His name

5.4K 1.1K 211
                                    

"Mau pulang bareng ga? Mumpung aku bawa mobil hari ini."

Kau menggelengkan kepalamu cepat kearah sesosok lelaki yang sedang menunggu dirimu membereskan meja.

Lelaki itu mengerutkan keningnya.
"Kamu gamau? Kenapa? Sekarang hujan loh."

"Justru karena itu hehehehe."

"Ko Henry jemput kamu?"

"Iya, Dejun-ku sayang."

"Nanti kamu nungguinnya kelamaan. Udah tau kalo ko Henry jemput itu kamu bisa nunggu sampai setengah jam. Mendingan kamu pulang sama aku aja."

"Tau kok hehehehe."

"Mau aku tungguin sampai ko Henry jemput kamu? Biar kamu ga sendirian disini."

"Gausah. Kamu pulang aja."

Lelaki itu menatapmu penuh selidik.
"Kamu kenapa sih? Jadi aneh gini. Ada apa?"

"Gapapa. Kamu pulang duluan aja. Takutnya nanti hujannya makin deres. Rumah kamu kan jauh."

Dejun kembali menatapmu penuh selidik selama beberapa detik sebelum akhirnya ia menaikkan kedua bahunya—mengabaikan tingkah anehmu.
"Terserah. Aku pulang duluan kalau gitu."













Setelah memastikan bahwa Dejun sudah hilang dari pandanganmu, kau melangkahkan kakimu dengan cepat kearah halte yang terletak didekat gedung sekolahmu.

Senyuman diwajahmu merekah saat kau dapat menemukan seseorang yang kau cari sejak kemarin.

Ya, lelaki misterius itu kembali terduduk disudut halte seperti yang ia lakukan kemarin.

Kau dengan cepat berjalan kearah lelaki itu berada. Mengabaikan lantai licin yang bisa saja membuatmu terjatuh. Beruntung bagimu kau tidak mempermalukan dirimu sendiri dihadapannya.

Lelaki itu mengalihkan pandangannya padamu saat mendengar suara hentakkan kakimu.

Ia tersenyum tipis.
"Kamu datang lagi?"

Kau mengangguk dengan cepat.
"Ya, hari ini hujan jadi aku kesini lagi."

"Belum dijemput lagi?"

"Ya. Dan aku juga mau ngasih ini ke kamu."

Lelaki itu menatapmu yang sedang mencari sesuatu didalam tas sekolahmu dengan pandangan penuh rasa ketertarikan yang sangat jelas.

Dengan cepat kau menarik keluar sebuah barang—cardigan milik lelaki itu dari dalam tas sekolahmu.

"Ini." Ucapmu sembari memberikannya pada lelaki dihadapanmu.

Namun lelaki itu hanya menggelengkan kepalanya singkat.

Kau memiringkan kepalamu—tak mengerti.
"Maksudnya?"

"Untuk kamu aja."

Matamu terbelalak.
"Untuk aku? Jangan! Ini punya kamu kan?"

"Dulu punya aku. Sekarang punya kamu."

"Kenapa? Kamu ga suka karena udah pernah aku pakai ya? Ini udah aku cuci kok."

Lelaki itu tertawa renyah sembari menggelengkan kepalanya pelan.
"Bukan karena itu. Aku memang mau ngasih ke kamu kok. Sekarang dingin kan? Kamu pake aja."

"Dingin sih. Tapi kan kamu—"

"Pakai ya?"
"Lagipula aku udah pakai yang ini."

Kau melirik kearah tubuh lelaki itu. Seragam sekolahnya tertutupi oleh sebuah cardigan yang memiliki design sama persis dengan cardigan yang berada digenggamanmu.

Hanya warna yang membedakannya.

"Itu punya kamu juga?"

"Ya. Jadi kamu pakai aja yang itu."

Kau mengangguk lalu mulai memasangkan kembali ke tubuhmu.

Lelaki itu tersenyum tipis.
"Cocok sama kamu."

"Tapi ini harganya—"

"Bukan barang mahal. Udah ya? Jangan nolak lagi."

Kau menghela nafasmu.
"Fine."
"By the way, kita belum kenalan. Aku liat kamu kayaknya ga sekolah disini. Kamu siapa?"

"Aku Hendery. Wong Hendery." Ucapnya sembari mengulurkan tangannya padamu.

Kau tersenyum lalu membalas uluran tangan lelaki itu.
"Kalau aku—"

Namun sebelum kau sempat memperkenalkan dirimu, seseorang menarik tubuhmu menjauh dari Hendery dengan cepat dan kasar.

Kau melirik kearah belakang dan menemukan Dejun tengah menatapmu dengan raut kesal.
"Kamu belum pulang juga?"

"Ko Henry belum—"

"Pulang sama aku."

Kau melirik kearah Hendery dan Dejun secara bergantian.
"Tapi aku—"

"Pulang sama aku. Kamu ga denger?"

"Jun, tapi dia—"

"Pulang."

Kau kembali melirik kearah Hendery. Namun kini lelaki itu menatapmu sembari menganggukkan kepalanya—menyuruhmu mengikuti perkataan Dejun.

Kau menghembuskan nafasmu berat—menyerah.
"Yaudah deh. Tapi ko Henry gimana?"

"Biar aku yang urus. Yang penting sekarang kita pulang."

Kau hanya mengangguk sembari menatap Dejun dengan penuh tanya—tak mengerti mengapa ia harus terlihat semarah itu.

Sesaat sebelum Dejun menarikmu menjauh, kau menatap Hendery untuk memberikan salam perpisahan pada lelaki itu.
"Maaf ya, Hendery. Dan makasih cardigan-nya."

Pergerakan Dejun terhenti. Ia melepaskan genggamannya pada pergelangan tanganmu.
"Ini punya dia?"

"Umm.. ya?"

"Lepas."

"Jun.."

"Lepas!"

"Jun, kamu bentak aku?!"

Dejun mengusap wajahnya kasar.
"Kembaliin ke dia. Nanti aku beliin yang baru buat kamu."

"Jun kamu kenapa?"

Dejun menepuk pucuk kepalamu singkat.
"Lepasin ya? Aku janji bakal beliin yang baru buat kamu."

"Bukan masalah barangnya, aku cuma mau tau kamu kenapa."

"Jangan nerima barang dari orang asing. Kita ga tau dia punya niat buruk atau engga."

Kau dengan cepat menoleh kearah Hendery—takut lelaki itu merasa sakit hati atas perkataan Dejun. Namun lelaki itu hanya diam dan menatap Dejun dengan tatapan penuh harap.

Karena tidak ingin membuat Dejun semakin marah, kau memutuskan untuk mendengarkan perkataannya dan memberikan cardigan yang sedang kau pakai pada Hendery.

Segera setelah kau melepaskan cardigan tersebut, Dejun membuka hoodie yang sedang ia pakai lalu memasangkannya ditubuhmu.
"Kamu pake ini aja."

"Jun..."

Dejun menarik tanganmu menjauh darisana. Meninggalkan Hendery yang menatap kosong cardigan yang berada di genggamannya.

Namun tepat sesaat sebelum kau memasuki mobil Dejun, sayup-sayup kau dapat mendengar lirihan suara Hendery.

"Hati-hati di jalan, Xiao Dejun."












Tunggu, mereka saling mengenal satu sama lain?

Not HerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang