"Renjun, kesel ya?"
Renjun menatapku cukup lama—Sekitar dua menit mungkin? Sebelum ia akhirnya mulai berbicara. "Lo udah nanya hal yang sama ke gue hampir dua belas kali, Yingying."
Kau tergelak canggung. Matanya yang tak kunjung lepas darimu sukses membuatmu tambah merasa canggung. "Habisnya diem aja daritadi." Cicitmu.
Renjun menatapmu aneh sekilas sebelum ia akhirnya mengalihkan pandangan dan mulai menjalankan mesin mobil miliknya yang sedang kalian tumpangi.
Yangyang yang duduk di kursi belakang mulai mencibir. "Kayak gatau gimana Renjun aja, Jen. Dia kan daridulu emang selalu gitu. Salty terus bawaannya kayak mbak-mbak lagi pms."
Renjun berdecak kesal namun memilih untuk tidak melayani ucapan saudara kembarnya yang menurutnya sangat menyebalkan itu.
Disisi lain, Yangyang melebarkan senyuman jahilnya saat melihat ia berhasil memancing emosi Renjun. "Aku berani taruhan daripada kesel karena ditugasin untuk beli barang-barang buat festival besok bareng kamu, dia jauh lebih kesel karena aku ikut pergi sama kalian."
"Yangyang!"
"Tuhkan, liat aja sendiri."
•••
"Turun lo." Renjun berkata singkat, padat, dan jelas.
"LOH KOK LO BAWA GUE PULANG KERUMAH?"
"Ya supaya lo pulang lah."
"Dan kenapa gue harus pulang sekarang juga disaat gue pengen ikut kalian pergi?"
"Karena lo gabakal bantuin apa-apa dan cuma bisa bikin gue tambah repot. Udahlah, gausah banyak tanya lo, cepet sana masuk."
Yangyang memiringkan kepalanya. Lelaki itu kemudian tersenyum jahil.
"Orang-orang biasa nyebut itu sebagai posesif. Hati-hati loh, Jun. Posesif tuh ga baik. Apalagi sama saudara kembar sendiri."
"YANGYANG!" Protesmu. Kau tahu ia suka menggoda saudara kembarnya itu. Tapi bukankah ini sudah cukup berlebihan?
Kau mengalihkan pandanganmu kearah Renjun secara takut-takut. Namun beruntung, lelaki itu hanya diam.
Tapi tunggu, apakah telinganya sudah merah seperti itu sejak tadi?
•••
"Renjun, yang kurang tinggal- eh? Lo ngapain?" Kau menoleh saat Renjun yang semula tegak cukup jauh dari tempatmu berada kini merubah posisinya menjadi tepat disebelah kananmu.
"Gapapa."
Kau memutuskan untuk mengabaikannya dan lebih memilih untuk lanjut berbicara mengenai keperluan yang harus kalian beli. Saat kau menanyakan pilihan warna pada Renjun, lelaki itu tak kunjung menjawab.
"Jaga mata lo, sialan."
Kau tersentak saat volume suara Renjun yang biasanya rendah kini tiba-tiba naik. Saat kau menatap kearahnya, pemuda itu tengah menghadap kearah seorang lelaki berseragam lain yang tengah berdiri tak jauh darimu dengan tatapan kesal.
Lelaki asing tersebut sontak mengangkat kedua tangannya. "Sorry, gue gatau kalau dia udah ada yang punya."
"Lo buta? Lo pikir gue disini ngapain?"
Lelaki asing itu meminta maaf pada Renjun berkali-kali sebelum memilih untuk lari menjauh dari kalian berdua.
"Jun? Kenapa?" Tanyamu.
"Cowok tadi." Geramnya. "Dia terus-terusan ngeliatin kaki lo. Gila apa ya? Kayak gapernah liat cewek pake rok pendek."
"Cowok itu?!"
Renjun mengangguk. "Bahkan setelah gue pindah tempat buat ngehalangin lo dari arah pandangan dia, cowok itu tetep lanjut ngeliatin lo."
"Ah, sial." Renjun sekali lagi kembali berdecak kesal. "Harusnya gue colok aja matanya tadi."
"Renjun, udah."
"Tapi orang kayak gitu harus ditegur terang-terangan. Lo liat sendiri, kalau gue ga ngomong kayak gitu ke dia, dia masih bakal ngeliatin kaki lo kayak anjing kelaparan pas ngeliat makanan."
"Jun." Panggilmu yang sukses membuat perhatian lelaki itu teralihkan sehingga membuatnya berhenti menggerutu untuk sementara waktu. "Udah ya?"
Renjun menghela nafasnya. "Tapi Jen—"
"Udah, Jun. Gue gapapa. Makasih udah marah-marah buat gue."
Wajah Renjun tiba-tiba memerah saat ia menyadari sesuatu. "S-siapa bilang gue ngelakuin itu buat lo? Gue cuma lagi kesel terus ngeliat muka dia bikin gue mau marah!" Sambarnya cepat. Lelaki itu kemudian memalingkan wajahnya dan lebih memilih untuk mendekati rak yang berisikan kertas origami dan meraih dua bungkus origami dengan cepat. "Udahlah, kita juga masih harus belanja kan? Nih, masukin ke keranjang juga."
"Tapi Jun—"
"Tapi apa?"
"Tapi kita ga butuh origami."
Wajah Renjun kembali memerah. Namun kali ini, rona merah diwajahnya juga diikuti oleh suara tawa puas dari seseorang.
Bukan, bukan milikmu.
Kalian menulusuri sumber suara hanya untuk menemukan sosok Yangyang yang tengah berjalan mendekat sembari masih tertawa puas.
Tangan kanan lelaki itu terangkat untuk menunjuk kearah saudara kembarnya. "HAHAHA LO KELIATAN BEGO BANGET." Yangyang masih tertawa keras sembari memegang perutnya. Lelaki itu tidak kunjung berhenti tertawa bahkan ketika Renjun sudah menatapnya tajam.
Yangyang baru berhenti saat Renjun sudah pergi menjauh—lelaki itu pamit padamu karena ia perlu pergi ke toilet atau apapun yang seperti itu. Lagipula kau tidak terlalu memikirkannya.
Yangyang menghapus jejak air mata disudut matanya yang menggenang karena tertawa terlalu keras tadi sebelum lelaki itu akhirnya berdiri tegak dan membalas tatapan aneh yang kau berikan padanya.
"Kenapa?"
"Kamu sejak kapan disini?"
"Sejak Renjun ngubah posisi berdirinya biar kamu berhenti diliatin orang lain."
"Tapi tadi kamu kan udah diturunin Renjun di rumah. Terus gimana—"
Yangyang kembali tertawa. "Aku juga punya mobil, Jen. Ga sesulit itu buat nyusul kalian berdua. Lagian dirumah lagi gaada orang jadi aku pikir mendingan aku nyusul kalian." Kau
"Terus kenapa kamu diem aja pas liat Renjun marah-marah?"
"Karena menarik. Terutama karena aku tau bener apa alasan dia marah-marah." Tawanya.
Kau memiringkan kepalamu—tak mengerti apa yang lucu. "Memangnya apa?"
Yangyang menaikkan sebelah alisnya sembari bertanya. "Menurut kamu kenapa?"
"Karena dia lagi badmood?"
Setelah hening selama beberapa saat, Yangyang kembali tertawa keras sebelum menarikmu masuk kedalam rengkuhannya. "This is why i love you, Jena."
Dan kau masih tidak mengerti apa yang lucu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Not Her
FanfictionI'm not her, Nor do i want to take her place. Please understand.