawan bicaranya dengan khawatir.
“Waktu gue lahir, nyokap meninggal. Gue pernah cerita ini deh ke lo, dulu. Inget gak ya?”
“Iya, inget.”
“Terus gue hidup sama abang, sama kak Shena juga. Waktu gue sendiri di rumah pas bang Abi sama kak Shena sekolah, bokap gue sering dateng dan kasarin gue. Apa ya? Anak kecil diperlakuin gitu kan gak seharusnya dan malah jadi trauma. Gue juga dulu takut banget buat cerita ke bang Abi atau kak Shena. Makanya, itu ngaruh ke mental gue sampe sekarang.”

"Kata psikiater, gue punya kepribadian lain itu sebagai pertahanan diri. Tapi jujur ya Dil, di beberapa waktu malah gue kalah sama diri sendiri. Gue gak ngerasa lagi mertahanin diri gue. Kadang hilang arah, gak tau mesti ngapain."

Adila merentangkan selimutnya agar bisa berbagi selimutnya sedikitnya dapat menghangatkan tubuh Adira. Adira menggeser tubuhnya menyesuaikan.
“Waktu gue masuk SD, bang Abi pindah ke Jogja karena kuliah di sana. Akhirnya nenek yang jagain gue sama kak Shena. Bokap gue jarang dateng lagi ke rumah, ya paling sesekali sih. Nenek gue bilang, sekasar apapun perlakuan bokap ke gue, jangan sampe gue benci. Tapi sayangnya, gue malah benci banget ke bokap gue sendiri. Dia yang udah bikin gue jadi kayak gini.”

Sedikitnya beberapa kebingungan Adila terpecahkan. Terkait trauma yang disebutkan Zefanya beberapa waktu lalu, mungkin inilah yang dimaksud.
“Gue gak bisa ngasih semangat terus ke lo, Di, karena gue tau bukan kata semangat yang lo butuhin saat ini. Gue cuma pengen bilang, gak apa-apa kalau lo ngerasa sakit, ngerasa capek, ngerasa kalau hidup ini gak adil. Orang lain gak akan ngerti apa yang lo rasain. Jadi, gue cuma berharap, lo selalu bisa lewatin semuanya. Lewatin rasa sakit dan rasa capek itu. Suatu saat nanti, gue yakin, lo bakal nemuin bahagia lo.”
“Kalau bahagia gue itu lo, gimana?”
“Berarti lo jangan bikin gue kecewa.”

Adira terdiam mendengar jawaban Adila yang tidak ia sangka.
“Boleh gue minta sesuatu?” tanya Adira sambil memutar tubuhnya menghadap Adila.
“Apa?”
“Gue mau coba ini,” ujar Adira sambil menyentuh bibir Adila dengan jempolnya.

Tatapan Adira yang cukup tajam dan jelas terlihat akibat cahaya televisi –walaupun lampu dimatikan, membuat jantung Adila berdetak lebih kencang. Ia kaget dengan permintaan Adira yang tiba-tiba. Entah perasaan dari mana, ia mengangguk ragu-ragu.

Adira pun mendekatkan kepalanya. Ia mengecup jempolnya sendiri yang masih menempel pada bibir Adila. Adila menutup matanya terkejut.

Hanya beberapa detik, Adira melepasnya. Ia tidak benar-benar merasakan bibir gadis itu karena sengaja ia halangi dengan jempolnya sendiri. Adila merasa canggung, ia menyibukkan diri dengan kembali fokus pada layar televisi yang sedari tadi tidak fokus ia tonton.
“Sekarang dihalangi dulu, ntar langsung,” bisik Adira yang membuat pipi Adila menahan panas sebab malu.

***

Malven turun dari tangga dengan handuk yang digantungkan di lehernya. Matanya melotot saat melihat Adira dan adiknya tertidur di sofa dengan keadaan Adila yang menyender di bahu Adira, sedangkan Adira menjadikan tangan kirinya menjadi tumpuan kepalanya. 
“WOYYY!!!! Bangun lo berdua! Ngapain tidur di sini HAH?”

Adila mengerjap sambil melihat sang kakak yang sudah bertanduk akibat marah, sedangkan Adira menggosok matanya sambil menguap.
“Eh, bang…” suara beratnya khas bangun tidur menyapa gendang telinga Malven.
“Heh bedul!!! Kenapa lo tidur di sini bareng adek gue?” tanya Malven tidak sabar.
“Ketiduran kak. Kita begadang nonton semalem soalnya susah tidur,” bela Adila.
“Bener? Gak ngapa-ngapain?” tanya Malven.
“Iya bang. Nonton film doang, santuy,” jawab Adira. Malven melirik keduanya bergantian. “Kalau ngapa-ngapain masa di sini sih bang? Gak mungkin kan?” sambung Adira yang mendapat pelototan tajam dari Malven.
“Heh? Maksud lo?"
“Canda bang. Santuy.”

Saat manik matanya bertemu, baik Adira maupun Adila, keduanya sama-sama canggung sebab kejadian semalam. Untuk membuang rasa canggung tersebut, Adira tersenyum jahil ke arah Adila sebelum menaiki tangga dan berlagak seolah tidak terjadi apa-apa.
"Heh bedul!!! Lo banyak tingkah banget sih. Cepet mandi sana!"

Adila memijat keningnya sambil memikirkan bagaimana nanti agar dirinya tidak merasa canggung. Baginya, kejadian malam tadi sungguh memalukan.

Bersambung.

S E M E N J A N A ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang