Three days (1)

281 61 8
                                    

Cuaca yang dingin, suasana yang tenang serta segelas cokelat hangat yang menemani membuat Renjun tanpa sadar mulai kehilangan kesadaran. Tapi belum sempat dia memasuki dunia mimpi sepenuhnya, suara pintu yang dibuka dengan keras yang kemudian diikuti dengan langkah kaki terburu membuat kesadarannya kembali secara sempurna.

Renjun melirik kearah jam yang terletak diatas nakas sebelah tempat tidurnya. Jam tengah menunjukkan pukul enam sore, jadi bisa dipastikan kalau Yangyang langsung datang ke kamar tidurnya setelah menyelesaikan jadwal bimbingan belajarnya hari ini.

Ah, harinya yang tenang sepertinya akan berakhir disini saja.

Mengabaikan raut keberatan Renjun karena kedatangannya yang tiba-tiba, Yangyang melempar tas sekolahnya asal—membuat benda itu terbentur dengan deretan figur mainan milik sang saudara kembar, lalu duduk di pinggir ranjang. "Jun, mau tau ga apa yang lo lewatin dari ga masuk sekolah selama tiga hari ini?" Katanya kemudian. Matanya berbinar, dan Renjun tahu kalau matanya selalu terlihat seperti itu setiap kali dia punya bahan pembicaraan baru yang menarik.

Masih setia dengan posisi bersender di sandaran tempat tidurnya, Renjun menutup buku yang berada di pangkuannya lalu membenarkan letak bingkai kacamatanya yang turun sebelum mulai bicara.

"Ga tertarik." Jawab Renjun singkat. "Simpen gosip lo buat diri lo sendiri." Buku kembali terbuka dan Renjun kembali menenggelamkan dirinya ke dalam buku, mengabaikan Yangyang.

"Yakin?"

"Yakin."

"Walaupun yang bakal gue omongin setelah ini ada hubungannya sama Jena dan Dejun?"

Mendengar nama teman-temannya disebut, Renjun menghentikan kegiatannya. Memang benar dia sudah absen selama tiga hari belakangan, dan memang benar kalau selama dia terbaring di rumah dia sama sekali tidak pernah mengaktifkan ponselnya karena malas jadi dia sama sekaki tidak tahu apa yang terjadi di dunia luar.

Renjun kembali menutup bukunya, dan kali ini buku itu akhirnya dia singkirkan ke sisi tubuhnya—memperjelas kalau dia tak lagi berminat untuk membaca.

"....Mereka kenapa?"

Yangyang tersenyum lebar, puas dengan reaksi Renjun yang sesuai dengan apa yang sudah dia bayangkan. "Di hari pertama lo absen, Hendery dateng lagi sama antek-anteknya. Mereka berdiri di depan gerbang kayak orang tolol buat nungguin Jena tapi mereka gajadi ketemu karena gue bawa lari Jena lewat dinding belakang sekolah."

Yangyang mendengus saat dia sekali lagi mengingat kejadian yang lumayan menghebohkan itu. Bagaimana tidak, Hendery dan dua temannya yang lain datang dengan tidak tahu malunya disaat seragam sekolah bahkan masih menempel di tubuh ketiganya. Yangyang bahkan sempat mencurigai kalau alasan sebenarnya Hendery datang adalah untuk mencari perhatian saja dan bukannya untuk Jena. Konyol.

Raut wajah Renjun berubah keras. Dari matanya saja Yangyang tahu kalau perkataannya barusan berhasil menyulut amarah Renjun yang memang sejak awal gampang tersulut itu.

"Dia ngapain lagi?"

"Siapa yang tau." Yangyang mengangkat kedua bahunya acuh. Lelaki itu kemudian mendekatkan posisi duduknya dengan sang saudara kembar agar keduanya bisa mendengar dan melihat satu sama lain dengan lebih jelas. "Yang temennya dia kan lo, Renjun. Harusnya lo lebih bisa ngertiin dia daripada gue yang bahkan ga pernah ngomong lebih dari dua puluh kata sama dia sebelumnya."

"Lupain soal dia." Putus Renjun pada akhirnya. Suasana hatinya sedang buruk sekarang dan dia tidak mau memperburuknya dengan memikirkan seseorang yang bahkan mendengar namanya saja bisa membuat dia naik darah. "Terus selanjutnya apa?"

Not HerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang