16 : Akhir Tahun

12 4 0
                                    

Hari itu langit terlihat tidak bersahabat, sebab awan hitam pekat serta petir yang saling menyambar membuat tubuh seorang anak kecil bergetar hebat. Kejadian beberapa saat lalu saat seorang pria dewasa memukulnya di bagian lengan dan punggung terasa amat meyakitkan.

Sumpah serapah yang keluar dari mulut si pria dewasa tak henti-hentinya berputar dalam rekam memorinya.
“Kamu tau kenapa ibu kamu gak ada? Itu semua gara-gara kamu!!!” cercaan pria itu semakin menganggu pikirannya.

Anak kecil itu menutup telinga agar tidak mendengar kalimat menyakitkan yang terus menghantuinya.

Ia menatap sekeliling taman bermain. Hanya dirinya sendiri sekarang. Dua orang anak laki seumurannya yang sedang bermain ayunan sudah dijemput oleh seorang wanita.

Bersamaan dengan derasnya hujan, anak kecil itu menangis amat kencang. Ia tidak mempunyai tempat mengadu. Taman bermain itu merupakan tempat satu-satunya yang ia pikir paling aman.

Anak kecil itu terbangun, menyadari dirinya kini berada di dalam kamar yang sudah tidak asing baginya.  Keningnya terasa hangat sebab kain kompresan yangmasih menempel.

Dilihatnya sang kakak sedang duduk di sampingnya sambil mengerjakan PR.
“Kamu udah bangun? Tadi kamu pingsan di taman bermain. Abang bawa kamu ke sini. Kenapa jauh amat mainnya? Abang kan bilang, kalau abang masih di sekolah, kamu jangan keluyuran.”

Anak kecil itu bangkit agar bisa mendudukkan dirinya. 
“Lengan kamu kok biru-biru gini sih, Adi? Kamu main sama siapa?”

Anak kecil itu menggeleng. Dalam pikirannya pun ia tidak tahu siapa pria dewasa yang selalu memukulnya sambil meneriaki dengan berbagai cercaan.
“Abang, Adi punya mama enggak? Adi belum pernah ketemu mama.”

Yang lebih tua menutup bukunya, lalu tubuhnya menghadap sang adik. Ia bingung bagaimana harus menjelaskan bahwa wanita yang telah melahirkan keduanya sudah tiada. Bagaimana cara anak umur enam tahun memahami situasi seperti ini?

“Shena pulaaaang!”

Anak perempuan memakai seragam putih-merah muncul dari balik pintu. Dengan wajah sumringah, anak itu memamerkan sebuah piala.
“Abang, Shena juara 1 lomba baca puisi, lho!” ucapnya sambil mendekat.
“Eh, Adi kenapa? Sakit?” tanyanya sambil meletakkan tangan kanan di kening si bungsu.

Adira mengerjap. Potongan kejadian beberapa tahun silam rupanya terputar dalam mimpinya. Entah mimpi atau bukan, tapi kejadian tersebut terasa sangat nyata. Adira memegangi kepalanya merasakan pusing yang teramat menyakitinya. Ia meremat rambutnya frustrasi karena dalam lima bulan terakhir ia merasakan kepalanya bereaksi yang berlebihan.

Sejak akhir Juli, Adira menjalani terapi di salah satu psikiater yang merupakan teman kakaknya sewaktu SMA. Hingga Desember ini, Adira merasa bahwa penyakitnya tidak kunjung sembuh. Pernah suatu hari, ia menangis seharian di taman bermain saat kepribadian Al menguasainya. Untungnya saat itu, Adila membawanya pulang.

Pernah juga suatu hari, ia terlibat percekcokan dengan ibu-ibu di pasar saat kepribadian Surti menguasainya. Bahkan ia pernah mengunci diri di dalam kamarnya selama dua hari sambil menyakitinya dirinya saat kepribadian Shena yang menguasai.

Untungnya Fero tidak pernah membuat keributan karena pribadi dia yang sangat dingin dan cuek.
Dibilang lelah, tentu lelah. Namun ia bisa apa?

Selama lima bulan itu juga, Adila menjadi panggilan pertama saat ada sesuatu menimpa dirinya. Terkadang Adila mengantarnya berobat, terkadang Adila menjadi perawatnya saat sakit, hingga sering sekali ia melayani kepribadian lain yang dimiliki Adira. Semua itu dilakukan Adila karena ia merasa peduli dengan si manusia menyebalkan tersebut.

Tangan Adira beralih saat ponselnya bergetar, ia mengusap layar ketika panggilan Adila masuk.

"Dira, lo baik-baik aja kan? Seharian tumben gak ngabarin gue?"

"Baik kok. Gue gak mau ganggu acara liburan keluarga lo. Gimana ketemu sama bokap nyokap lo? Pasti seneng."

"Seneng banget. Akhirnya mereka nepatin janjinya. Seringnya sih tiba-tiba di-cancel, tapi waktu tau ini beneran kejadian, gue nangis banget waktu ketemu mereka. Serindu itu."

"Gue gak tau gimana rasanya, tapi gue Ikut seneng, Dil."

"Padahal tadi pagi gue ajak lo biar bisa main bareng."

"Yaelah, Dil. Masa langsung ketemu calon mertua?"

"Hah? apaan?"

"Enggak, maksudnya masa nanti gue diambekin satpam lo."

"Kak Malven maksudnya?"

"Siapa lagi haha."

Dan malam itu pun mereka hanyut dalam obrolan.

***

Waktu yang paling berharga adalah saat bersama keluarga. Akhir tahun ini sangatlah berkesan menurut Adila sebab selama dua hari ia menghabiskan waktu bersama mama, papa juga Malven. Walupun tidak dapat bersama-sama saat malam pergantian tahun, tetapi sedikitnya ia bisa mengobati rasa rindu yang ia tahan.

Masakan mama pagi itu menjadi masakan terakhir yang akan ia cicipi sebelum berangkat ke bandara.
“Mama udah isi kulkas penuh ya, biar kalian makannya gampang.”
“Malven terus yang masak, ma, Dila mana pernah.”
“Dila selalu dimarahin kak Malven, ma. Katanya masakan Dila gak enak biar kakak aja.”
“Masa bikin telor ceplok aja ditinggalin sampe gosong gara-gara meletus meletus.”
“Ya kan takut minyaknya kena muka.”

Sang mama tersenyum melihat dua anak kesayangan selalu berselisih perihal masalah kecil. Walaupin sering tidak akur, tapi mamanya tahu mereka saling menyayangi. Itu terbukti karena mereka tumbuh begitu baik.
“Anak papa ini masih suka berantem ya.”
“Kak Malven duluan, pa.”
“Dila, pa.”

***

Walaupun terasa berat, tetapi keduanya harus kembali ditinggal oleh orang tua. Adila memeluk erat kedua orang tuanya bergantian dengan Malven. Karena pesawat akan segera lepas landas, lambaian tangan pun menjadi tanda perpisahan keluarga kecil itu.
“Yang akur yaaa!” teriak sang papa.

Malven menaikkan tangannya membentuk sikap hormat, lalu merangkul sang adik untuk memastikan bahwa ia akan menjaganya dengan sungguh-sungguh. Adila sudah tidak menangis saat berpisah di bandara. Berbeda saat pertama kali harus berpisah. Saat itu, Adila tidak henti-hentinya menangis selama dua hari.

***

Malam pergantian tahun pun tiba. Malven mengundang teman-temannya untuk merayakannya di rumah. Beberapa teman Malven datang membawa daging, sosis, jagung serta perlengkapan untuk barbeque. Adila dengan terpaksa menyalami satu persatu teman Malven.

Adila pikir hanya teman kelasnya yang datang, tetapi Kenzie juga ada di sana. Malven dan Kenzie memang berada di kampus yang sama, namun berbeda jurusan. Malven di jurusan Arsitektur, sedangkan Kenzie di jurusan Desain Komunikasi Visual.

Kenzie mengajak Adila mengobrol. Tak lama, seorang perempuan dengan rambut cokelat sebahu datang. Ia membawa satu kresek snack, lalu membukanya agar dapat dinikmati.
“Pacar kakak itu,” bisik Kenzie kepada Adila. Perempuan itu melambaikan tangan ke arah Adila.
“Hallo, adiknya Malven ya? Gue Salma.” Adila menyalami Salma.
“Adila. Kakak pacarnya kak Ken?” Salma tersenyum malu-malu. Adila tersenyum jahil kepada sang kakak yang baru saja menghampirinya.
“Woahhh, kak Ken udah punya pacar yang cantik nih. Kalo kak Malven udah punya pacar belum?” tanya Adila sambil menaikturunkan alisnya.
“Masih jomblo,” timpal Kenzie santai.
“Kak Malven cari pacar dong, masa kalah sama kak Ken. Gak bosen jomblo terus?”

Malven mencebik. Bisa-bisanya adiknya itu meledeknya di depan teman-temannya.

Bersambung.

Maaf ya terkesan kecepetan alurnya karena awalnya aku nargetin 16 chapter, tapi kayaknya sekitar 20an deh 😁
Oh iya perhatiin juga karena ada alur flashback masa lalunya Adira. Kedepannya juga bakal banyak skip ke rencana kegiatan sekolah mereka menuju ending.
Makasih banyak udah mampir sampai sini

S E M E N J A N A ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang