Adira Virendra Reynand, begitulah nama lengkapnya. Adira dikenal pribadi yang menyenangkan. Tidak memiliki teman dekat, namun banyak orang yang menyukai sifatnya. Cerdas, sopan, dan selalu membawa virus bahagia bagi sekelilingnya.
Prestasinya yang menggunung dan bakatnya dalam bermusik membuat tak sedikit kaum hawa terpesona olehnya. Adira juga terkenal dengan wajahnya yang terlihat lebih muda, atau yang biasa disebut babyface.
Sejak kecil, ia tinggal bersama sang nenek. Ibunya meninggal saat melahirkannya dan sang ayah memilih untuk meninggalkannya. Bukan tanpa alasan, ia selalu dituduh sebagai penyebab istrinya meninggal dunia. Adira mempunyai seorang kakak laki-laki yang kini sedang bekerja di Jepang. Sayangnya, satu tahun yang lalu, neneknya meninggal. Dengan terpaksa, ia kini tinggal sendiri. Perihal kebutuhannya sehari-hari, setiap bulan kakaknya selalu mengiriminya uang yang lebih dari cukup. Ia hanya bertemu satu tahun sekali bersama sang kakak saat liburan akhir tahun saja.
Adira memang mandiri, namun ada satu hal yang membuat dirinya takut. Takut jika hal itu terjadi, takut jika rahasia terbesarnya diketahui orang banyak, dan takut jika orang-orang yang menyayanginya berbalik menjadi takut kepadanya atau bahkan membencinya. Maka dari itu, ia selalu berusaha membawa virus bahagia bagi sekelilingnya, dan jika kondisinya tidak memungkinkan, lelaki yang hobi bermain gitar itu selalu mengasingkan diri ke tempat yang sunyi.
Malam ini Adira tidak sabar untuk menemui gadis yang tadi siang memakinya. Ketika langit berganti gelap, Adira bergegas menuju ke warkop Mas Jiwo. Adira berjalan santai sambil bersiul. Adila yang melihatnya dari kejauhan merasa aneh melihat tingkah si manusia rese itu.
"Cie.. udah nungguin dari tadi, ya?" ujar Adira sambil menaikturunkan alisnya. Adila hanya mendengus sebal.
"Lama amat sih lo! Cepet deh mana siniin gelang gue!"
"Gelang apa sih?" tanya Adira santai yang membuat Adila geram. Dia mengepalkan tangannya, ingin sekali menghajar cowok itu.
"Kamu cantik deh kalau lagi marah."
"Bener ya lo emang rese kuadrat."
"Anak ipa ya? Pake bawa bawa kuadrat segala."Cukup sudah kesabaran Adila. Tanpa berpikir panjang, Adila bergegas dari tempat itu. Namun tangan Adira menahannya. Sebenarnya Adira bukan tipe orang yang hobi menggoda, namun sifat Adila yang selalu marah-marah membuatnya ketagihan untuk terus menggoda gadis itu.
"Mau ke mana?" tanya Adira.
"BALIK!"
"Pacarnya marah ya?"
"Pacar apaan?"
"Oh jomblo ternyata," ucap Adira sambil tersenyum sumringah.
"Lo cantik sih. Jadinya gue kira, lo udah ada yang punya," lanjutnya.Adila menggelengkan kepalanya. Terserah dirinya mau dibilang apa, yang jelas jika sudah berhadapan dengan manusia rese ini Adila harus menaikkan level kesabarannya.
"Bodo amat. Gue cabut. Bye!"
"Yakin gak mau ini?"Tangan kiri Adira mengeluarkan gelang dari dalam saku celananya. Sedangkan tangan kanannya masih menahan Adila.
Adila melirik ke arah tangannya lalu dengan satu sentakan, dia melepaskannya kasar.
"Apaan sih lo? Modus!"Adila berniat merebut gelangnya, namun dengan gerakan cepat, si manusia rese itu berhasil mengamankannya ke dalam saku celana.
"Jalan-jalan malem yuk."
"Ogah "
"Ya udah, pesen indomie?"
"Indomie goreng ayam geprek, saosnya yang banyak."Adira beranjak untuk menghampiri mas Jiwo yang sibuk dengan pesanannya. Malam itu, cukup banyak orang yang sekadar nongkrong atau mengisi perut dengan berbagai menu.
"Mas, indomie goreng ayam geprek satu, saosnya yang banyak. Indomie soto satu, buang aja pedesnya. Nutrisari dua ya."
"Siap mas Adira, ditunggu ya."Adira kembali duduk di pinggir Adila, namun ia diacuhkan. Gadis itu fokus menatap layar ponselnya.
"Kok diem aja, Dila?"
"Kok lo tau nama gue?" Adira memperlihatkan gelang milik Adila yang jelas sekali namanya di sana.
"Nama kita samaan lagi." Adila baru menyadari, dia belum tahu nama asli si manusia rese itu.
"Emang nama lo siapa?"
"Cie pengen tau nama gue?" Adila memejamkan matanya kesal. Sabar. Sabar. Adila mengelus dadanya berharap manusia ini sembuh dari penyakitnya.
"Adira," ucapnya. Adila memicingkan matanya.
"Itu beda. BE-DA!"
"Orang cadel bilangnya Adila lho."Merasa Adira lengah, tanpa berpikir panjang, Adila berhasil merebut gelang miliknya.
"Whatever! Thanks ya."***
Malven mondar-mandir di depan kamar Adila. Biasanya di jam seperti ini, adiknya itu selalu memintanya untuk membuatkan makanan.
Beberapa kali mengetuk pintu, namun seperti tidak ada Adila di sana. Malven coba membuka pintunya, namun terkunci.
"Dilaaa... Dil, kamu lagi ngapain? Udah tidur ya? Emang kamu gak laper? Biasanya kan selalu minta makan soalnya kamu busung lapar."Masih tak ada jawaban, Malven berbalik menuju kamar tidurnya. Mungkin benar, Adila sudah tidur, pikirnya.
***
Setelah makanannya habis, keduanya berjalan keluar dari warung kopi. Saat itu masih pukul sembilan.
"THANKS!" ucap Adila penuh penekanan.
"Apa? gak denger."
"Gue diajarin kakak gue buat selalu bilang makasih sama siapapun kalau dikasih sesuatu. Karena tadi lo udah bayarin gue makan, jadi MAKASIH!"
"Kapan-kapan, lo yang bayarin gue makan ya."Tiba-tiba seseorang berhenti di depan mereka berdua. Adila panik ketika orang itu membuka helmnya.
"Kak Ken?"
"Lagi ngapain, Dil? Malem-malem gini kok belum pulang?"
"Eum... I..tu..."
"Ini siapa?" tanya orang itu yang ternyata Kenzie.
"Adira. Calon pacarnya Adila."***
Bersambung.
![](https://img.wattpad.com/cover/106287035-288-k25677.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
S E M E N J A N A ✔
JugendliteraturAdila, si bungsu yang memiliki kakak sister complex yang selalu menjaganya bagaikan satpam 24/7. Adira, si manusia rese yang selalu membuat Adila jengkel. Keduanya menjadi teman baik sejak Adira bercerita banyak mengenai dirinya yang memiliki keprib...