03 : Pede Gila

72 13 0
                                    

Sebuah pesan singkat masuk ke dalam ponselnya, Malven membukanya cepat. Senyumnya merekah bak model iklan pasta gigi. Bacaan yang ia komat-kamitkan beberapa saat yang lalu ternyata langsung terkabul.
'Kakak ipar, izin ya buat nganterin adek kesayangan lo pulang.'

Syukurlah, Malven bernapas lega.
'Iye. Tapi jangan lupa sesuatu.'
Pesannya gagal dikirim berkali-kali. Malven menepuk jidatnya.
"Gue kan kagak punya pulsa. Mana kuota internet gue habis," umpatnya.

Tak lama satu pesan masuk tertera lagi di ponselnya.
'Tenang. Gue bakal penuhin mau lo'

Yes! Malven bersorak senang. Sahabatnya itu sangat pengertian. Ketika Malven tidak bisa membalas pesannya, Kenzie tahu apa yang diinginkannya.

***

'Dasar cowok gak peka! Gara-gara kak Malven nih pasti, gak ada yang mau deketin gue! Pasti kak Kenzie takut kena semprot kak Malven.' Adila menggerutu dalam hati.

Langit saat itu sudah berwarna jingga. Adila mengumpulkan keberanian untuk menghubungi sang kakak. Sayang, ponselnya kehabisan daya. Adila berbalik melihat ke arah bengkel, namun matanya tidak menangkap sosok Kenzie di sana. Mukanya berubah masam. Dalam hatinya ia berharap ada keajaiban.

Saat melanjutkan langkahnya, suara klakson motor menyapa gendang telinganya.
"Hai, Dila."
"Kak Ken? Bukannya tadi kakak di bengkel ya?"
"Itu kan tadi. Lagian udah beberapa menit juga. Kak Ken pikir Dila udah nyampe rumah ternyata masih di sini."
"Iya kak, Dila jalannya lambat kayak siput. Gitu kan maksudnya mau ngeledek?"
"Haha ya udah naik yuk. Kakak anterin pulang."
"Tenang, kakak udah minta izin kok ke kakak ipar."
"Maksudnya?"
"Ayo naik. Malven udah izinin kok."

Memang, beberapa teman lawan jenis Adila yang kebetulan mengantarnya pulang, selalu diinterogasi oleh Malven. Biasanya setelah itu, mereka tidak ingin lagi mengantar Adila. Mereka bukan kapok, hanya saja berusaha untuk mengurangi resiko terhadap amukan kakak satu-satunya itu.

Dibonceng Kenzie membuat Adila terus-menerus mengulum senyum. Wangi jaketnya membuat nyaman. Ia candu menghirup aroma parfum yang entah apa merknya, namun Adila yakin itu parfum mahal karena sang kakak tidak pernah menggunakan parfum yang sewangi itu.

"Mampir dulu, kak?" tawar Adila saat mereka sampai.
"Boleh."

Kenzie mengambil sesuatu yang menggantung dari sepeda motornya. Sepertinya tadi ia sempat menghilang karena membeli makanan itu. Asyik! Adila tidak sabar memakannya. Kenzie tahu saja makanan favoritnya itu, pasti ia bertanya pada sang kakak mengingat Kenzie pun diberi izin oleh Malven untuk mengantarnya pulang.
"Rupanya, adek kesayangan kakak udah pulang."

Malven keluar menyapa dengan semangat. Syukurlah. Adila tidak dimarahi karena kabur meninggalkan Kenzie di sekolah tadi.
"Gimana?" tanya Malven pada Kenzie.
"Aman," timpal kak Kenzie. Adila dibuat bingung.
"Dila, masuk!"
"Tapi..."
"Udah cepet. Ganti baju jangan lupa mandi," titahnya.
'Tapi kan itu martabak kak Kenzie...,' batin Adila berteriak.
"Cepet!" Ah menyebalkan sekali. Adila pun memasuki rumah namun mengintip di celah jendela ruang tamu.

Adila melihat Malven mempersilakan Kenzie untuk duduk di kursi teras rumah. Sepasang sahabat itu sangat akrab.
"Ini, sesuai pesanan lo." Samar-samar Adila melihat Kenzie memberikan martabak itu.

Adila menutup mulutnya tak percaya. Jadi martabak yang dibawa kak Kenzie untuk kak Malven? Wah bahaya! Masa iya kak Kenzie suka sama kak Malven? Jangan-jangan kak Kenzie... Gak mungkin! Adila menggelengkan kepalanya untuk membuang jauh pikiran negatif yang menghampiri otaknya.

***

Keesokan harinya. Saat sarapan pagi, Tangan Adila sibuk memindahkan nasi goreng buatan Malven ke dalam mulutnya, sedangkan matanya menatap tajam pada kakaknya. Ia tidak bersuara, hanya ada suara dentingan sendok dan garpu dengan piringnya yang beradu. Merasa diperhatikan oleh sang adik, Malven balik menatap tajam Adila. Matanya ia buka lebar-lebar seperti sedang melotot.
"Naksir ya? Ngelihatin terus," ujar Malven. Adila mendengus sebal.
"Kak, penyakit aneh kakak bisa nular?" Pertanyaan konyol dilontarkan Adila.
"Penyakit apa sih? Kakak sehat-sehat aja kok." Malven menetralkan matanya. Perih juga ia melotot lebar-lebar.
"Terus kak Kenzie gimana?" tanya Adila tak sabar.
"Dia sehat kok," timpal Malven seadanya.
"Huft... nasib-nasib, punya kakak telminya ya ampun."

Adila mengambil gelas, lalu meneguk air di dalamnya.  Daripada ia naik darah pagi-pagi, lebih baik Adila melanjutkan sarapannya.

Karena Malven yang membuat nasi goreng, maka Adila bertugas untuk mencuci piring dan gelas. Malven keluar untuk memanaskan sepeda motornya. Selesainya Adila mencuci piring, ia kembali ke kamar untuk mengambil tasnya. Tak lupa ia mengoleskan pelembab bibir rasa stroberi agar bibirnya tidak pucat.

"Ayo kak!" seru Adila ketika sudah siap berangkat.
"Bentar, panggilan alam!" balas Malven sambil berteriak dari dalam kamar mandi.

Adila tertawa kecil, kebiasaan Malven ketika setelah sarapan adalah langsung mengeluarkan sisa-sisa makanan yang sudah dicerna hari kemarin. Malven bilang, makanan di dalam perutnya mengantri untuk dicerna. Jadi, jika makanan kemarin sudah dicerna, maka harus siap untuk dikeluarkan.

Ketika Adila membuka gerbang rumahnya, ia melihat si  manusia rese yang ia temui kemarin sedang tersenyum ke arahnya.  Adila menengok ke kanan dan kirinya memastikan senyum manusia rese itu bukan ke arahnya. Namun nihil, hanya ada dirinya seorang.
"Ngapain lo di sini? Penguntit ya lo?"
"Kebetulan kemarin pas balik, gak sengaja liat lo masuk ke sini. Di sini toh tinggalnya."
"Dih penjahat lo?"
"Masa muka ganteng gini disamain sama penjahat?" ucapnya.
"Jijay! Pede gila!" timpal Adila.
"Jangan bilang jijay tar ujungnya suka terus sayang. Akhirnya cinta deh." Adila memutar bola matanya. Si manusia rese ini selain pede, ngarepnya kebangetan!
"Udahlah pergi sana!" titah Adila.
"Kenapa gak mau lama-lama ngobrol? Takut baper ya? Cie cie," ucap si manusia rese itu. Adila semakin muak.
"Pergi!"
"Ngusir nih?"
"Cepet!"
"Serius gak akan nyesel?"
"Pergi sono!"
"Iya iya. Jangan galak jadi cewek. Tar gak ada yang mau," ujarnya sambil tertawa lalu menaiki sepeda motornya.
"Padahal gue mau ngembaliin ini," ucap orang itu sambil mengeluarkan gelang milik Adila. Adila baru sadar.
"Eh..." orang itu terlanjur pergi.
"Sialan! Milik gue tuh! Dasar manusia rese!" umpat Adila.
"Siapa yang rese?" tanya Malven yang sudah selesai dari panggilan alamnya.
"Kak Malven paling rese."
"Apa? Kak Malven paling ganteng?" ujar Malven dengan gaya tengilnya.
"Iya. Ganteng. Gangguan telinga!" ketus Adila.
"Eh. Udah deh yuk berangkat."

***

Sesampainya di sekolah, Adila berpamitan pada kakaknya. Namun ternyata, bukanlah kelas yang menjadi tujuan utamanya kali ini, melainkan sekolah tetangga yang dengan sangat terpaksa Adila mendatanginya.

Adila masuk melalui kantin belakang. Murid-murid SMA Nusantara yang berada di sana tidak menyadari bahwa Adila bukanlah murid di sana karena seragam putih abu yang ia pakai ditutupi jaket agar badge-nya tidak terlihat.
Matanya menyapu ke setiap sudut kantin untuk memastikan si manusia rese ada atau tidak. Merasa orang yang dicari belum terlihat, Adila siap memasuki lorong yang menghubungkannya pada jajaran kelas. Namun langkahnya terhenti saat ia menyadari tidak tahu nama orang yang dimaksud dan tidak tahu kelas berapa. Ia hanya mengikuti amarah sesaat.

Akhirnya ia membalikkan tubuhnya untuk kembali ke sekolahnya. Percuma saja ia mencari si manusia rese tanpa tahu nama apalagi kelasnya. 
"Nyari gue?" ujar seseorang dari belakang Adila. Siapa lagi kalau bukan si manusia rese.
"Mana barang gue?"
"Duh, mending duduk dulu deh yuk. Kita ngopi dulu, pasti enak!"
"Basi! Gak usah banyak omong."

Khawatir menjadi pusat perhatian, orang itu menarik tangan Adila ke sebelah perpus yang cukup sepi. 
"Eh, apaan sih lo narik-narik tangan gue?" ucap Adila sambil berusaha melepaskan cekalan tangan Adira.
"Rese lo. Udah sini mana gelang gue? Gue gak punya waktu nih sepuluh menit lagi gue masuk kelas. Kalau gue telat, tar gue kena hukum. Habis itu...."
"Gelangnya ketinggalan di rumah. Malem ya gue kasih, lo tunggu di Mas Jiwo." Mas Jiwo merupakan warung kopi yang terletak sekitar 100 meter tidak jauh dari rumah Adila.
"Sekarang mending lo balik ke sekolah. Gue tunggu ya nanti malem," ucap si manusia rese sambil memasangkan kupluk yang menempel di hoodie Adila, lalu pergi begitu saja.

Satu hal yang tidak disadari Adila, ia lupa menanyakan siapa nama orang itu.

Bersambung.

S E M E N J A N A ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang