11 : Maaf

15 4 4
                                    

Malven sadar bahwa apa yang ia kerjakan di tes masuk PTN kemarin tidaklah maksimal. Belum mendapat pengumuman saja, ia sudah pesimis. Untung saja, minggu yang lalu ia mengikuti Campus Fair yang diadakan oleh organisasi kesiswaan. Satu paper bag yang berisi brosur dari berbagai kampus swasta sedang ia lihat-lihat sambil membaca sebagian info penting yang tercetak dalam brosur tersebut.

Bukan hanya kampus swasta yang cukup dekat dengan rumahnya, melainkan kampus yang berada di luar kota, luar pulau hingga luar negeri. Beberapa kampus sedikit mencuri perhatiannya.
"Apa itu kak?" Adila menghampiri sang kakak yang sedang duduk di ruang tamu.
"Brosur kampus swasta. Kayaknya kakak mesti nyari dari sekarang deh soalnya gak yakin diterima di PTN."

Adila mendengar Malven yang bersuara dengan murung lantas mendudukkan dirinya di samping sang kakak lalu merengkuhnya dari samping. Adila meletakkan kepalanya di pundak sebelah kanan Malven, dan menepuk pundak kirinya dengan pelan untuk menenangkan.
"Gak apa-apa kak, sama aja kok mau di negeri atau swasta. Asal kakak yang bener aja kuliahnya."

Malven tertawa.
"Tumben manis gini, huh? Pasti ada sesuatu."
"Senin kan udah masuk sekolah, boleh ya izinin Dila main sama kak Ken sekarang?"
"Iya."

Iya? Tumben sekali biasanya Malven selalu melarangnya.
"Beneran?"
"Iya. Mau nonton kan? Ya udah sana. Kasian selama libur dua minggu gak kemana-mana. Tadi Ken udah ngasih tau juga."
"Asikkk. Makasih ya kak. Nanti pulangnya Dila beliin martabak kesukaannya kakak."
"Martabak?"
"Iya. Kakak kan suka minta kak Ken bawain martabak kalau bawa Dila jalan-jalan. Kirain Dila kak Ken ada apa-apa sama kakak."
"Yaelah, Dil. Dia kan sohib kakak. Lumayan kan rezeki jangan ditolak."
"Gak nyambung deh. Itu kan maunya kakak bukan kak Ken yang iklas."
"Wah Dila udah sampe mana sama si Ken? Wah dia sering sambatin kakak ya? Wah-"
"Apaan sih? Cuma chat biasa doang kok. Lagian kak Ken baik, enggak nyebelin macem kak Malven. Dah ah mau siap-siap, bye!"

Adila mengakhiri pembicaraan dengan Malven dan bergegas ke kamarnya untuk bersiap-siap karena Kenzie akan menjemputnya.

***

Pukul dua siang, Kenzie sudah berada di depan rumahnya. Adila menyambar tas selempangnya ketika suara Malven menggelegar dari bawah memanggil namanya.

Malven memperhatikan wajah sang adik ketika barusaja turun dari tangga. Matanya memperhatikan penampilan dari ujung kepala hingga ujung kaki. Tumben sekali adiknya itu menggunakan dress selutut dan memoles wajahnya dengan make up.
"Nge-date nih?"

Adila merasa pipinya merona sebab pertanyaan Malven.
"Emang rela adiknya nge-date sama cowok lain?"
"Sebenernya enggak sih. Cuma kakak liat kamu lebih seneng aja kalo sama Kenzie."
"Dila cocok gak sih kak pake dress ini? Soalnya baru pertama Dila pake. Ini dikirim sama mama bulan lalu."
"Cocok. Cantik banget malah."

Adila tersenyum lalu memeluk sang kakak.
"Dila pergi dulu ya kak. Kakak cari cewek dong biar ada gandengan," bisiknya.

Malven tahu, sifat menyebalkan adiknya itu pasti berasal dari dirinya yang selalu bersikap menyebalkan juga. Malven pun menuju teras untuk memastikan adiknya itu bersama sahabatnya.
"Duluan, Ven!"
"Yo!"

Satu hal yang Malven rasakan, adiknya kini sudah tumbuh besar. Jika dipikir-pikir, selama ini ia selalu bersikap mengatur dan selalu mewaspadai sang adik. Maka mulai saat ini, ia akan mencoba untuk bersikap layaknya seorang kakak yang menjaga adiknya dengan wajar. Tidak mencampuri urusan pribadi, apalagi melarang ini itu. Ia yakin, bahwa Adila sudah besar dan tahu mana yang salah juga benar.

***

Setelah penayangan film selesai, Adila ke toilet terlebih dahulu, sedangkan Kenzie menunggu di luar. Di dalam toilet, Adila kembali memoleskan bedak di wajahnya dan pewarna bibir agar tidak terlihat pucat.

S E M E N J A N A ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang