Hendery berjalan mendekati sebuah meja dimana sang teman sudah duduk menunggunya. Tanpa peringatan ia duduk dan langsung mulai bicara. Jeno sendiri hanya diam mendengarkan perkataan sang teman sembari sesekali mengangguk-anggukkan kepalanya dan membagi perhatiannya kearah jus strawberry yang berada di atas meja.
Akhir-akhir ini suasana hatinya sedang berada di titik terbawah. Selain karena kondisi Yena yang semakin lama semakin tak stabil, persoalan Jena juga membuatnya sakit kepala.
Hendery tahu kalau dia sudah melakukan sebuah kesalahan dengan meninggalkan sang kekasih sendirian saat itu, tapi bukankah reaksi yang Jena berikan agak terlalu berlebihan? Maksudnya, Hendery kan bukannya pergi tanpa alasan yang jelas atau apa. Seseorang sedang bertarung dengan nyawanya dan dia tidak mungkin tidak melakukan apa-apa soal itu. Jena mungkin memang kekasihnya, tapi bukan berarti dia bisa mengatur Hendery sesukanya.
Dan lagi, apa-apaan soal saudara kembar Renjun yang satu itu? Yangyang atau apalah namanya itu benar-benar ikut campur kedalam urusan antara dia dan Jena. Setelah mengirimkan pesan singkat berisi umpatan dan peringatan, lelaki itu sepertinya memblokir kontaknya dari ponsel Jena. Dan entah bagaimana cara dia mendapatkan akses, sekitar satu minggu kemudian Hendery berhasil menemukan sekotak besar barang-barang yang sempat dia berikan pada Jena di depan pagar rumahnya.
Hendery juga tidak pernah bisa menemui Jena secara langsung untuk meminta penjelasan tentang apa yang sedang terjadi karena perempuan itu tiba-tiba menghilang begitu saja seperti ditelan bumi.
Hendery tidak mengerti. Anak-anak seperti Huang Renjun, Huang Yangyang dan Xiao Dejun itu kan hanya orang luar, jadi kenapa mereka repot-repot mengurusi urusan lain? Mereka seharusnya mengurusi urusan mereka masing-masing saja.
Setelah beberapa saat, Hendery akhirnya selesai bicara. Lelaki itu kemudian menutup penjelasan panjangnya dengan alasan kenapa ia memilih untuk menjadikan Jeno sebagai teman ceritanya dibanding teman-temannya yang lain.
"Jeno, gue ngomong ke lo karena gue rasa cuma lo yang bakal dukung gue. Jaemin bakal nge-judge gue dan Haechan ga cukup perduli buat nanggepin masalah gue. Lo ngerti kan?"
Jeno menghela nafasnya. "Gue tau apa yang lagi lo bicarain." Senyum Hendery mengembang namun Jeno sudah terlebih dahulu menyela. "Tapi bukan berarti gue setuju dan membenarkan apa yang udah lo lakuin, Dery."
Suara Hendery terdengar parau saat menanyakan alasannya. "Kenapa?"
Jeno menatap lama kearah Hendery sebelum lelaki itu kembali membuka mulutnya. "Kalau lo emang sayang sama Jena, lo seharusnya gaakan ninggalin Jena hari itu. Maaf kalau gue ngomong gini tapi yang bikin masalah itu ada ya diri lo sendiri."
Hendery memicingkan matanya—tampak kesal. "Lo bilang lo ngerti. Tapi dari apa yang gue denger kayaknya lo sama aja kayak orang lain. Kondisi Yena tiba-tiba memburuk dan lo berekspetasi kalau gue ga akan ngelakuin apa-apa? Lo lupa Jen? Dia temen lo juga."
Jeno melirik kearah Hendery sekilas melalui sudut matanya sebelum lelaki itu memilih untuk mendudukkan diri di kursi terdekat dan mulai memejamkan mata sembari menyisir rambutnya menggunakan jari-jarinya—tampak frustasi.
"See? Sikap lo yang kayak gini yang buat Jena marah. Denger gue baik-baik ya, Dery. Walaupun kondisi Yena memang memburuk waktu itu, memangnya lo bener-bener harus ninggalin cewek lo ditengah jalan waktu hujan disaat dia udah bilang dengan jelas kalau misalnya lo ninggalin dia saat itu artinya hubungan kalian selesai?"
"Tapi Yena—"
Jeno berhenti menyisir rambutnya. Mata lelaki itu kini terbuka untuk menatap tajam kearah sang teman—jelas geram dengan jalan pikirannya dan pembelaan diri yang menurut Jeno sudah terlalu dibuat-buat.
"Tapi Yena apa?" Tantangnya. Sebelah alisnya naik sembari menatap dingin kearah Hendery. Lelaki itu melipat kedua tangannya didepan dada dan meneruskan kalimatnya.
"Hendery, dengerin gue ya, walaupun waktu itu kondisi Yena memburuk sekalipun bukan berarti hal itu bisa lo jadiin alasan buat ninggalin cewek lo. Yena punya keluarga dan walaupun lo lari kesana memangnya apa yang bisa lo lakuin? Sementara Jena, dia butuh lo, Dery. Cewek lo udah ngorbanin pertemanannya sama Renjun dan Dejun cuma buat mempertahanin lo dan dengan gampangnya lo ninggalin dia demi Yena."
Hendery tampak gusar.
"Gue memang temen lo. Tapi untuk persoalan ini, maaf, gue bakal mihak ke Jena. Lo udah terlalu banyak nyakitin dia dan sampai sekarang lo masih ga sadar sama kesalahan yang udah lo perbuat."
Jeno kemudian dengan cepat menambahkan sebelum Hendery sempat membalas perkataannya.
"Anyway, Yena bukan temen gue. Dari awal gue sama anak-anak udah bilang sama lo buat jauhin dia dan saudara kembarnya tapi lo gapernah dengerin gue."
Melihat Hendery yang tak kunjung bicara dan raut penyesalan yang muncul diwajahnya, pandangan Jeno akhirnya melembut. Lelaki itu bangkit dari posisi duduknya lalu menepuk bahu Hendery pelan.
"Ini semua tentang prioritas, Hendery." Ucapnya.
"Sekarang lo pikir secara bener-bener di otak lo, prioritas buat lo itu Yena atau Jena? Kalau memang Yena jawaban lo, lepasin Jena. Biarin dia bahagia sama orang lain. Tapi kalau lo pilih Jena, tinggalin Yena dan jangan pernah lagi noleh ke masa lalu." Putus Jeno.
Karena, bagi Lee Jeno, tipe laki-laki yang paling dia benci di dunia ini adalah yang tidak bisa tegas dengan perasaannya sendiri dan membuat hati yang lain terluka karenanya. Jadi sekalipun dia dan Hendery adalah teman dekat yang sama sekali tidak bisa dibandingkan kedekatannya dengan Renjun, Dejun apalagi kembaran Renjun ataupun Lee Jena, untuk masalah yang satu ini dia angkat tangan untuk menjadi pasukan pembela.
Seseorang yang meninggalkan teman adalah sampah, tapi seseorang yang melihat orang lain terluka dan hanya diam sebagai penonton tanpa melakukan apapun untuk membantunya jauh lebih rendah dari sampah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Not Her
FanfictionI'm not her, Nor do i want to take her place. Please understand.