08 : Gara Gara Jaket

31 9 2
                                    

Hari ini sekolah libur karena kelas dua belas sedang melaksanakan ujian. Lumayan seminggu dimanfaatkan Adila untuk mengerjakan tugas kelompok. Lebih tepatnya sih main berkelompok, karena 85% murid yang 'katanya' belajar kelompok, nyatanya melakukan aktivitas lain, seperti bergosip, curhat, ataupun makan-makan.

Terdengar smartphone Adila berdering. Nomor yang tak dikenali.
"Hallo," sapa Adila.
"Hai, Dila! Gue di depan rumah temen lo nih," ujar orang yang menelepon Adila. Suaranya tidak asing lagi.
"Apaan sih lo! Lo dapet nomor gue dari mana?" tanya Adila dengan galaknya.
"Cepet deh keluar. Panas nih."

Karena penasaran, Adila mengintip di balik jendela ruang tamu. Gila! Adira sudah berdiri di depan teras rumah Nesya.
"Ngapain sih lo? Ngikutin gue ya?"
"Mau ambil jaket yang kemarin malem."
"Emangnya lo cuma punya satu jaket sampe disusulin segala?"
"Ya karena itu jaket banyak kenangannya sih."
"Udah deh balik aja. Jaket lo ada di rumah. Gue lagi belajar kelompok. Besok gue balikin."
"Maunya sekar-"
Adila menutup sambungan panggilannya.

Nesya dan Ranti penasaran dengan tingkah Adila. Tidak biasanya dia ngomel-ngomel tidak jelas. Setelah melihat siapa orang yang menelepon Adila -yang kini ada di depan teras rumah Nesya, lantas keduanya saling bertatapan dan...
"CIIEEE AKHIRNYA PUNYA PACAR!"

Wajah Adila merah padam. Kedua sahabatnya ini membuat salah tingkah.
"Apaan sih. Bukan!"
"Gak biasanya ada cowok yang deket sama lo, Dil. Dan dia rela nungguin lo di sana."
"Kalau kakak lo tahu, sih, dia marah gak ya?"
"Kayaknya sih udah direstuin."
Ranti dan Nesya saling melempar ledekan pada Adila.
"STOP! Udah deh jangan bahas dia," protes Adila.
"Samperin dulu gih cowoknya. Kasian nunggu kepanasan."

Daripada dirinya terus menerus diledek oleh Nesya dan Ranti, akhirnya Adila menghampiri Adira yang sudah menunggunya sedari tadi.
"Balik gih. Ngapain coba masih di sini," ucap Adila.
"Nungguin lo."
"Ngarang nih orang."
"Nungguin lo pulang ke rumah biar bisa ambil jaket."
"Besok."
"Terserah. Yang penting gue nungguin lo."

Kesabaran Adila mulai pecah. Lama-lama bisa darah tinggi jika dirinya terus menerus dibuntuti Adira.
"Ya udah gue balik sekarang."
"Yes!"

Adila kembali masuk ke rumah Nesya dan berpamitan pulang pada dua sahabatnya itu.

***

Matahari saat itu sedang terik-teriknya, ditambah Adila menggunakan kaos berwarna hitam yang menyebabkan suhu tubuhnya menjadi panas. Rambut panjangnya ia ikat agar angin setidkanya menyapa kulit kepalanya yang terbakar. Kurang lebih lima ratus meter sudah ditempuh. Adila mulai lelah. Keringatnya sudah bercucuran di pelipisnya.
'Napa gue kagak naik ojol aja ya. Kan rumah gue jauh,' pikir Adila dalam hati.
"Aww..." Kaki kanan Adila terasa kaku, tidak bisa digerakkan.
"Kenapa?" tanya Adira yang sedari tadi mengekornya.
"Keram, bego!"
"Sini dudukin dulu." Adira memegang tangan Adila dan menuntunnya supaya dapat duduk.
"Kakinya lurusin."

Entah perasaan apa yang tiba-tiba membuat Adila terasa sesak. Jantungnya berdegup lebih kencang. Posisinya saat ini dekat sekali dengan lelaki itu. Adira memang baik. Dia selalu mengerti kondisi orang-orang yang membutuhkan bantuannya.
"Hm.. jangan kelamaan lihatnya. Ntar suka lho," ujar Adira membuyarkan lamunan Adila.
"Pede abis!"
"Tunggu di sini ya." Adira tiba-tiba menghilang. Dia pergi entah ke mana.
"Dasar cowok nyebelin. Kondisi gue kek gini malah ditinggalin."

Beberapa lama kemudian, kaki Adila sudah normal kembali. Lama menunggu Adira, Adila memutuskan untuk melanjutkan langkahnya sendiri. Tiba-tiba, Adira datang membawa sebuah motor vespa butut. Entah dari mana dia mendapatkannya.
"Ayo naik!"
"Vespa siapa itu?"
"Udah gak usah banyak tanya. Naik aja biar lo gak kecapean."

Adira memang sulit ditebak. Sikap anehnya terkadang terasa manis bagi Adila walaupun sukar mengakuinya.

Bersambung.

S E M E N J A N A ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang